Life After Those 18 Text Messages
Kangen kamu, Mbel. Aku bingung harus ngapain
biar sakitnya pergi...
Entah kenapa Pilar teguh sekali untuk setia meski dia
sendiri tidak yakin apakah sang belahan jiwa akan pernah kembali. Pilar tidak
hidup. Dia hanya belum mati. Tidur, mandi, makan, minum, kerja. Mekanis sekali.
Dan
justru ketika Jakarta sudah
sepi, barulah dia keluar dari sarangnya. Beberapa jalanan yang dilaluinya
memang masih terang, tapi sebagian lagi sudah gelap karena lampu jalan yang
jumlahnya kurang banyak dan kadang terhalang dahan pohon. Udara malam makin
terasa dingin karena sore tadi hujan turun cukup deras.
Aku nggak tahu mau ke mana. Aku kehilangan arah. Tapi ini bukan sesuatu yang bisa beres pake waze atau google map. Yang aku tahu aku cuma pengen keliling-keliling naik motor.
Untuk apa?
Cari udara segar?
Nggak taulah.
Andai sakitnya bisa berhenti saat ini juga.
Sendiri.
Ditemani
playlist yang penuh dengan lagu-lagu yang membuat hatinya makin terkoyak. Menyanyi-kannya.
Meneriakkan liriknya.
And God knows,..
God knows all the things that I fail to say.
And baby you know, I’ll stay here, I won’t go away.
To be with you, I will stay true, no one but you, I’ll
wait for you.
Oh baby you know,.. baby you know,.. I love you…
Suara yang
lantang itu perlahan bergetar. Napas Pilar tersengal-sengal. Batinnya kelelahan
menahan sakit di hatinya.
Sudah
pukul 02.00. Pilar akhirnya kembali ke tempat kosnya. Motor melaju pelan agar
tidak bising dan tidak mengganggu warga komplek. Dari kejauhan dia mendapati
seorang pemuda berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah. Pemuda itu
hanya diam termenung saat
pintu pagar ditutup dari dalam oleh seorang bapak-bapak berbaju safari yang
tampak tak acuh kepada pemuda itu.
“Ngapain
nih orang bengong doang di depan
pagar malam-malam?
Diusir apa kenapa?” Sedikit rasa penasaran melintas di benak
Pilar. Dia
memperlambat laju motornya dan membuka kaca helmnya. Pemuda itu benar-benar dia
perhatikan. Tingginya sedikit di atas rata-rata pria Indonesia. Mungkin sekitar
180 cm. Meski tinggi tapi badannya tidak terlihat besar atau kekar. Pemuda itu
memakai kemeja lengan pendek berwarna biru muda, celana jogger berwarna hijau army,
dan sepatu loafers berwarna cokelat. Potongan rambutnya ala anak muda zaman
sekarang. Dari penampilannya dia tidak terlihat berbahaya. Malah cenderung
modis. Sama sekali tidak seperti perampok, penagih utang, ataupun tukang pukul
yang sering terlihat memakai jaket kulit hitam dan gelang atau kalung yang menyerupai
rantai. Tapi ada yang aneh dengan cara dia memandangi rumah itu.
Merasa
dirinya diamati, pemuda itu pun berbalik melihat ke Pilar dan kini justru pemuda
itu yang terlihat heran pada Pilar.
“Udahlah, mungkin dia gak boleh masuk karena datang kemaleman,” pikir Pilar dalam hati. Pilar pun memalingkan pandangannya dari pemuda itu dan terus melaju.
***
Pilar berusaha
setenang mungkin saat membuka pagar dan menggiring motornya memasuki rumah kos.
Rumah kos yang berukuran cukup besar ini sebenarnya rumah tinggal biasa milik
seorang nenek berusia 65 tahun yang kini tinggal sendiri setelah suaminya wafat
dan ketiga orang putranya sudah memiliki rumah masing-masing. Hanya saat
liburan sekolah saja ketiga putranya datang membawa istri dan anak-anak mereka.
Agar tidak kesepian, ketiga kamar itu disewakan. Nenek juga mempekerjakan seorang
asisten rumah tangga bernama Mbak Mar yang ikut tinggal di rumah itu bersama Lela;
anaknya yang baru berusia lima tahun.
Pilar berjingkat menuju kamarnya. Dia tidak ingin Nenek atau Mbak Mar tahu bahwa dia baru pulang pukul dua pagi. Mereka sangat baik, Pilar tidak ingin membuat mereka cemas dengan perubahan sikap Pilar. Pilar pun yakin, tidak hanya dirinya yang kehilangan Intan, tapi Nenek, Mbak Mar, apalagi Lela, pasti merindukan Intan juga. Intan sering menemani Nenek menjahit, membantu Mbak Mar memasak, bahkan Intan juga selalu pasrah setiap kali Lela menjadikannya objek eksperimen make-up menggunakan cat air. Intan punya tempat di hati mereka.
...
Sesampainya
di kamar, Pilar sengaja tidak menyalakan lampu dan memilih berjalan dalam
keremangan hingga beberapa kali tersandung. Kamar seluas 4x4 meter itu sangat
berantakan. Baju kotor, bola basket, dumbbell, remote AC, berserakan tak
karuan.
Pilar
tidak langsung merebahkan dirinya di kasur. Dia menyalakan lampu kecil di meja
kerjanya dan duduk termangu di kursi, memandangi
foto itu; foto saat Pilar yang sedang duduk di lantai, dipeluk dan dicium gemas
dari belakang oleh Intan yang
kala itu sedang duduk di kasur di belakang Pilar.
Foto yang selalu menemaninya dalam sepi.
Kamu ingat nggak, Mbel? Malam itu kamu nemanin aku
lembur. Padahal aku nggak minta ditemanin. Bahkan aku udah bilang mendingan kamu pulang duluan aja biar nggak
capek. Tapi kamu malah jalan sendirian ke kantin buat beliin somay kesukaanku
dan nyediain segelas air putih untuk aku minum.
Selama aku kerja, kamu anteng banget duduk di sebelahku. Nunggu
dengan sabar tanpa ngeluh sedikit pun. Pas aku udah mulai kecapekan, mulai
nggak fokus, mulai mijit-mijit leher, tiba-tiba kamu berdiri dari kursimu dan
minta difoto.
“Fotoin aku dong,” pintamu.
Waktu itu aku ngejawab dengan ogah-ogahan dan tanpa nengok
ke kamu, “Aduh Mbel, kerjaanku masih banyak. Kalau pakai foto-foto dulu kapan
kelarnya?”
“Sebentar aja,” katamu sambil narik tanganku. Terus
dengan anehnya kamu pose sambil bertolak pinggang dan sedikit melotot.
Aku nggak ngerti kenapa kamu gaya kayak gitu, tapi di
luar dugaan kamu bilang, “Ini untuk ngingetin kamu supaya kamu giat, supaya
kamu semangat terus, dan supaya kamu nggak kebanyakan
ngerokok. Awas kamu kalau nggak nurut.”
Itu istimewanya kamu, Mbel. Kamu selalu tahu cara
nyemangatin aku tanpa perlu panjang-panjang ngasih nasihat.
“Sekali lagi,” katamu. Dan kali ini kamu pose kayak orang
lagi nangis dengan kedua tanganmu dikepal di samping mata.
Lagi-lagi aku nggak ngerti kenapa kamu milih bergaya yang
aneh-aneh gitu, tapi penjelasan dari kamu benar-benar bikin aku terenyuh, “Tiap
kali kamu pulang dari rumahku, aku takut banget suatu hari tiba-tiba kamu
berhenti datang. Pasti aku bakalan sedih banget kayak gini.”
Reaksiku saat itu cuma senyuman kecil. Tapi sebenarnya aku berusaha keras untuk terlihat nyantai dan berusaha keras supaya raut muka dan pancaran mataku gak ngebocorin rahasia besar; tentang tekadku untuk kerja lebih keras dan ngelakuin usaha apa pun yang halal, supaya bisa jadi orang yang pantas meminang kamu.
***
Belum
terlalu lama Pilar tertidur menelungkup di mejanya ketika suara kucing yang menggeram
dan mendesis dengan gaduh di luar kamarnya membuatnya perlahan
terbangun. Matanya sedikit-sedikit terbuka.
Dalam keremangan, Pilar melihat sesosok wajah menyorong begitu dekat dengan
wajahnya sendiri. Mata Pilar pun langsung membelalak seraya dirinya melonjak
dari kursi hingga jatuh kehilangan keseimbangan.
Entah
sudah berapa lama sosok itu mengawasinya tidur. Pilar berulang kali menampar
wajahnya dengan harapan dia akan segera bangun dari mimpinya. Tapi dia tidak
pernah terbangun, karena itu bukan mimpi. Sosok itu nyata. Berdiri tegak di
depannya dengan wajah agak pucat serta lebam dan sedikit darah kering di kening
sebelah kanannya. Bulu kuduk Pilar berdiri, sekujur tubuhnya merinding. Suara
kucing makin menambah seram suasana. Sosok itu maju mendekat, membuat Pilar
sontak mundur menjauh.
Tiba-tiba
sosok itu tersenyum dan perlahan senyumnya berubah menjadi tawa. Pilar makin
bingung. Dia merasa seperti pernah melihat sosok itu, tapi dia tidak yakin.
“Lu
beneran bisa lihat gue?” tanya sosok itu.
Pilar
masih berusaha memahami situasi, napasnya masih tersengal-sengal. Sosok itu
tiba-tiba menghilang dan dalam sekejap muncul lagi persis di samping Pilar dan
membuat Pilar kembali tersentak. Sosok itu terus melakukannya. Menghilang dan
muncul kembali di berbagai titik untuk mengecek apakah mata Pilar bisa terus
mengikuti pergerakannya. “Lu bener-bener bisa lihat gue, kan? Hahaha. Yes! Yes!
Yes!” Sosok itu tertawa
keras
Pilar berusaha
menenangkan dirinya, dia
mengontrol rasa takutnya
sampai akhirnya dia bisa memahami keadaan. “Pantes aja bapak-bapak yang tadi nutup
pagar kayak nggak ngelihat cowok ini,” pikir Pilar dalam hati.
“Kenapa lu
gangguin gue?” tanya Pilar tegas.
Dengan gerakan super cepat, sosok itu mendekat dan kedua tangannya memegang bahu Pilar sehingga Pilar kembali bersiaga. “Relax, Man. Gue bukannya mau gangguin elu. Tapi elu harus bantuin gue.”
...
Rupanya
sosok itu bernama Rian. Usianya dua tahun lebih tua dari Pilar, yaitu 34 tahun. Dia
tewas tujuh hari lalu dalam kecelakaan tunggal karena membanting setir saat
melihat anjing melintas
dan menyebabkan mobil yang dikendarainya menabrak pohon. Setelah
dimakamkan, sesosok malaikat meng-hampirinya. Malaikat itu bilang, Rian
punya waktu 40 hari untuk menyelesaikan urusannya di dunia. Jika berhasil, dia akan masuk surga, dan jika
gagal, dia akan dilemparkan ke neraka.
“Gue harus
bikin bokap gue rela nerima kematian gue. Gue yakin itu yang bikin gue masih
stuck di dunia. Bokap gue itu workaholic, tapi setelah gue meninggal, selama
dua hari dia sama sekali nggak nyentuh kerjaannya dan malah ngurung diri di
kamarnya. Dia nangis. Benar-benar
nangis. Gue kaget banget ngelihatnya. Nggak
nyangka banget gue.”
“Namanya
juga ditinggal anak, ya pasti sedih bangetlah.” Pilar menanggapi seadanya.
“Lu nggak
ngerti. Bokap gue itu laki banget. Dia nggak pernah nangis. Bagi dia, nangis
itu cuma buat perempuan.” Rian segera menyanggah.
“Rian, gua
bukan cenayang, bukan dukun,
apalagi pemuka agama. Gua nggak tau gimana caranya bantuin elu. Jadi
lu mending cari bantuan dari orang lain.”
“Tapi cuma
elu yang bisa lihat dan dengar gue. You’re the only one, Man.” Rian menegaskan.
“Ah, nggak
mungkin. Itu kucing
di luar juga bisa lihat elu. Makanya dari tadi dia berisik
banget. Elu minta bantuan aja ke dia.” Pilar bersikap cuek dan bergerak ke
kasurnya untuk tidur tapi segera dicegah oleh Rian.
“Lu nggak
bakal bisa tidur, lu nggak bakal bisa makan, lu nggak bakal bisa kerja karena
gue bakal gangguin elu terus sampai masalah gue kelar.”
“Bodo!”
jawab Pilar sambil menutup mukanya dengan selimut. Sedetik kemudian selimut itu
ditarik oleh Rian.
“Resek lu
ya.” Pilar sangat kesal.
“Lu nggak punya pilihan, Man. Lu harus nolongin gue.”
***
Rian
benar-benar membuktikan ucapannya. Meski Pilar berusaha berkonsentrasi kerja di
kantornya tapi Rian terus saja mengganggu. Ketika Pilar menerima telepon, Rian
malah menghapus kalimat demi kalimat yang tadi sudah Pilar ketik di komputernya,
dan ketika Pilar benar-benar sedang fokus bekerja, Rian menekan tuas di kursi
yang Pilar duduki hingga kursi itu tiba-tiba merosot dan membuat Pilar hampir
jatuh. Edo, Zidan, Uta, dan juga Fina spontan tertawa
melihatnya. Rian benar-benar membuat Pilar tidak bisa bekerja.
Karena
kesal, Pilar berjalan cepat keluar dari ruangannya. Rian mengikuti di
belakangnya. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, Pilar membuka pintu
tangga darurat dan masuk ke sana diikuti Rian.
Pilar
langsung marah, “Oke, gue bakal coba bantuin lu. Tapi kita lakuin di luar jam
kerja gue, dan setelah
urusan lu beres, lu pergi dari hidup gue dan jangan berani ganggu gue lagi atau
gue bakal panggilin orang pintar biar lu musnah sekalian!”
Rian tersenyum menang. “Deal!” katanya penuh semangat.
Setelah sepakat, Rian tidak lagi mengganggu Pilar bekerja. Tapi, meski sudah tidak lagi diganggu, Pilar tetap tidak bisa konsentrasi karena biar bagaimanapun Pilar memiliki masalahnya sendiri. Masalah hati. Soal Rindu.
Rindu..
Rindu ini bukan rindu yang menggebu-gebu.
Ini hanya rindu yang membandel.
Rindu yang membuatku selalu ingin menoleh ke arahmu
meski kita bekerja di satu kantor.
Rindu yang memberiku tenaga menemanimu di salon
tanpa peduli betapa bosannya aku.
Rindu yang menggerakan pikiranku untuk selalu mengirim emoticon-emoticon
lucu
meski aku sedang sangat sibuk.
Rindu yang selalu ada setiap kita terpisah ruang.
Rindu yang rajin datang.
Rindu yang tak pernah absen.
Rindu yang harus kutahan
Meski selalu gagal kutahan.
Aku selalu rindu kamu.
Aku rindu kita.
Pilar berjalan ke pantri dan berlama-lama membuat kopi di sana hanya untuk memandangi meja kosong yang dulunya merupakan meja kerja Intan.
...
Seminggu setelah Intan memilih untuk
putus dengan Pilar, tanpa
memedulikan syarat one-month notice, Intan langsung resign dari kantor tempat
mereka bekerja; kantor yang mempertemukan mereka, kantor yang tiap jengkalnya
menyimpan kenangan selama empat tahun mereka bersama. Keputusan Intan yang
mendadak itu tak pelak memicu kehebohan.
Intan memang selalu mengundang kehebohan. Sejak proses interview, seluruh pria di kantor sudah kasak-kusuk dan kegirangan mendapatkan calon teman sekantor berparas cantik. Intan mendobrak pandangan umum tentang definisi wanita idaman. Walau tubuhnya tidak langsing bak model, Intan tetap terlihat menawan dan menonjol di antara staf perempuan lainnya. Poninya selalu ditata rapi, make-up dan gaya berpakaiannya tidak pernah berlebihan, kulitnya putih bersih, senyumnya manis, dan yang paling utama; karakternya menyenangkan. Dia lebih dari sekadar pemandangan segar bagi mata-mata yang lelah menatap komputer. Mungkin dulu banyak pria-pria di kantor yang membujuk agar manajer departemen General Affair segera menerima Intan sebagai karyawan. Dan setelah Intan sudah benar-benar bekerja di kantor itu, tak kurang dari lima pria langsung mencoba peruntungannya. Tapi Pilarlah pemenangnya. Menang mudah. Menang mutlak. Walau tanpa niat berusaha.
Thanks to hujan ya Mbel, kita jadi mulai ngobrol.
Pilar teringat malam ketika hujan turun sebagai pembuka jalan.
Awalnya dia sempat menggerutu karena hujan deras mendadak turun dan membuatnya terpaksa
berteduh di halte. Padahal ternyata justru hujan itulah yang mengantarnya
kepada empat tahun terindah dalam hidupnya. Di antara puluhan halte yang terdapat
di sepanjang jalan dari kantor menuju kosan, takdir membuat Intan berteduh di halte
yang sama.
Malam itu memang Intan tidak sendirian. Dia sedang bersama
Firman; teman satu kantor yang sedang berusaha keras mendapatkan hati Intan. Halte
tidak terlalu penuh sehingga Firman bisa dengan mudah mengenali dan menyapa
Pilar begitu dirinya turun dari motor dan membuka helm.
“Pilar!” Firman memanggil. Pilar pun mendekat. Awalnya Pilar
tidak sadar bahwa wanita yang berdiri di sebelah Firman adalah Intan. Tapi
Firman dengan bangga segera memperkenalkan Intan, seakan ingin memamerkan bahwa
dirinya bisa mendapat kehormatan untuk mengantar pulang gadis yang menjadi
rebutan pria-pria sekantor. “Oh iya, ini Intan. Anak baru di GA. Udah kenal?” tanya
Firman kepada Pilar.
Intan tersenyum sopan layaknya karyawan baru yang sedang
diperkenalkan kepada karyawan lain. Tapi Pilar hanya mengangguk dingin tanpa
senyum sedikit pun. Sikapnya itu bukan disebabkan keangkuhannya sebagai senior,
bukan pula karena berpura-pura cuek di depan gadis cantik. Tapi karena Pilar
memang bukan orang yang mudah akrab dengan orang baru.
Malam
itu Firman bersikap
layaknya singa yang berusaha menunjukan dominasinya agar
sang betina tidak melirik sedikit pun kepada pejantan lain. Dari gayanya mengisap
rokok dengan dada dibusungkan dan mata sedikit menyipit, Firman ingin tampak
maskulin.
Pilar tidak peduli. Dia sama sekali tidak tergoda untuk
mencoba bertanding. Dia justru lebih banyak diam sambil merokok dan memainkan gim
di ponselnya.
Intan mulai terbatuk-batuk saat asap rokok mulai cukup
banyak mengepul. Menyadari hal itu, Pilar segera mematikan rokoknya. Tapi Firman
malah mengira Intan batuk karena kedinginan. Dengan gesitnya, Firman langsung membuka
jaketnya dan ingin melingkarkan jaket itu ke tubuh Intan. Spontan niatan itu
langsung ditolak oleh Intan dan Intan malah semakin batuk karena rokok yang
Firman tahan di bibirnya kini jadi semakin dekat dengan wajah Intan.
Pilar geli melihat tingkah konyol Firman yang sok gentle itu. Dia geleng-geleng kepala berusaha menahan tawanya. Tanpa sengaja matanya beradu dengan mata Intan yang juga sedang berusaha tidak menertawakan Firman. Di momen itu.., di momen yang hanya beberapa detik itu.., mereka sama-sama tahu mereka ingin mengenal satu sama lain lebih dekat lagi.
...
Sekarang semua orang di kantor sepertinya sudah tahu bahwa Pilar dan Intan sudah putus. Sudah tidak ada lagi yang dengan polos menanyakan kabar Intan kepada Pilar. Kini mereka justru kasak-kusuk di belakang Pilar dan dengan sok tahunya saling beropini tentang penyebab mereka putus. Tapi bukan hal itu yang membuat Pilar muak. Yang membuatnya muak justru tatapan iba seakan mereka paham betul dalamnya luka yang harus Pilar hadapi. Pilar tidak butuh dikasihani. Dia juga tidak butuh ditemani menghabiskan waktu agar lupa. Karena Pilar tak mungkin lupa. Karena sakitnya benar-benar terasa.
***
Rian
menagih janji. Mendekati jam pulang kantor, dia kembali muncul dan menunggu di
sudut ruang kerja Pilar. Ketika jam menunjukkan pukul 18.10, Rian sudah
kehilangan kesabaran. “Man, ayo. Katanya jam 6”. Pilar tidak menjawab karena teman-temannya
akan mengira dia sudah gila kalau dia berbicara sendiri.
“Man! Jangan
bikin gue terpaksa gangguin lu lagi, ya.” Rian mengancam dan membuat Pilar harus
memutar otak agar bisa berkomunikasi dengan Rian tanpa membuat teman-temannya
curiga.
Akhirnya Pilar
mengetik di ponselnya dan memberi kode agar Rian membacanya. “Gue masih banyak
kerjaan. Jam 7 deh.”
“Nggak.
Gue mau sekarang. You said 6 PM.” Rian tidak peduli.
Pilar
kembali mengetik di ponselnya, “Taik ya. Kerjaan gue belum kelar. Sabar dikit
kek.”
Tanpa
bicara lagi, Rian sengaja menumpahkan kopi Pilar ke lantai dan airnya sedikit
mengenai rok Fina, rekan satu tim yang meja kerjanya persis bersebelahan dengan
Pilar.
Pilar
langsung meminta maaf pada Fina sambil membersihkan roknya. Namun, Pilar segera menarik kembali tangannya saat menyadari bahwa dia
menyentuh bagian paha Fina. Untungnya Fina tidak marah dan
malah tersipu.
“Woohoo.. love
is in the air. Ada yang naksir-naksiran nih kayaknya.” Rian meledek jahil dan
Pilar langsung melotot ke Rian seolah takut Fina akan bisa mendengar ocehan
Rian.
Setelah membereskan tumpahan kopi di lantai, Pilar langsung mematikan komputernya dan bersiap-siap pulang. Dia tidak ingin Rian berulah lagi.
***
Mereka
sudah berdiri di depan pagar rumah Rian. Tapi mereka baru sadar bahwa mereka
belum menyusun rencana.
“Gue mesti
ngomong apa ke bokap lo?” tanya Pilar.
Rian hanya
menggeleng dengan wajah polos.
“Eh, taik
lu ya. Dari tadi ngapain aja? Bukannya mikir lu. Emangnya jadi setan tuh sibuk
banget apa?” Pilar kesal.
“Well
sorry, Man. Gue juga gak tahu harus
mulai dari mana.” Rian menjeda omongannya lalu dengan sedikit takut dia
melanjutkan, “By the way, gue baru ingat, bokap biasanya
ke kafe langganannya dulu,
terus baru pulang paling cepat jam 1-an.”
“Taik!” Pilar
berjalan pergi dan bersiap naik ke motornya.
Rian
berusaha mengejarnya, “Man, tunggu dulu. Lu udah janji mau bantuin gue.”
Pilar
tidak peduli. Dia tetap memakai helm dan menyalakan mesin motornya.
“Gue bakal
gangguin lu lebih parah lagi. Lu gak bakal bisa kerja, lu gak bakal bisa
ngapa-ngapain!” Rian mengancam tapi Pilar tidak gentar.
“Terserah!
Coba aja kalau berani. Lu itu cuma arwah gentayangan. Gue bisa panggil orang pinter
buat ngusir elu!”
Rian terdiam. Dia sadar omongan Pilar ada benarnya. Dia pun tak kuasa menahan ketika Pilar benar-benar pergi dengan motornya.
***
Pilar tiba
di rumah kosnya saat Nenek sedang menonton sinetron ditemani Lela yang asyik menggambar
di sebelahnya. Begitu melihat Pilar, Lela langsung berlari mendekat. Anak itu
memang senang bermain dengan Pilar, apalagi dengan Intan, karena mereka selalu
perhatian dan suka membawakan oleh-oleh kecil untuknya.
“Hai anak
baik, lagi ngapain? Waduh, tangannya belepotan gini, pasti lagi asyik ngegambar
nih.”
“Iya dong,”
jawab Lela sambil menarik Pilar untuk memamerkan gambarnya yang lain. “Yang ini
dulu dibikinin Tante Intan.”
Itu hanya
kalimat sederhana yang keluar dari mulut seorang bocah polos. Tapi seketika itu
juga, kalimat tadi membuat hati Pilar terasa ngilu. Rasa sakit itu menjalar ke
seluruh tubuhnya dan pasti sampai juga ke wajahnya sehingga tak luput dari
perhatian Nenek.
“Kok Intan
nggak pernah ke sini lagi?” tanya Nenek.
Pilar
hanya diam. Biar diam yang berbicara. Biar diam yang menjelaskan.
“Yang sabar.” Dua kata itu yang Nenek ucapkan selanjutnya. Tampaknya Nenek paham apa yang terungkap dalam diam.
...
Pilar
masuk ke kamarnya dan menemukan Rian sudah berada di sana. Rian duduk di lantai
sambil bersandar pada kasur. Kepalanya
tertunduk, kakinya dilipat ke dada dan kedua
tangannya merangkul lututnya. Melihat
Rian di kamarnya membuat suasana hati Pilar makin buruk.
Tapi bagaikan dua teman karib yang sudah biasa bertengkar, Rian seperti sudah
tahu bahwa untuk sementara yang terbaik adalah diam dan membiarkan Pilar menenangkan
diri dulu.
Pilar
meletakkan tasnya di meja, menenggak air dari botol minumnya yang entah sudah
berapa lama berada di sana, lalu duduk di kursi sambil melepas sepatu.
Setelah Pilar
terlihat lebih tenang, Rian mulai berbicara, “I need your help, Man.”
“Lu nggak
tau etikanya minta tolong ya?” Pilar masih kesal.
Rian
terdiam sejenak sebelum melanjutkan bicara, “Gue janji nggak akan ganggu lo
kayak tadi lagi. Soal waktu juga gue bakal ikutin waktu lu. Pakai cara lu deh
pokoknya. But you gotta help me, Man.”
Pilar
tidak menjawab. Dia tetap diam hingga beberapa menit. Kemudian dia bangun dari
kursinya lalu keluar kamar.
“Mau ke
mana lu?” tanya Rian.
“Mandi.
Biar nggak bau menyan.”
Rian tersenyum lega mendengar Pilar sudah bisa bercanda.
***
Mbel, kamu nggak bakalan percaya kalau aku bilang
sekarang aku temenan sama setan. Haha.. Mungkin aku emang udah gila. Jangan-jangan
dia cuma khayalan yang tanpa sadar aku karang supaya aku ke distract dari
kangennya aku ke kamu.
Mbel, pasti seru kalau aku bisa cerita semua ini ke kamu. Banyak banget Mbel yang pengen aku ceritain.
Pilar tersenyum miris dan lalu melanjutkan mandi. Mungkin dia berharap dengan terus mengguyur tubuhnya seperti itu, luka di hatinya akan terbawa air.
***
Sehabis mandi, Pilar
kembali ke kamarnya dan kali ini dia mendapati
Rian duduk di depan meja kerjanya sambil memandangi foto Intan. “Ini cewek lu?”
tanya Rian.
Pilar
tidak menjawab. Kelam di wajahnyalah yang membuat Rian bisa menerka dengan
mudah. “Pasti mantan lu, ya? Tapi elunya masih sayang. Ya, kan? Cowok kok
takluk sama cinta.” Rian meledek.
Pilar tidak merespon dan langsung mengganti topik pembicaraan, “Gue ada ide.”
...
Malam ini Pilar
mencoba sedikit rapi dengan mengenakan kemeja lengan panjang yang kerah dan
lengannya sengaja dikeluarkan dari balik sweter hitam polosnya. Menurut masukan
dari Rian, penampilan rapi seperti ini akan membuat papanya lebih mudah percaya
pada Pilar. Pilar pun harus ekstra menggali lebih dalam lemarinya untuk mencari
celana yang sedikit rapi di antara tumpukan koleksi celana jeans butut
kesayangannya. Untuk kesempurnaan, Pilar mengambil lap basah dan membersihkan
dulu sepatu kets terbaiknya.
“Nggak
punya yang lain apa lu?” Rian sedikit cemas.
“Sepatu
gue kets semua. Besok deh gue beli sepatu kaca,” Pilar menjawab sinis dan
membuat Rian tersenyum kecut. “Lagian lu bawel banget sih. Gue copywriter. Gue
nggak perlu rapi-rapi amat. Gue nggak suka.” Pilar mempertegas.
“You got no style,” Rian menggerutu lalu pergi menembus tembok.
...
Sebelum
keluar kamar, Pilar mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Intan,
“Mbel, aku pergi dulu ya. Sebentar aja kok, cuma buat ketemu papanya Rian. Aku
sayang kamu.” Dan Pilar ingin melengkapinya dengan emoticon cium.
Tapi pesan itu tidak pernah dikirim. Ditulis hanya untuk dihapus lagi. Ditulis hanya untuk menghibur hati. Sebuah kebiasaan yang indah yang Pilar tak ingin biarkan punah.
***
Tibalah
mereka di Dusk9, tempat Papa Rian sering menghabiskan malamnya. Kafe ini sangat
eksklusif. Semua pengunjungnya membawa mobil mewah. Hanya Pilar yang datang
naik motor butut dan membuat petugas parkir sempat bingung dan akhirnya
mempersilakan Pilar parkir di tempat parkir motor karyawan.
Tempat ini
cukup ramai tapi tidak bising sehingga masih nyaman untuk mengobrol. Pengunjungnya
rata-rata berusia 30 tahun ke atas dan semuanya dari kalangan pemilik pohon
uang yang datang ke sini sekadar untuk menghalau sepi atau untuk melobi suatu
proyek. Ini memang bukan tempat untuk anak muda yang senang berjoget ditemani
musik bervolume keras.
Pilar memilih
duduk di bar dengan harapan bisa mengorek informasi dari bartender.
“Mas, ice
lemon tea ya.” Pilar
memesan minum.
Sambil menunggu, Pilar membuka ponselnya dan mendapati notifikasi dari Facebook. Seorang teman mengunggah dan men-tag Pilar dalam foto yang diambil tiga tahun lalu saat kantor mereka mengadakan acara buka puasa bersama di sebuah restoran. Di foto itu juga ada Intan, tersenyum ceria sambil menggenggam mesra lengan Pilar.
...
Hanya sebuah foto. Tapi efeknya membuat Pilar harus menarik napas panjang untuk melawan sesak di dadanya.
...
Lamunannya
buyar saat ice lemon tea pesanannya disajikan. Pilar mendongak untuk berterima
kasih. Tapi dia tak bisa menutupi keterkejutannya saat melihat bahwa yang
menyajikan minuman itu adalah bartender perempuan berparas cantik.
“Gratis,” kata si
bartender cantik itu.
“Hah?”
Pilar tidak mengerti kenapa dia tidak perlu membayar.
“Bertahun-tahun
gue di bar, baru kali
ini ada cowok pesannya ice lemon
tea. Gue pikir, menarik juga nih cowok. Jadi, gue bilang ke teman gue, si
bartender yang tadi lu pesan minum, supaya gue aja yang bikinin dan anterin ice
lemon tea lu.”
Perempuan ini
tanpa ragu menunjukkan ketertarikannya pada Pilar tapi Pilar tetap diam, tidak tahu
bagaimana harus bersikap hingga lagi-lagi, perempuan itulah yang harus kembali memancing
percakapan, “Ini pertama kalinya lu ke sini, kan? Gue nggak pernah lihat
elu sebelumnya.”
“Iya, ini
pertama kalinya. Gue ke sini buat ketemu Om Bram. Lu kenal?”
Si
bartender perempuan itu langsung mengangkat kedua tangannya, “Okay, so you’re gay. Fine.
Gue nggak akan ganggu.”
“Enggak,
enggak. Tunggu. Lu salah paham.” Pilar langsung berusaha menjelaskan. “Gue mau
ketemu dia bukan untuk…, ya pokoknya gue ada perlulah sama dia.”
“Oh, gitu,”
si
bartender perempuan terlihat lega dan kembali menunjukkan ketertarikannya, “Lu
emang nggak suka alkohol atau kecanduan ice lemon tea?”
Pilar
sedikit tertawa dan agak ragu untuk berterus terang, tapi akhirnya dia menjawab
jujur, “Gue janji ke seseorang untuk nggak minum alkohol lagi.”
“Cewek
lu?” tanya si bartender.
Pilar
menjawab dengan menggeleng.
“Istri
lu?” si bartender kembali bertanya dan Pilar kembali menggeleng.
“Kalau
gitu, gue anggap lu belum punya cewek apalagi istri.” Kemudian tiba-tiba si
bartender meng-ambil
ponsel Pilar yang tergeletak di meja bar lalu dia me-miscall nomornya
sendiri. “Beres. Gue udah punya nomor lu dan lu juga udah punya nomor gue.
Sekarang gue harus kerja, jadi ngobrolnya kita lanjut by phone ya,” ucap si
bartender tanpa malu.
Pilar
hanya tersenyum dan menggangguk sehingga membuat perempuan itu gemas,
“Seharusnya lu tanya nama gue, lagi. Atau seenggaknya lu sebut nama lu.”
Pilar
tersenyum, mengulurkan
tangannya,
lalu menyebutkan namanya, “Pilar”.
“Kristal,” si
bartender juga
menyebutkan
namanya sambil memberikan senyuman terbaiknya, kemudian dia kembali bekerja.
Tiba-tiba
Rian sudah ada di situ dan merangkul
bahu Pilar, “Mantap, Man. Dapat aja lu.”
Pilar
hanya tersenyum kecil.
“Eh, itu
bokap gue di table yang di
sebelah sana. Yuk.”
Pilar langsung berbalik badan ke arah yang ditunjuk. Papa Rian terbilang masih bugar. Rambut dan jenggot tipisnya memang sudah perak semua tapi badannya yang ramping dan tegap, apalagi ditunjang dengan setelan jasnya yang terlihat sempurna dan kilau dari jam mewahnya, membuatnya tetap terlihat menarik. Seorang Silver Fox sejati. Terbukti perhatian para wanita di sana sedikit teralihkan dari urusan mereka masing-masing dan mencuri pandang padanya.
“Om Bram,
apa kabar?” sapa Pilar sambil mengulurkan tangan. Papa Rian tampak bingung
karena tidak mengenali orang yang menyapanya. Pilar harus mencoba lebih meyakinkan.
“Saya Pilar, Om. Teman kuliahnya Rian.”
Gurat
kesedihan muncul di wajah Papa Rian mendengar nama mendiang putranya disebut.
Tapi dia segera menyembunyikan kedukaannya dan menjabat tangan Pilar.
“Saya
turut berduka ya, Om. Maaf waktu itu saya nggak bisa datang.”
Papa Rian
hanya mengangguk pelan.
“Mm..,
kalau Om nggak keberatan, boleh nggak kalau hari Sabtu besok antar saya ke
makam Rian?”
Papa Rian
terkejut mendengar permintaan yang tanpa basa-basi itu. Dia berpikir sejenak
sebelum akhirnya mengangguk ragu.
“Oke, kalau
gitu, sampai ketemu hari Sabtu. Jam 10 pagi saya ke rumah Om. Saya permisi dulu.
Mari.” Pilar kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Papa Rian
memperhatikannya hingga menghilang dari pandangan. Dia tampak masih kaget
dengan pertemuan tak terduga itu.
Rian membuntuti
Pilar berjalan hingga parkiran motor sambil terus ribut menyuruh Pilar kembali
mengobrol dengan Papanya. “Lho, Man. Kok
lu malah pergi? Buruan ngobrol lagi sama bokap gue. Lu harus temanin dia, lu
harus bilang kalau…”
“Kalau
apa?” Pilar memotong. “Lu juga nggak tau kan apa yang sebenarnya pengen lu
sampein ke bokap lu?”
Rian terdiam.
***
Papa Rian
pulang dalam keadaan mabuk berat sehingga harus dipapah oleh sopirnya dan
seorang wanita muda berpakaian seksi. Rian sedih melihat Papanya seperti itu
tapi tak ada yang bisa dilakukannya.
Setelah
direbahkan di kasur, supir tadi keluar dari kamar dan kini tinggal Papa berdua
dengan wanita muda berpakaian seksi itu. Menyadari bahwa Papa Rian benar-benar
tidak sadarkan diri, wanita itu mengambil sejumlah uang dari dompet Papa Rian
lalu pergi begitu saja. Rian hanya tersenyum sinis melihat kelakuan wanita
tadi.
Rian berdiri mendekat dan menyelimuti Papanya. “Pa..” Ada jeda panjang sebelum Rian melanjutkan. “What do I gotta do?” Rian terlihat putus asa. Dia duduk di lantai bersandar pada tembok di sisi kasur Papanya. Hanya diam memandangi.
***
Lampu kamar
sudah dimatikan, AC sudah menyala dan Pilar sudah berbaring di kasurnya. Tapi
matanya masih terbuka lebar memandangi foto-foto Intan di HP-nya.
Ya, untuk menghalau sepi, Pilar
berbicara pada foto yang tak pernah merespon, dan earphone yang melekat di
telinganya memperdengarkan Voice Note yang dulu sering dikirim Intan, “Sayang banget sama kamu,
muuu-ah”, begitu katanya.
Dulu Intan memang sangat mencintainya. Dulu.
...
Tiba-tiba
Rian muncul di kamar Pilar dan bertanya, “Menurut lu, kenapa gue masih di sini
ya?”
Pilar
kaget karena Rian sekonyong-konyong muncul seperti itu. Dia lekas menutup galeri foto di ponselnya dan memarahi
Rian, “Woi setan, jangan
suka nongol tiba-tiba kayak gitulah. Kalau gue jantungan terus mati, nanti nggak ada
yang nolongin elu lho.”
Rian tertawa kecil. Pilar tidak jadi bersiap tidur. Dia turun dari kasurnya, mengeluarkan rokok dan korek dari tasnya, lalu menuju teras samping.
...
Kepulan
asap rokok makin tebal, sesekali Pilar meneguk teh hangat yang dia buat.
“Tadi gue
dari rumah bokap. Gue nyoba untuk ngobrol sama dia. Tapi gue benar-benar nggak
tau apa yang mau gue omongin.”
“Lu sama
bokap lu emang nggak pernah ngobrol, ya?” tanya Pilar heran.
“Nggak.
Gue sama bokap ya.., serumah tapi hidup sendiri-sendiri aja. Makanya gue kaget
banget ngeliat bokap gue nangis kayak waktu itu. Selama ini gue pikir dia
nggak terlalu peduli sama gue.”
Pilar
mengangguk memahami, lalu bertanya, “Kalo sama nyokap lu gimana?”
Raut wajah
Rian langsung berubah. Ada rasa marah dan jijik terpancar di sana, “She left
with another guy waktu gue SD. Dasar
nggak tahu diri. Kurang apa coba bokap gue? Ah, udahlah gue malas ngomongin
dia.”
Pilar berhenti
bertanya dan kembali mengisap rokoknya.
“Lu tadi
kenapa cabut sih, Man? Kali aja kalau tadi bokap gue lu ajak ngobrol, kita jadi tau
sebenarnya kita harus gimana.”
“Lu gila,
ya? Mosok baru ketemu mau langsung bilang kalau gue bisa ngelihat arwah
anaknya? Yang ada malah ngehindar dia. Atau lebih parah lagi. Gue bakal dituduh
mau nipu.”
“Iya juga sih.” Rian
mengakui.
“Santailah.
Kita pakai strategi. Gue harus dapetin kepercayaan bokap lu dulu supaya dia mau
dengarin omongan gue.”
Rian
menggangguk setuju, lalu Pilar melanjutkan, “Lagi pula kenapa sih lu pengen
cepat-cepat ke akhirat? Emang tabungan lu udah cukup?” Ada tawa
jahil yang sengaja ditahan Pilar diujung kalimat tanyanya itu.
“Sialan
lu, Man.”
Pilar melepaskan tawanya lalu berjalan memanggil Bang Markum, tukang mi goreng keliling langganannya.
...
Pilar makan dengan lahap di teras. Tapi Rian tidak bisa duduk tenang
menunggu Pilar menghabiskan makanannya. Dia resah sekali.
“Man, buruan makannya.”
“Bawel ya. Ini gue sambil mikir gimana caranya ngomong ke bokap lu.” Pilar
berbisik agar tidak terdengar oleh Bang Markum.
Rian tetap tidak bisa tenang. Dia mondar mandir dan tampak gelisah. “Kok perasaan
gue gak enak ya. I fell funny, Man. Kayak
merinding gitu,” ucap Rian.
“Yang setan kan elu. Harusnya yang merinding itu gue.” Pilar heran.
“Iya juga ya.”
Tiba-tiba dari luar pagar, Bang Markum ikut bicara, “Temannya nggak ikutan makan?”
“Maksudnya anak kosan yang lain, Bang?” tanya Pilar bingung.
“Bukan, itu teman yang di sampingnya tuh” ujar Bang Markum dengan santai.
Pilar sampai sedikit tersedak saking kagetnya mendengar omongan Bang Markum.
“Tuh, kan? Pantesan dari tadi feeling gue nggak enak.” Rian makin gelisah.
Ide jahil langsung muncul di kepala Pilar. Dia berjalan mendekati Bang
Markum. Rian pun mengekor di dekatnya. “Abang bisa lihat orang ini?” tanya Pilar sambil
menunjuk Rian.
“Lihat sih enggak, tapi taulah abang mah.”
“Abang bisa ngusir yang beginian nggak?” tanya Pilar dengan semangat dan
membuat Rian menunggu jawaban dengan ketar-ketir.
“Emangnya dia ganggu?”
Pilar tidak langsung menjawab. Dia melirik kepada Rian yang tampak mengatupkan
kedua tangannya sebagai tanda dia memohon kepada Pilar. Kesempatan ini pun
Pilar gunakan untuk membuat Rian memahami batasannya, “Kalau dia ganggu,
bantuin saya ya, Bang.”
Bang Markum membalasnya dengan senyuman.
***
Pagi ini Pilar berangkat agak
siang karena ngantuk akibat terlalu lama mengobrol dengan Rian semalam. Dia mengendarai
motornya dengan pelan dan mengambil sisi pinggir kiri, memberi jalan kepada
pengendara lain yang ingin menyalipnya.
Namun, dari sekian pengendara
yang melewatinya, ada satu motor yang menangkap perhatiannya. Motor ojek online
itu membawa penumpang wanita yang tasnya sama persis dengan tas ransel milik
Intan.
Pilar tersenyum-senyum sendiri
dibuatnya. Sekadar melihat tas yang sama dengan milik Intan saja sudah bisa
membuat harinya lebih cerah. Semangat Pilar langsung muncul. Dia berkendara
lebih cepat, berusaha membuntuti motor itu.
Di sebuah lampu merah Pilar
tersadar; pin band Mew yang menempel di tas itu, sama persis dengan pin band
Mew milik Intan, gelas plastik yang ada di saku kiri tas itu, sama persis
dengan gelas plastik milik Intan, sepatu biru garis-garis yang wanita itu
kenakan juga sama persis dengan sepatu Intan. Jangan-jangan…
Begitu lampu hijau menyala,
Pilar langsung berusaha bersejajar dengan motor itu dan menengok ke arah
penumpang wanita di ojek online itu.
Dan ya, itu Intan.
Meski dia sedang menunduk karena sambil berkirim pesan teks, tapi tidak salah lagi, itu Intan.
Mbel, ini aku. Di belakang
kamu.
Aku pengen banget nyapa kamu,
ngajak kamu untuk ikut aku aja dan supaya aku aja yang antar kamu ke kantor.
Tapi aku masih ingat jelas penolakan-penolakan kamu waktu aku minta ketemu setelah
kamu mutusin aku. Sekian kali kamu gak izinin aku datang ke rumahmu dan bahkan
saat aku nekat datang pun, aku harus nunggu lama banget di teras, dan pas kamu
keluar kamu sengaja duduk berjauhan dari aku.
Sakit, Mbel.
Padahal dulu, aku bisa datang
kapan pun, sesuka aku, dan kamu selalu menyambut. Bahkan kita bikin kunci
duplikat pintu ruang tamu supaya kamu atau papamu dan ibumu nggak perlu repot
ngebukain pintu kalau aku datang.
Sampai saat ini pun, kunci itu masih menggantung satu set sama kunci motorku.
I don’t give back the key
I don’t take back the heart
Masuk tanpa perlu mengetuk.
Itu dulu.
Kini tidak lagi,
Mesti buat janji,
Semacam reservasi,
Itu pun tetap belum pasti.
Rupanya di sanalah kini Intan bekerja, sebuah production house besar di bilangan Jakarta Selatan. Pilar terus memperhatikan hingga Intan masuk ke dalam lobi gedung megah itu dan menghilang dari pandangan Pilar.
***
Pilar tiba di kantornya. Dia
langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer. Tapi dia tidak
langsung bekerja. Dia hanya terduduk melamun di sana. Dadanya benar-benar sesak
dipenuhi percampuran rasa senang dan sedih yang aneh yang hanya bisa dipicu
oleh Intan.
Senang karena walau hanya bisa melihat dari jauh, tapi itu lumayan mengobati kerinduan Pilar yang sudah begitu mendalam. Selain itu, melihat Intan menggunakan transportasi umum menuju kantornya membuat Pilar berpikir bahwa mungkin itu artinya Intan belum punya pacar, jadi tidak ada yang mengantarnya ke kantor. Semoga saja begitu. Semoga mereka bisa kembali bersatu.
Pilar penuh harap dan harapan itu membuatnya senang. Harapan itu membuatnya tersenyum sendiri. Namun, rasa senang itu tidak bertahan lama. Sedih pun hadir.
Biasanya aku bisa puas
mandangain kamu dari depan sambil peluk kamu, lalu cium keningmu. Seenggaknya,
mandangin kamu dari samping sambil gandeng tangan kamu tiap kali kita nonton di
bioskop.
Sekarang aku cuma bisa mandangin kamu dari belakang, itu pun harus menjaga jarak. Memberi ruang untuk kamu. Membebaskan kamu.
***
“Man!” panggilan Rian membuyarkan
lamunan Pilar. Pilar mendongak dan melihat Rian sedang melotot
memandangi Indri; teman sekantor Pilar yang selalu memakai rok super ketat dan
mini dengan blus berbelahan dada cukup rendah. “Ada yang beginian di kantor lu
kenapa nggak lu sikat?”
Pilar
hanya geleng-geleng kepala geli dan hendak kembali bekerja saat ponselnya berbunyi. Pilar
memeriksa layar ponselnya; Kristal.
“Halo.”
“Hai, lagi
sibuk, nggak?”
“Enggak
juga.” Pilar mengambil rokok dari tasnya lalu pergi ke balkon.
Dari kejauhan, Rian memandangi Pilar yang tampak rileks saat bertelepon dengan Kristal. Cukup lama juga mereka berbicara, dan setelah selesai, Pilar tidak lekas kembali ke meja kerjanya. Dia membakar satu batang rokok lagi sambil memandang langit dari ketinggian gedung kantornya.
Dia cuma teman, Mbel. Nggak lebih dari itu.
Entah dari
mana datangnya rasa bersalah itu. Padahal Intan bukan lagi pacarnya. Padahal
Intanlah yang meninggalkan dia. Dan
si bodoh ini kembali bermain-main dengan memorinya.
Dulu Pilar sering mengagetkan Intan dengan tiba-tiba
muncul di refleksi cermin kecil yang Intan taruh di meja kerjanya. Dan senyum
cantik itu selalu hadir di wajah Intan setiap kali melihat pantulan wajah Pilar
di sana. Kemudian Pilar membuka headphone yang selalu menempel di telinga Intan
setiap dia sedang bekerja, lalu Pilar membisikkan sesuatu.
Tak pernah ada yang tahu apa yang dibisikkan Pilar pada
Intan, tapi semua orang bisa tahu bahwa apa pun itu yang dikatakannya, selalu
berhasil membuat Intan tertawa dan merona.
Pilar dan Intan juga sering membuat teh bersama di pantri
sambil bergandengan tangan dan bercanda. Pernah suatu hari seorang office boy memergoki
mereka. Dengan berat hati office boy itu sengaja berdeham agar Pilar dan Intan
tahu bahwa dia juga ada di ruangan itu. Secara refleks Intan dan Pilar melepas
genggaman tangan mereka lalu cekikikan berusaha menahan tawa sambil berjalan
keluar pantri
untuk kembali bekerja. Tak lama kemudian Pilar mengirim pesan teks kepada Intan
bertuliskan, “J A O D A K.”
“Maksudnya?” tanya Intan.
“Jangan Ada OB Di Antara Kita,”
jawab Pilar.
Intan dan Pilar menahan tawa di meja kerja mereka
masing-masing.
Si bodoh ini susah lupa. Karena memang tak banyak yang bisa menjadi konyol bersama.
***
Pilar
sedang duduk menunggu di teras rumah Intan. Wajahnya ceria karena sambil
menikmati sekotak bola-bola coklat buatan Intan. Lalu Intan menghampiri dan
berdiri di depan Pilar dengan wajah sedikit memelas.
“Kamu
mau?” tanya Pilar.
Intan
menjawab dengan anggukan.
“Sebentar
ya,” jawab Pilar sambil mencuil bola-bola coklat itu dan memberikan potongan
sangat kecil untuk Intan.
Intan
tertawa lepas, “Dasar pelit,” ujar Intan sambil mendekap kepala Pilar ke
perutnya dan membelai lembut rambut Pilar.
Nyaman sekali rasanya.
...
Tiba-tiba
ponsel Pilar berdering keras. Pilar pun terbangun. Matanya terbuka dan dia
mendapati dirinya sedang memeluk gulingnya dengan erat. Rupanya kejadian tadi hanyalah
memori yang hadir lewat mimpi. Pilar menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
Ponselnya masih saja berbunyi. Dia mengambilnya dari meja dan ternyata Kristallah yang menelepon. Pilar enggan menerimanya. Ponsel itu pun diletakkan lagi di meja dan Pilar kembali memeluk erat guling dan membenamkan kepalanya di sana.
Mbel…
Hanya
satu kata. Pilar sadar itu hanya mimpi, Pilar sadar itu hanya guling. Tapi
Pilar enggan hidup di kenyataan.
#GerakanPelukGuling
***
Pilar
sudah rapi. Dia sudah duduk di jok motornya. Jam di tangannya menunjukkan pukul
8.00.
Keraguan
menyusup.
“Kemarin
gue ketemu Mbel karena gue berangkat dari kosan jam 8.30. Apa hari ini gue berangkat
jam 8.30 lagi aja ya? Siapa tahu ketemu lagi.”
Pilar
sibuk menimbang-nimbang dalam hati.
“Tapi,
siapa tahu kemarin juga cuma kebetulan doang. Mosok iya dia tiap hari berangkatnya
siang. Emang kantor dia masuknya jam berapa?”
Pilar kembali melihat ke jam tangannya. Kini sudah pukul 08.05. “Aduh, kok gue malah jadi bengong sih? Udah ah, berangkat aja,” katanya dalam hati sambil menyalakan mesin motor.
Tibalah
Pilar di titik di mana kemarin dia melihat Intan. Pilar menepi sebentar untuk
memperhatikan motor-motor di belakang dia. Tidak ada Intan.
Pilar
kembali ragu dan justru makin bertambah ragu. Haruskah dia menunggu di situ
hingga jam yang sama dengan kemarin, atau jangan-jangan seharusnya dia melaju
lebih cepat siapa tahu hari ini Intan berangkat lebih pagi dan saat ini dia sudah
beberapa kilometer di depannya, atau…
Pilar
benar-benar gila.
Selama di kantor pun dia tetap resah dan lagi-lagi satu hari bergulir hanya dengan fungsi mekanis; kerja, makan siang, kerja, pulang.
***
Teras
samping kosan nenek selalu menjadi spot favorit Pilar karena sejuk dan jarang
digunakan untuk menerima tamu. Malam ini pun dia kembali menghabiskan waktu di
sana. Sambil merokok, Pilar browsing tentang hal-hal yang bisa memicu seseorang
untuk memimpikan orang yang mereka dambakan.
“Get
real, Man, gue kira browsing apaan,” suara Rian mengagetkan Pilar sampai
membuat ponselnya jatuh.
“Dasar
setan!” Pilar mengumpat kesal. “Permisi dulu kek. Nggak kelihatan nongolnya
kapan tahu-tahu langsung kedengaran suaranya. Resek banget lu.”
Rian
tertawa sambil duduk di kursi di sebelah Pilar dan melanjutkan mengejek, “Don’t
tell me you still can’t get over her.”
“Berisik
lu ah.” Pilar kesal.
“Oke,
oke, oke, sori. Cerita dong, Man.”
“Nggak.”
“Ayo
dong, siapa tau bisa bikin lu ngerasa lebih lega,” Rian membujuk.
Pilar
diam saja. Dia malah menyalakan sebatang rokok lagi.
“Siapa
namanya?” tanya Rian.
Pilar
tetap diam.
“Oh,
come on, Man, tell me. What happened?”
“Takdir.”
“Maksudlu?”
Rian tidak mengerti.
“Ya…
Emang takdir aja. Jadinya dia minta putus. Terus, dia cabut dari hidup gue.”
Rian
mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti dan jadi benar-benar penasaran.
“Putusnya baru?”
“Iya.”
“Kapan?”
“Baru…”
Pilar agak ragu untuk jujur kepada Rian, “Baru Maret kemarin.”
Rian berpikir, “Maret?
Sekarang kan Februari. Berarti… What? Hampir setahun? Gila! Ibu-ibu aja hamilnya cuma sembilan bulan, Man.” Rian benar-benar terkejut.
“Tuh, kan, berisik
kan lu. Udah ah.” Pilar bangkit dari duduknya tapi ditarik oleh Rian sehingga
dia terduduk kembali.
“Iya, iya, sori,
sori, sori. Santai dong, Man, gue bukannya ngeledek, cuma… ya… gue kaget aja.”
Pilar tetap diam.
“Man, lu nggak
bakal bisa lupain dia kalau lu nggak cari cewek lain. Itu kan ada si Kristal.
Embat aja. Dia cakep, terus udah jelas dia naksir sama elu. Jadi lu udah nggak
perlu capek-capek lagi pedekate. Taiklah itu semua.”
“Nggak ah,” jawab
Pilar singkat.
“Come on. Kurang
apa lagi sih dia? Emang teteknya kurang gede? tanya Rian sambil
kedua tangannya menengadah di depan dadanya.
“Astaga, segala tetek
lu bawa-bawa. Jadi setan nafsu amat sih lu.” Pilar kesal.
Rian langsung
berdiri di depan Pilar, “Man, nafsu itu emang temannya setan. Gak belajar agama nih anak.”
Pilar tertawa
kecil.
“Oke, kalau nggak
Kristal, si itu aja tuh, teman kantor lu yang duduknya di sebelah lu.”
“Fina?” Pilar
memastikan.
“Nah! Fina. Dia
juga cakep dan naksir elu.”
“Ngaco lu.” Pilar
menyanggah.
“Lho, gue serius,
Man. Mana ada cewek yang roknya ketumpahan kopi tapi malah mesem-mesem happy gitu? Udah jelas banget,
Man, dia naksir elu.”
Pilar mengembuskan
asap rokoknya, “Fina emang cakep, baik, dan gue nyambung ngobrol sama dia.
Tapi…”
“Apa?” Rian
mendesak.
Pilar hanya
menggeleng.
“For God Sake,
segitu cintanya lu ya sama mantan lu?”
Pilar mengangguk.
“You haven’t told
me her name. Siapa namanya?”
“Intan,” jawab
Pilar.
“Lihat dong fotonya,”
pinta Rian.
“Buat apaan sih? Di
meja di kamar gue kan ada,” Pilar mengelak.
“Di foto itu
mukanya nggak jelas, orang dia nyium lu dari belakang gitu.”
“Ck.” Pilar
mendecak tapi dia tetap membuka galeri foto dan menjulurkan ponselnya agar bisa
dilihat bersama dengan Rian. Di dalam ponsel itu masih tersimpan satu folder
khusus yang penuh dengan foto-foto Intan. “Nih.”
“Whoa!” Rian
langsung terpukau melihat foto-foto Intan. “Okay, this is hard to beat. She’s
so… Dia nggak cuma cantik tapi kelihatan… apa ya… warm. Does that make sense?”
Pilar mengangguk.
“Oke,
listen, gue nggak pernah punya pacar, tapi gue selalu punya cewek.
And believe me, itu bikin hidup kita lebih gampang. So at least lu cari fuck body atau apa
kek, biar lu nggak lesu banget gini.”
“Fuck
body, fuck body. Sembarangan aja lu.” Pilar kesal.
“I’m
serious, Man.”
“Udah jangan bawel ah, besok gue nggak jadi ke tempat bokap lu nih,” Pilar mengancam dan Rian langsung tutup mulut.
***
Sesuai
rencana, Sabtu pagi
ini Pilar datang menemui Papa Rian. Kini mereka sudah berada di ruang tamu. Kalimat
demi kalimat yang harus disampaikan sudah disiapkan, tapi Pilar dan Rian tetap
tegang. Rian mondar-mandir dengan gelisah sedangkan Pilar berkali-kali menarik
napas panjang berusaha menenangkan diri. Pilar melihat sekeliling ruang tamu.
Tak satu
pun foto
keluarga terpajang di sana. Bangunan mewah ini tidak terasa seperti rumah.
Papa Rian keluar dari kamarnya sambil membawa tablet. Pilar langsung berdiri untuk menyapanya dengan santun, tapi Papa Rian hanya mengangguk dingin sambil terus berjalan ke arah pintu depan. Sama sekali tak ada basa-basi atau sekadar menawarkan minum. Papa Rian persis seperti yang digambarkan Rian; hemat bicara, hemat senyum.
Setelah di
dalam mobil, meski sama-sama duduk di kursi belakang tapi Pilar kesulitan untuk
memulai percakapan, apalagi dengan adanya supir rasanya tak mungkin Pilar
langsung mengatakan bahwa dia ingin menyampaikan pesan dari almarhum putranya.
Rian duduk
di kursi depan di samping supir. Dia makin gelisah menunggu Pilar untuk mulai
membuka obrolan. Dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan bagi Pilar untuk
mendapatkan kepercayaan Papanya. “Man, lu harus ngomong sekarang juga. Right
now! Bokap gue bukan tipe orang
yang mau ngasih kesempatan kedua. Dia malah bakal BT dan curiga lu mau manfaatin dia kalau besok-besok lu minta
ketemuan lagi.” Rian mulai mendesak.
Pilar sedikit
kesal karena didesak seperti itu, tapi dia memahami kegelisahan
temannya. Pilar memutar otak mencoba mencari bahan pembicaraan.
“Om kantornya
di mana?” tanya Pilar.
“Sudirman.”
Papa Rian menjawab singkat tanpa dibubuhi keterangan lebih lanjut.
“Kalau
saya di daerah kuningan.” Pilar menjelaskan tanpa ditanya.
Papa Rian
tidak menggubris. Dia malah mengambil tablet dari panel penyimpanan di sisi pintu
mobil, lalu membaca artikel. Jelas tidak ingin diganggu.
Pilar menelan ludah menghadapi sikap dingin Papa Rian. Suasana tetap kaku. Mereka tidak mengobrol hingga tiba di makam Rian.
***
Pilar dan Papa Rian berjongkok di depan makam Rian, sedangkan Riannya sendiri berdiri di belakang nisannya.
Tau nggak, Mbel? Rasanya aneh banget ziarah ke makam orang dan mendoakan orang itu, sedangkan kita bisa dengan jelas ngelihat arwah dari orang yang kita doakan lagi berdiri di dekat nisannya dan kelihatannya dia baik-baik aja.”
“Man, say
something,” teguran Rian membuyarkan lamunan Pilar.
Pilar
menengok ke arah Papa Rian yang berjongkok di dekat nisan. Sorot mata Papa Rian
yang biasanya terlihat tajam, kini layu saat dia menatap nisan Rian.
Pilar
merasa iba. Selama ini Pilar tidak terlalu menanggapi tiap kali Rian bercerita
tentang bagaimana papanya mengurung diri di kamar dan menangis. Tapi kali ini
dia benar-benar mengerti dalamnya luka itu.
Pilar
memutar otak. Dia tahu dia harus memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati,
tidak boleh salah bicara satu kata pun dan tidak boleh terlalu bertele-tele.
“Saya masih nggak percaya kalau Rian udah nggak ada, Om. Dia teman baik saya. Saya
kehilangan dia banget. Tapi pasti Om jauh lebih ngerasa kehilangan.”
Papa Rian menundukkan pandangannya. Tulang pipinya mendadak tampak
menonjol karena dia mengatupkan kedua rahangnya dengan keras saat mencoba
menghalau kesedihan. Dia mengatur napasnya, berusaha untuk tetap kuat dan
tidak menangis di depan orang lain. Kemudian, sambil mengusap nama Rian di
nisannya, Papa Rian berkata, “It’s
okay, Son.”
Pilar menengok
ke arah Rian dan mendapati air mata temannya mengalir deras. Rian mengucap terima kasih kepada
Pilar dan Pilar membalasnya dengan
senyuman.
Lalu perlahan Pilar berdiri dan berjalan menyusul Papa Rian kembali
ke mobil. Tapi kali ini Rian tidak ikut. Dia tetap berdiri di dekat nisannya.
Dua orang yang awalnya selalu bertengkar ini telah menjadi akrab dalam waktu singkat dan kini harus berpisah.
***
Urusan dengan Rian sudah selesai. Pilar juga tidak mengira akan semudah ini. Untung saja Papa Rian tidak banyak bertanya. Pasti akan sangat rumit kalau sampai harus menjelaskan bahwa arwah Rianlah yang mengirim Pilar untuk menemui Papanya.
Andai tadi kamu ada di sana, Mbel. Rasanya magis banget.
Ya nggak persis seperti di film-film sih. Aku nggak ngelihat ada cahaya putih
yang ngejemput Rian atau hal yang semacam itu, tapi.. Tapi rasanya tuh magis
banget aja.
Aku senang udah bisa ngebantu Rian. Walau bawel dan resek tapi dia bukan orang jahat. Semoga dia tenang di sana dan semoga papanya juga baik-baik aja.
Pilar dan
Intan terbiasa saling berbagi cerita tentang apa pun juga. Sulit sekali bagi
Pilar untuk lepas dari kebiasaan itu. Tapi kadang dia bertanya-tanya, “Sulit
jugakah bagi Intan?”
Tak bisa
dimungkiri, pikiran untuk mengecek sosial media milik Intan sesekali memang
menggoda. Itu sebabnya begitu putus, Pilar langsung meng-unfriend Intan
dari Facebook. Tapi langkah itu dia ambil bukan atas dasar kemarahan
apalagi kebencian. Bukan pula atas dasar keberanian untuk melanjutkan hidup.
Itu dia lakukan justru karena dia pengecut. Terlalu takut suatu saat mendapati status
Intan berganti menjadi ‘is married to’. Bahkan Pilar sempat mempertimbangkan
untuk menghapus nomor telepon Intan dari ponselnya, karena mungkin suatu saat nanti foto
profilnya menampilkan wajah Intan berbahagia dalam pelukan orang lain.
Jika itu terjadi, Pilar tidak akan bisa mengatakan “I’m happy for you.”
Pilar
kembali kepada rutinitas akhir pekannya; merindukan Intan. Padahal, saat mereka
masih bersama, akhir pekan selalu menyenangkan.
Malam
minggu pertama yang mereka habiskan bersama terjadi lebih dari empat tahun
lalu. Itu bukan kencan. Meski saling tertarik, tapi mereka belum berpacaran. Pilar
tidak ingin terburu-buru. Dia tidak mau sekadar menjadi yang terpilih di antara
sekian peminat. Dia ingin menjadi yang dipercaya dan diyakini oleh Intan kalau
mereka memang serasi.
Malam itu
mereka lalui dengan menonton Ted. Film tentang boneka beruang yang bertingkah
seperti pria dewasa itu sangat lucu dan menghibur. Mereka tertawa
terpingkal-pingkal. Pilar sangat suka menonton film dan senang rasanya
mengetahui selera Intan soal film tidak berbeda dengan dirinya.
Selesai
menonton, Intan pergi ke toilet. Pilar menunggu tak berapa jauh dari situ. Pilar
mulai resah memperhatikan arlojinya karena
Intan tak juga keluar dari toilet. “Kenapa sih cewek kalau ke toilet nggak
pernah bisa cepat?” gerutu Pilar dalam
hati.
Lima belas
menit kemudian Intan keluar dari toilet. Pilar langsung mengajaknya pulang dan Intan
merasa Pilar berjalan terburu-buru. Wajah Pilar pun terlihat sedikit cemas.
Pikiran
Intan menjadi kacau. Dia curiga Pilar buru-buru mengajaknya pulang agar bisa pergi
bertemu wanita lain. Pengalaman pahit Intan dengan pria sebelumnya membuat
Intan mudah cemburu. Intan berdebat dengan pikirannya sendiri tentang apakah sebaiknya
dia menanyakan hal itu langsung pada Pilar atau berpura-pura tidak menyadarinya
tapi segera
menjauh dari Pilar di keesokan hari. Cari aman sebelum benar-benar mencintai.
Motor
melaju agak cepat. Setibanya di
rumah Intan, hal pertama yang Pilar lakukan adalah mengecek arlojinya. “Yes,
belum setengah sebelas,” seru Pilar. “Maaf ya aku buru-buru. Tadi sebelum
berangkat, sambil nunggu kamu turun, aku janji ke papamu buat antar kamu pulang
maksimal jam setengah sebelas.”
Hati Intan meleleh mendengarnya. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya tanpa permisi. Membuatnya merona. Dia tidak hanya menjadi lega karena kecurigaannya terbantahkan, tapi juga merasa sangat terkesan. Baru kali ini ada orang yang memberanikan diri meminta izin langsung kepada papanya. Intan sadar papanya bukan orang yang mudah diajak mengobrol. Bukan karena papanya galak tapi karena papanya cenderung diam dan asyik sendiri dengan perkutut peliharaannya dan tanaman-tanaman kesayangannya.
Sejak malam itu, Pilar dan Intan makin tak terpisahkan. Tak pernah ada tanggal pasti yang bisa diberi label sebagai tanggal jadian. Semuanya mengalir saja. Selama empat tahun, ratusan judul film mereka tonton bersama, beberapa konser mereka datangi, beragam tempat makan mereka cicipi.
Tapi
kini..
Sabtu
malam. Sendirian. Di kamar kosan.
Menyedihkan sekali si bodoh ini.
Pilar
menggonta-ganti saluran TV tapi tak menemukan satu pun acara yang menarik yang
bisa menghiburnya di malam minggu yang membosankan ini.
“Man.”
“Anjing!”
Pilar refleks berteriak. Dia sangat kaget Rian muncul mendadak seperti itu.
Bukankah dia sudah kembali ke alamnya? Jantung Pilar berdebar kencang, napasnya
tak beraturan. “Udah gue bilang jangan suka nongol tiba-tiba!” Pilar menjadi
kesal.
Rian hanya
diam. Tidak sejahil dan sebawel biasanya. Malah Rian terlihat lebih pucat. Raut wajahnya
sedih. “Gue masih di sini, Man.”
Pilar
tidak bicara. Dia masih terheran-heran.
“Apanya
yang salah ya, Man?” Rian melanjutkan.
Melihat Rian sangat sedih, Pilar melunak, “Ngerokok di teras samping aja yuk,” ajak Pilar.
***
“There was
no cahaya putih, atau malaikat kematian atau.. apaan kek. Nggak ada. Gue nunggu,
nunggu, nunggu. Nothing.” Rian terdengar frustasi.
Pilar
tidak cepat merespon. Dia juga bingung di mana letak kesalahannya. Rokok diisap
dalam dan asapnya diembuskan amat perlahan. “Gimana kalau ternyata yang bikin
elu ketahan di dunia ini bukan bokap lu? Mungkin salah satu cewek yang pernah dekat sama lu, teman
band lu? Atau… lu ada janji
ke orang?
Rian tidak
menjawab. Menoleh pun tidak. Pandangannya hanya lurus ke bawah.
“Gue nggak
tau gimana caranya bantuin elu.” Pilar mengatakannya dengan penuh penyesalan.
“No, no.. don’t
give up. Lu harus bantuin gue, Man. Waktu gue tinggal 22 hari lagi.” Rian
makin mendesak.
“Gue bukannya nggak mau, gue nggak bisa. Gue nggak ngerti gimana caranya.” Pilar berbicara agak keras untuk menegaskan kepada Rian.
Suara
Pilar terdengar ke dalam. Mbak Mar dan Nenek yang sedang menonton televisi saling
menengok bingung.
“Mas Pilar
kok sekarang suka ngomong sendiri ya, Nek? Jangan-jangan stres.”
Nenek
menghela napas, “Intan gimana kabarnya ya, Mar? Dia pasti sedih kalau tau Pilar
sekarang jadi kayak gitu?”
Mbak Mar
langsung mengecek ponselnya. Layaknya asisten rumah tangga zaman sekarang, Mbak
Mar juga up to date dengan sosial media. “Kalau saya lihat di sosmednya sih, Mbak
Intan malah lagi asyik nonton di bioskop nih, Nek.” Mbak Mar
menyodorkan ponselnya agar Nenek bisa melihat sendiri sosmed Intan yang
menampilkan tiket bioskop dan popcorn caramel kesukaannya.
“Mbak
Intan udah punya pacar lain kali ya, Nek?” tanya Mbak Mar.
Nenek hanya memalingkan pandangannya ke arah teras. Iba.
...
Pilar
membakar satu batang rokok lagi. Keningnya mengerut. Berpikir keras.
Rian
tertunduk lesu. Dia tahu Pilar telah berusaha membantunya. Tapi dia tidak ingin
Pilar menyerah karena dia tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa.
“Apa kita
tanya ke Bang Markum aja ya?” Pilar tiba-tiba mencetuskan ide.
“Ah,
jangan ah. Gue ngeri sama dia.”
Rian menolak.
“Ya itu
karena belum kenal aja kali. Gue pertama kali lihat elu juga takut. Lagi pula yang setan kan
elu. Suka lupa jati diri deh lu.”
“Man, I
dont think it’s a good idea.” Rian sangat enggan.
Pilar mengembuskan napas. Sedikit frustasi.
...
Menit demi menit berlalu tanpa ada yang bicara. Mereka sama-sama mencoba menemukan letak permasalahannya. Kalau Papa Rian sudah ikhlas, kenapa Rian masih belum juga diterima di akhirat? Apa yang luput?
Tak juga ditemukan jawabannya.
***
Selimut
tersibak kencang. Pilar kesal karena belum juga bisa tidur. Padahal sebentar
lagi matahari muncul.
AC
dimatikan. Pilar bangun dari kasurnya, membuka lemari, memakai sweter bertudung,
celana joging, dan mengikat tali sepatu.
Lari.
Entah cara
apa lagi yang bisa membantunya mengurai semua kepenatan ini. Pilar tahu dia
punya hak untuk tidak peduli pada masalah Rian. Toh dia sudah berusaha
membantu. Bukan salah dia kalau ternyata tidak berhasil. Kenapa dia harus
pusing-pusing memikirkan masalah orang lain sedangkan dia sendiri memiliki
masalah yang membuat sakit di hatinya masih tak tertahankan?
Pilar terus berlari. Keringat membanjir. Paru-parunya terisi udara segar pagi hari.
Mbel, gimana caranya supaya aku bisa bantu Rian?
Dan itulah yang terlintas. Meski rindu setengah hidup kepada Intan, tapi sisi dirinya yang lain tidak bisa tidak acuh terhadap teman barunya. Rupanya bagi Pilar menjadi egois itu sulit.
Kamu tau, kan Mbel? Aku nggak pernah punya indra keenam.
Ini pertama kalinya. Dan semoga ini terakhir kalinya. Keluargaku juga nggak ada
yang punya indra keenam. Terus kenapa tiba-tiba aku bisa ngelihat Rian?
Dan cuma Rian. Aku nggak bisa lihat arwah lain.
Fakta itu terasa menyentak. Dia hanya bisa melihat dan mendengar Rian. Tidak yang lainnya. Dia memang harus membantu Rian.
Saat Pilar
kembali ke rumah kos, matahari sudah bersinar terang. Nenek sedang belanja
sayuran di depan rumah dan Mbak Mar sedang membereskan selang seusai menyiram tanaman.
Melihat Pilar pulang dari lari pagi dengan air muka kemerahan dan sweter tudung
abu-abunya menjadi seperti berwarna hitam karena basah keringat, Nenek dan Mbak
Mar saling lirik keheranan, tapi tak
ada yang berani berkomentar. Tidak biasanya Pilar lari pagi seperti itu.
Pilar tahu mereka memandanginya dan mencemaskannya. Hanya senyum kecil yang bisa Pilar tawarkan dan semoga senyum itu bisa mewakili rasa terima kasih Pilar atas kebaikan dan perhatian mereka.
***
Pilar
terbangun karena ketukan pintu yang cukup keras. Sejak kembali dari lari pagi,
Pilar sama sekali tidak keluar kamar. Tidak untuk makan, bahkan tidak untuk ke
toilet. Nenek jadi cemas dan menyuruh Mbak Mar membangunkannya.
Sekujur
badannya langsung terasa ngilu begitu dia bergerak. Kepalanya sedikit pusing.
Pilar memaksakan diri berjalan membuka pintu agar Mbak Mar tahu dia sudah
bangun dan baik-baik saja. Ya,
setidaknya dia tidak mati karena minum obat nyamuk atau menggores nadinya jika
itu yang Nenek cemaskan.
Sekarang sudah maghrib. Sweter bertudung dan celana joggingnya menggeletak di lantai. Dia baru ingat sekarang. Pulang dari lari pagi dia langsung masuk kamar, copot sepatu, buka sweter dan celana jogging, minum dari botol yang ada di meja, menyalakan musik, lalu… Lalu tahu-tahu Mbak Mar mengetuk pintu membangunkannya. Berarti dia tidak mandi, tidak makan. Pantas saja badannya seperti kehabisan tenaga.
***
Tekad Pilar sudah
bulat. Dia harus berusaha lebih keras untuk membantu Rian.
Namun, sejak malam setelah mereka kembali dari makamnya, Rian tak lagi muncul di depan Pilar. Mungkin Rian sudah putus asa dan merasa Pilar tidak akan bisa membantunya. Jadi kini harus Pilar yang aktif berusaha mencarinya dan Pilar yakin Rian pasti berada di dekat papanya. Itu sebabnya, walau sedang tidak enak badan, Pilar tetap pergi ke Dusk9 untuk berusaha mencari Rian.
...
Malam ini
lebih ramai dibandingkan beberapa hari lalu ketika Pilar pertama kali datang. Pilar
berjalan mengelilingi kafe mencari Papa Rian tapi tidak ditemukannya.
“Pilar?”
Pilar
menengok saat mendengar suara seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang. Sama
sekali tak terpikir olehnya di sana akan ada Kristal. Wanita cantik yang
terang-terangan menunjukkan ketertarikannya itu terlupakan begitu saja.
“Hai.”
Pilar berusaha terlihat wajar.
“Lu nggak
pernah nelpon balik. Gue pikir gue nggak akan pernah ngelihat lu lagi. But here
you are.”
Pilar
mencoba mengingat obrolan mereka via telepon waktu itu dan Pilar sangat yakin
dia tidak pernah berjanji akan menelepon balik. Tapi dari gelagatnya sepertinya
Kristal mengira Pilar khusus datang ke Dusk9 untuk bertemu dengannya. Pilar
tidak sampai hati untuk jujur. Jadi yang Pilar katakan adalah, “Iya, sori nggak
ngabarin.”
...
Kristal mengajaknya mengobrol di sebuah meja. “Lemon tea 2, ya” kata Kristal kepada pelayan sambil sedikit tersenyum meledek Pilar.
“Ngeledek?”
tanya Pilar sambil
tersenyum.
“Nggak. Lagi pengen aja,” sanggah Kristal.
Selama mereka mengobrol di meja
tersebut, Kristal berinisiatif untuk menceritakan tentang dirinya.
Ternyata dia bukan bartender. Justru
dia adalah anak pemilik Dusk9. Usianya baru 28 tahun. Setahun lebih muda
daripada Intan. Setelah dia
menyelesaikan
kuliahnya di jurusan bisnis di Amerika, Papinya yang bule itu menyuruh Kristal
mengurus Dusk9 sebagai langkah awal sebelum nantinya dipercaya memegang bisnis
lainnya.
“Pantes
aja gayanya bule banget. Cewek Indonesia mana berani ngajak kenalan duluan dan
agresif begini,” pikir Pilar dalam hati.
“Enough
about me, lu cerita dong soal elu,” pinta
Kristal.
“Gue kagum
lho. Meskipun elu anaknya owner tapi lu benar-benar kerja dan turun
tangan. Terus, ini kan
hari
minggu tapi lu di sini. Bisa aja kan lu pergi ke mana kek sama teman-teman lu.”
Pilar tidak suka mem-bicarakan
dirinya. Dia sengaja mengarahkan obrolan kembali tentang Kristal.
“Heii..,
gue bukan daddy’s little girl yang bisanya minta uang doang.”
“Hahaha..
oke, gue percaya.”
“Jangan
sengaja ngalihin obrolan deh. Kan
gue minta lu cerita soal diri lu.” Kristal kembali mengarahkan obrolan.
“Hmm.. Gue
di sini ngekos. Keluarga gue di Jogja.”
“Terus?” desak Kristal.
“Terus… gue punya satu adik. Cowok juga.
Bokap udah wafat tujuh tahun
lalu. Jadi, nyokap berduaan aja sama adik gue.”
“Sorry to
hear that.”
Pilar
hanya tersenyum dan tidak berniat men-ceritakan apa pun lagi. Tapi
Kristal rupanya memang ingin mengenalnya lebih dekat. “Tell me about her,” lanjut
Kristal.
“Ceritain
apa lagi ya? Nyokap ya.., ibu rumah tangga.”
“No. Bukan
nyokap. Her. Yang bikin elu janji gak akan minum alkohol lagi.”
Wajah Pilar
langsung berubah. Kapan pun memikirkan atau membicarakan tentang Intan matanya
menyala, senyumnya hadir di sudut bibir, tapi sedih itu juga hadir di raut wajahnya dan
sesak di dadanya selalu membuatnya harus menarik napas dalam. Pilar
hanya mengetuk-ngetuk jarinya ke gelas ice lemon tea.
“Nggak
usah dijawab, deh. I can see how much
you love her.”
Pilar
tersenyum dan dari senyum itu Kristal tahu jawabannya, “Ya”.
“Tapi kasih
tahu dong satu hal ini.”
Kristal belum menyerah.
“Apa?”
“Lu putusnya
kapan?”
Pilar
tidak langsung menjawab. Bukan karena malu atau khawatir dianggap lemah, tapi
karena luka itu menganga setiap kali teringat pagi buta saat Intan memutuskan hubungan mereka.
Pilar
mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya, menyalakan sebatang,
mengisap racun-racunnya,
“Bulan
depan setahun,” jawab Pilar.
“Wow!” Kristal
benar-benar terkejut. “You cheat on her did you?”
“Hah? Kenapa
lu mikir kayak gitu?” Pilar kesal dengan pertanyaan yang asal dilontarkan
seperti itu.
“Sorry,
sorry.. Gue nggak bermaksud nuduh. But I have to say.. Hampir setahun? Itu lama
banget lho. Berarti.. lebih dari 330
hari.”
Pilar
mengangguk dan berbicara pelan, “Ya, lumayan lama.”
“Jadi,
bukan karena elu selingkuh?” Kristal masih ragu.
“Bukan. Gue serius sama dia.” Pilar
menjawab apa adanya dan itu membuat Kristal terdiam beberapa saat. Kristal kaget
mendapati rasa cemburu yang tiba-tiba muncul di hatinya.
“Sekali
lagi sori ya gue nanya sembarangan kayak tadi. Gue cuma.., kaget banget aja. Gue pikir
lu belum bisa move on karena lu dulu selingkuh dan akhirnya diputusin dan itu
bikin lu nyesal. I must have sound so sceptical to you.” Kristal merasa bodoh.
Emosi
Pilar mereda. Dia paham cinta seperti cintanya untuk Intan memang barang
langka. Itu yang membuat Kristal berprasangka.
“So.., sejak putus lu belum punya pacar lagi?”
Pilar mengangguk.
“Sekadar Rebound
Girl?”
Pilar
tersenyum sinis, “Nggak adil buat siapa pun kalau dijadiin pelarian doang.”
“Jutaan
cowok lain pasti langsung cari Rebound Girl. Another object to love or merely
to… fuck. Pardon my language. But you..” Kristal tidak menyelesaikan
kalimatnya. Dia
tidak menemukan kata-kata. Hanya diam memandangi Pilar.
Kagum. Iri. Mendamba.
Pilar
mengenali tatapan mata yang seperti itu dan dia merasa tidak nyaman
mendapatkannya dari selain Intan.
“Give me a
chance,” pinta Kristal tiba-tiba.
Pilar
benar-benar heran. “Lu tau
gue cinta sama dia. Jadi, sebenarnya
kesempatan apa yang lu minta?”
“Apa
kurang jelas sinyal-sinyalnya kalau dari awal gue tertarik sama elu? Come on,
take advantage. Siapa tahu kita cocok. Kalau nggak cocok, ya.. I’ll just be
your Rebound Girl and I’m not gonna hate you for that.”
Pilar
menggeleng, “Jangan bodoh, itu nggak adil buat elu.”
“Bodoh itu
kalau aku nyerah
tanpa usaha.”
Mendadak Kristal memutuskan untuk mengubah kata ganti dirinya menjadi ‘Aku’.
Pilar
tidak merespon. Hanya melanjutkan merokok.
“I know what I’m getting myself into, okay. Aku paham kok kamu nggak ngejanjiin apa-apa. Tapi aku pasti bisa menangin kamu,” Mata Kristal menyala penuh semangat dan keyakinan.
...
Aku-kamu.. terdengar salah jika bukan dalam percakapan dengan Intan.
***
Pagi ini
di kantor, teman-teman Pilar terlihat kasak-kusuk di sekitar meja Pilar. Tapi
mereka langsung bubar dan kembali ke meja masing-masing ketika salah satu dari
mereka berdeham memberi sinyal bahwa Pilar sudah datang.
Sebuah
paket menyerupai kotak makan tergeletak di meja Pilar. Tapi yang membuat paket
itu menarik perhatian adalah karena di atasnya dihiasi setangkai mawar biru
segar dan disertai
kartu.
“Ini gue
lagi dikerjain sama anak-anak, ya?” tanya Pilar pada Fina.
“Bukan
anak-anak kok. Tadi ada kurir yang nganter ke sini.” Fina berusaha tidak
terdengar cemburu walau ekspresi wajahnya cukup kentara.
Pilar
langsung tahu paket ini dari Kristal. Tapi teman-temannya pasti mengira ini
dari Intan. Dulu Intan memang selalu menyediakan sarapan atau buah untuk Pilar. Paket itu
dibuka. Isinya nasi goreng dengan lauk ayam goreng, kornet, sosis, telur dadar,
telur ceplok.
Pilar menunduk membaca pesan yang tertulis di kartu, “Aku
belum tau apa yang kamu suka dan apa yang kamu nggak suka. Jadi aku kasih aja
semuanya. Yang dimakan yang kamu suka aja. Tapi makan ya. Semalam kamu pucat.”
Pilar
tersenyum melihat usaha Kristal dan perhatiannya. Lalu, dia kembali mendongak. Teman-temannya
yang sedari tadi diam-diam melongok dari meja masing-masing karena penasaran pun langsung berpura-pura kerja.
Pilar mengambil ponsel dari kantong celananya untuk mengirim pesan teks ke Kristal untuk berterima kasih, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia tidak mau membuat Kristal salah sangka dan merasa punya kesempatan.
“Makan yuk,
Fin.”
“Thanks, gue
udah sarapan. Lu kok pucat sih?”
“Iya nih,
masuk angin berat gue.”
“Oo...”
Fina berusaha fokus bekerja, tapi dia
tidak bisa menahan dirinya dan pertanyaan ini langsung meluncur dari mulutnya, “Itu
dari Intan?”
Pilar
terlihat kaget mendengar pertanyaan itu dan Fina langsung menyesali
kelancangannya. “Eh sori ya, kok gue jadi kepo,” wajah Fina memerah.
“Bukan,”
jawab Pilar sambil mengeluarkan senyum yang dipaksakan. “Intan gak mungkin
kasih telor ceplok dan telor dadar, Intan paham banget apa yang gue suka dan nggak,” Pilar
melanjutkan dalam hati.
Fina terhibur mengetahui paket itu bukan dari Intan. Tapi.., berarti ada wanita lain yang sedang dekat dengan Pilar, dan wanita itu tak pernah dirinya. Padahal Fina selalu ada di sebelahnya. Benar-benar di sebelahnya.
...
Pilar sedang
makan sambil mulai bekerja saat Indri lewat. Melihat Indri, Pilar jadi teringat
soal Rian karena beberapa hari lalu Rian pernah melotot memandangi belahan dada
Indri.
Akhirnya, demi Rian, Pilar menjeda sarapannya, mengambil ponselnya, lalu meninggalkan meja menuju
balkon untuk menelepon Kristal.
“Hei.”
“Hi there!” Kristal sangat gembira menerima
telepon dari Pilar.
“Thanks ya
sarapannya.”
“Suka
nggak?”
“Suka.
Makasih ya,” jawab Pilar singkat. Dia enggan tebuka. Lagi pula
sebenarnya dia menelepon
hanya untuk mencari
informasi tentang Papa Rian. Tapi,
sebelum Pilar sempat bertanya, Kristal kembali melancarkan jurus pendekatannya.
“Kalau mawar birunya suka
nggak?”
“Baru kali ini sih gue ngelihat
ada mawar warna biru.”
“Iya, emang langka. Susah
banget lho itu carinya.” Kristal malah membanggakan dirinya. “Kamu tahu nggak
mawar biru artinya apa?”
“Nggak tau.”
“Mawar biru itu unik dan
langka. Kayak kamu. Unik dan langka. It also means, nothing is impossible.
Jadi, walaupun sekarang kayaknya masih imposible for you to forget about her,
but there’s always hope.”
“Hehe…” Pilar tertawa kikuk.
Bingung mau merespon seperti apa. Jadi, dia memutuskan untuk langsung ke pokok
permasalahan saja, “Eh, lu kenal Om Bram nggak sih? Dia sering banget kok ke
Dusk9.”
“I know my
loyal customers. Especially Om Bram. Bram
Winanta. Tapi aku manggilnya Om Win. Dia rekan bisnis Papiku. Udah sekitar enam tahun inilah
mereka kerja sama. Kadang mereka golf
bareng juga. Aku lihat kamu ngobrol sama dia waktu pertama kamu datang ke
Dusk9. Baru deh aku sadar yang kamu maksud Om Bram itu Om Win. Emangnya kenapa
sih kok nyariin dia terus?”
“Gue mau
nyampein pesan aja dari anaknya.”
“Rian?
Bukannya dia udah meninggal?” Kristal terdengar kaget.
Pilar senang mendengar reaksi
itu karena itu tandanya
Kristal mengenal Papa Rian dengan baik dan dia orang yang tepat untuk dimintai
info.
“Iya, ada
hal yang dia ceritain ke gue sebelum meninggal.” Pilar langsung membelokkan
fakta. “Tapi gue nggak mungkin langsung ngomong begitu aja. Lu pasti taulah hal
kayak gini sensitif banget. Jadi gue butuh.. mm.. apa ya.. gue butuh info
dulu soal Om Bram,
soal hubungan dia sama almarhum Rian, dan… ya, soal macam-macamlah, supaya gue bisa pelan-pelan
dapatin kepercayaan dia dan
bisa jelasin semuanya
ke dia.”
“How can I
help?” tanya Kristal.
Dan Pilar membenci dirinya sendiri karena memanfaatkan Kristal.
***
Kini
justru Pilar yang tidak sabar ingin
bertemu
Rian untuk memberi tahu kabar gembira soal informan mereka. Andai setan bisa
punya ponsel, pasti komunikasi mereka bisa lebih mudah.
Setelah merapikan materi syuting untuk besok, Pilar langsung bergegas pulang. Tapi di perjalanan, langit makin mendung, kilat mulai menyambar, dan tak lama kemudian hujan deras turun. Pilar menepi, lalu turun dari motornya untuk memakai jas hujan dan memasukkan tas selempangnya yang hanya berisi dompet, ponsel, charger, dan flashdisk ke bagasi motor. Ketika bagasi motor dibuka dan Pilar mengeluarkan jas hujannya, dia melihat sarung tangan berwarna magenta yang biasa dipakai Intan.
“Kamu di mana, Mbel? Hujan. Jangan malas pakai jas hujannya ya, nanti kamu sakit.”
Pilar malah mencemaskan kesehatan Intan padahal justru dia sendiri yang sedang tidak enak badan.
Hujan
turun tanpa ampun. Gigi Pilar gemeretak kedinginan, dia mulai batuk-batuk dan
kepalanya terasa berat. Tapi dia tidak langsung pulang.
Laju motor
perlahan melambat dan akhirnya berhenti di depan rumah Intan. Pilar
mendongakkan kepalanya dan melihat lampu di kamar Intan di lantai atas sudah
menyala. Artinya Intan sudah pulang. Pilar merasa lebih tenang.
Saat pandangan matanya kembali merunduk, dia melihat dirinya datang naik motor dari arah berlawanan.
...
Waktu itu
hujan juga turun sama derasnya dengan malam ini. Tapi dengan senang hati Pilar
menembusnya untuk membelikan Hoka-Hoka Bento dan susu Bear Brand kesukaan Ibu Intan. Dulu,
Intan menunggu di teras
dan begitu melihat motor Pilar mendekat, Intan berlari
membukakan pagar, tidak peduli ikut menjadi basah kehujanan.
Setelah
motor masuk di bagian dalam pagar, Pilar menyerahkan makanan itu kepada Intan, tapi Intan
tidak langsung menerimanya. Dia malah membantu Pilar membuka helmnya dan
mencium lembut bibir Pilar di bawah hujan.
Itu dulu.
***
Sesampainya
di rumah kos, Pilar benar-benar lemas. Batuknya makin sering dan pusingnya makin
menjadi-jadi. Dia lekas ganti baju, mengeringkan tubuhnya, lalu
membuat teh hangat.
Malam ini
dia tidak menyalakan AC, tapi
tubuhnya menggigil kedinginan. Dia bersembunyi di balik selimut tebalnya. Inginnya
segera terlelap, tapi tidur bukan hal mudah sejak tak lagi mendapat ucapan
selamat tidur dari Intan.
Suatu hari beberapa tahun lalu, Pilar dan Intan sama-sama kehujanan dalam perjalanan menuju bioskop. Meski Pilar sudah berhasil membujuk Intan untuk memakai jas hujan, tetap saja mereka sedikit basah. Suhu bioskop membuat mereka makin kedinginan. Walau mereka bukan tipe pasangan yang memanfaatkan suasana gelap dalam bioskop untuk bermesraan, tapi hari itu di sepanjang film mereka berdua berpelukan, saling menghangatkan.
“Nabung! Nggak usah beli yang bukan kebutuhan. Simpan uangnya biar bisa beli mobil. Supaya Mbel nggak kehujanan dan supaya rambut kecenya nggak langsung berantakan lagi gara-gara pakai helm tiap kali dia abis dari salon.”
Itulah tekad yang diam-diam Pilar buat hari itu.
“Tapi sampai hari ini, aku masih aja pakai motor bututku. Ya.. mungkin nggak salah kalau kamu pergi. Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik.”
***
Mbak Mar
baru saja selesai mengepel rumah saat disadarinya motor Pilar masih bertengger
di garasi dan ditutupi jas hujan. Mbak Mar
mengecek jam di dinding dapur. Sudah pukul 9:30. Biasanya Pilar sudah
berangkat.
Mbak Mar
mengetuk pintu kamar Pilar, “Mas Pilar, nggak ngantor? Udah setengah sepuluh
lho ini.” Mbak
Mar mencoba hingga beberapa kali, tapi belum juga ada
jawaban.
Malah Nenek
yang keluar dari kamarnya karena mendengar suara Mbak Mar makin lama makin
kencang. “Kenapa, Mar?” tanya Nenek.
“Mas Pilar
kayaknya kesiangan, Nek. Motornya masih ada di garasi. Terus kayaknya semalam Mas
Pilar kehujanan. Jas hujannya masih agak basah itu di motor.”
Nenek
mendekat, “Pilar,” panggil Nenek sambil mengetuk pintu. Nenek memiliki firasat
kurang baik jadi Nenek memutuskan untuk membuka saja pintu itu dan
ternyata tidak dikunci. Nenek dan Mbak Mar masuk untuk memeriksa keadaan Pilar.
Mereka mendapatinya masih tidur berselimut. Tapi wajahnya pucat dan
berkeringat.
“Bikin teh manis panas, Mbak. Sama ambil kain untuk kompres,” suruh Nenek pada Mbak Mar.
...
Pilar
terbangun saat Nenek mengganti kompresan di keningnya. Entah sudah berapa lama
Nenek berada di kamarnya dan merawatnya. Tirai kamar sudah disibak, jendela
juga dibuka sehingga ada angin segar.
“Minum
dulu.” Pilar menurut saja waktu Nenek menyorongkan segelas teh manis hangat.
“Nenek
panggilin dokter ya.”
“Nggak
usah, Nek. Aku cuma perlu istirahat aja, kok.”
“Ya udah,
dimakan dulu itu buburnya.”
Pilar
menengok ke arah yang ditunjuk Nenek. Tak jauh dari kasurnya, Nenek sudah
menyediakan meja kecil yang diatasnya tersedia bubur ayam, air putih, dan baskom
untuk kompres. Pilar merasa sangat tidak enak hati. Sudah enam tahun dia
tinggal di rumah kos ini tapi baru kali ini dia sampai merepotkan.
“Pintu
kamarmu nggak usah ditutup biar gampang panggil Nenek atau Mbak Mar kalau butuh
apa-apa. Ya?”
Pilar
mengangguk, “Makasih, Nek.”
Beberapa
langkah sebelum mendekati pintu, Nenek berbalik dan bertanya, “Intan tahu kamu
sakit?”
Pilar
kaget ditanya seperti itu. Tapi wajah kagetnya tak lama berubah menjadi raut
sedih dan Nenek bisa menduga jawabannya.
“Waktu Intan sakit, kamu sampai cuti kerja,” kata Nenek sambil membalik badan dan berjalan keluar kamar.
...
Tahun lalu
Intan terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit selama enam hari.
Tanpa
perlu berpikir panjang, Pilar mengajukan cuti agar bisa menginap di rumah sakit
untuk menemani Intan. Pilar terus mendampinginya, bahkan sampai tertidur dalam
posisi duduk di samping ranjang
sambil
terus mengusap Intan agar dia bisa tidur nyenyak.
Tiap pagi,
Ibu Intan
datang untuk bergantian menjaga, dan Pilar akan pamit pulang, beristirahat
sebentar, lalu mengerjakan pekerjaan sambilan untuk mencari uang tambahan agar
bisa membantu biaya rumah sakit Intan. Semua dengan senang hati dilakukannya.
Tapi, setelah
Intan sembuh dan sudah bisa kembali beraktivitas, segalanya mulai berubah.
Perlahan sikap Intan menjadi dingin. Tidak lagi memeluk dari belakang kalau
sedang dibonceng di motor, tidak lagi bercanda dan bermanja lewat pesan teks, dan
menghindari kontak mata dengan Pilar. Semua perubahan itu dengan cepat disadari
oleh Pilar. Tapi dia tidak mau berpikir buruk. Dia tetap bersabar dan
menganggap Intan hanya perlu memulihkan semangatnya yang merosot gara-gara
sakit kemarin.
Suatu
malam sepulang kantor, mereka membeli lauk untuk dimakan bersama di rumah
Intan. Tidak ada yang istimewa. Mereka memang hampir setiap hari melakukannya.
Tapi malam itu akhirnya Intan kembali memeluk Pilar. Erat sekali. Intan
benar-benar membenamkan kepalanya di bahu Pilar. Rasa lelah yang Pilar rasakan
sejak pontang-panting menjaga Intan di rumah sakit dan mengerjakan pekerjaan sambilan,
lenyap saat itu juga. Lalu Pilar mencium kening Intan, “I love you.”
“I love
you too,” jawab Intan.
Dan malam itu sebelum tidur, Intan melengkapinya dengan mengirim pesan teks dan stiker Lois Lane mencium Superman. Hidup terasa ringan. Lengkap.
Tapi… Pukul 04:12 pagi harinya, Pilar terbangun karena notifikasi pesan teks yang bertubi-tubi. Walau tidak biasanya Intan mengirim pesan teks sepagi itu, tapi insting Pilar mengatakan itu pasti Intan. Rasa cemas langsung menyergap. Pilar mengusir kantuknya dan langsung menyabet ponselnya. Semoga bukan karena Intan sakit lagi, semoga dia baik-baik saja, semoga bukan berita buruk.
DELAPAN BELAS PESAN TEKS. Semuanya dalam kalimat pendek yang intinya menjelaskan keinginan Intan untuk mengakhiri hubungan mereka. Singkat, padat, jelas.
Cara yang luar biasa untuk cepat terjaga.
Pilar membacanya lagi. Kalimat per kalimat. Satu demi satu. Faktanya, sejak awal dia tidak salah baca. Intan minta putus. Dalam 18 pesan singkat itu, Intan menjelaskan alasan yang membuatnya tiba pada keputusannya. Dan Pilar hanya diam. Tidak bergerak. Tidak berkedip. Benar-benar diam.
Kenapa, Mbel? Baru juga semalam akhirnya kamu bilang “I love you” lagi ke aku. Baru juga semalam sikapmu normal lagi ke aku. Tapi pagi ini tiba-tiba…
Pilar berusaha
mengenyahkan kenangan buruk itu. Dia menguatkan dirinya untuk duduk agar bisa
makan. Kepalanya berputar hebat dan tenggorokannya sangat kering. Perlahan
bubur itu dilahapnya. Dia harus makan. Tak mau jadi lebih merepotkan.
Jam
dinding di ruang tengah terdengar berbunyi 11 kali. Pilar baru ingat dia harus
mengabarkan ke kantor bahwa dia tidak bisa masuk kerja hari ini. Dia
mencari-cari ponselnya, tapi tidak ketemu.
“Mas
Pilar, HP-nya ketinggalan di motor, ya? Kayak ada suara telpon,” kata
Mbak Mar dari depan pintu.
“Oiya,
Mbak. Lupa saya.”
Pilar bergerak
pelan berusaha turun dari kasur untuk mengambil ponselnya, tapi
segera dicegah Mbak Mar yang tidak tega melihatnya, “Saya ambilin aja, Mas.
Kunci motornya di mana?”
Pilar tidak berusaha menolak bantuan itu karena badannya memang terasa sangat lemas.
Lima menit kemudian Mbak Mar
datang mem-bawakan tas
dan juga sarung
tangan magenta yang biasa dipakai Intan. Semua yang ada di bagasi dibawa tanpa
kecuali. Pilar pasrah saja menerima benda-benda itu, “Makasih ya Mbak. Maaf
ngerepotin banget.”
“Cepat
sembuh, ya Mas. Jangan banyak pikiran.”
Pilar tersenyum. Kebaikan Nenek dan Mbak Mar membuat Pilar tidak merasa jauh dari rumah.
Ponsel
Pilar sudah hampir kehabisan baterai. Dayanya tinggal 8%. Mau tidak mau, Pilar benar-benar
turun dari kasurnya untuk mengisi daya ponselnya. Dia duduk di kursi kamarnya
sambil membaca semua pesan WhatsApp
yang
masuk. Atasannya menanyakan kenapa dirinya tak ada kabar. Rekan-rekannya juga menanyakan
materi syuting hari ini.
Salah satu yang menanyakan kabarnya adalah Fina, “Lu nggak masuk? Sakit, ya? Lagian
makannya nggak teratur sih. Getwelsun, ya.”
Pilar
menjawab semua pesan teks
itu satu
per satu.
Selain soal
pekerjaan, ada tujuh panggilan
tak terjawab dari Kristal dan beberapa pesan WhatsApp juga darinya;
“Tadi aku kirim brunch. Tapi kurirnya
laporan ke aku, katanya kamu nggak masuk. Si kurir juga laporan, kata temanmu
kayaknya kamu sakit. Kamu di mana? Please answer my call. I’m worried.”
Pilar ragu
untuk menjawab atau menelepon balik. Dinilai dari karakternya, Kristal pasti memaksa
untuk datang. Pilar enggan basa-basi. Tidak ada tenaga untuk itu. Tapi… dia
memang butuh bantuan dan rasanya sangat sungkan merepotkan Nenek dan Mbak Mar
lagi. Baru saja Pilar mau membalas, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Kristal.
Mungkin dia melihat pesan WhatsApp
yang tadi dikirimnya
sudah centang biru, jadi dia
lekas menelepon.
“Hey, are
you okay?”
“Nggak
apa-apa kok. Cuma flu aja. Sori ya, HP kelupaan ditaruh di bagasi motor.”
“Kosan kamu di mana? Aku ke sana. Mau dibawain apa?”
...
Satu
setengah jam kemudian Kristal sampai. Pilar menjemputnya di teras, lalu mengajaknya
masuk untuk bertemu Nenek dan meminta izin agar Kristal dibolehkan masuk ke
kamarnya, “Nek, kenalin, ini
Kristal.”
Senyum
cerah hadir di wajah Nenek saat menjabat uluran tangan Kristal. “Akhirnya Pilar
memperkenalkan gadis lain,” mungkin itu yang ada di pikiran Nenek.
“Boleh
nggak Nek, kalau Kristal ngobrol sebentar di kamarku?”
“Boleh. Biar cepat sembuh kalau ada yang nengokin.” Nenek masih tersenyum cerah. Tapi senyum itu segera sirna dari wajah Nenek ketika melihat Pilar tidak nyaman saat Kristal menggandeng lengannya.
Setelah Pilar
dan Kristal masuk ke kamar, Mbak Mar mendekati Nenek dan bertanya dengan
semangat, “Itu
pacar baru Mas Pilar, Nek?”
“Bukan,” jawab Nenek dengan yakin.
***
Kristal
membawakan banyak sekali makanan dan buah. Dia meletakkannya di meja dan dia
langsung menyadari ada foto Intan di sana. Tanpa permisi, Kristal mengambil foto
itu dan memandanginya.
Pilar
hanya diam sambil duduk di pinggir kasurnya. Dia tahu mungkin menyakitkan bagi
Kristal untuk melihat foto Intan berada di sana.
Kristal
lekas mencoba menghalau rasa cemburu yang menusuk di dadanya. Dia meletakkan
kembali foto itu dan menarik kursi untuk duduk di samping kasur Pilar dan mengalihkan topik, “Nenek kos
kamu baik banget, ya. Kayaknya dia peduli banget sama kamu.”
Pilar tersenyum, “Iya,
bubur itu juga Nenek yang beliin.”
“Kok nggak
dihabisin? Aku suapin ya,” kata Kristal sambil mengambil mangkok dari meja
kecil.
Tapi Pilar
langsung menolak, “Gue makan
sendiri aja,” katanya sambil meminta mangkok bubur itu dari tangan Kristal.
Pilar tidak mau ada tangan selain tangan ibunya dan Intan yang menyuapinya. Ya, dulu Intan memang sering menyuapi Pilar kalau dia sedang sibuk bekerja sampai lupa makan atau saat dia sekadar sedang manja.
Mata
Kristal tertuju pada sesuatu. Pilar melihat ke arah yang dilihat oleh Kristal;
sarung tangan motor berwarna magenta milik Intan.
“Aku antar
ke rumah sakit yuk. Kamu dirawat di sana aja biar lebih cepat sembuhnya.” Walau
Kristal berusaha terdengar meyakinkan, tapi Pilar tahu Kristal hanya ingin dirinya
keluar dari kamar yang berisi benda-benda yang mengingatkannya pada mantan
kekasihnya.
“Gak usah. Gue cuma perlu istirahat aja kok.”
***
Jakarta
sedang macet. Itu bukan hal baru. Tapi Kristal menginjak gas mobilnya hingga menderu
seperti ingin balapan. Padahal setiap kali bergerak, paling dia hanya bisa maju
beberapa meter saja dan sebenarnya dia tidak sedang terburu-buru untuk tiba di
suatu tempat. Emosinya sedang tidak stabil.
“Warnanya magenta. Itu nggak mungkin punya kamu. It’s hers isn’t it?” Kristal berbicara sendiri di mobil dan dia marah pada dirinya sendiri karena dia tahu dia tidak punya hak untuk cemburu apalagi untuk marah.
***
Keesokannya
Pilar sudah cukup kuat untuk bekerja. Sebelum ke kantor, dia berniat untuk mampir
ke rumah Papa Rian. Tapi dari
luar pagar dia bisa melihat mobil Papa Rian sudah tidak ada di garasi, berarti
dia sudah berangkat dan kemungkinan Rian juga tidak ada di situ.
“Ntar malam gue coba ke Dusk9 lagi aja deh,” pikir Pilar dalam hati.
***
Fina
adalah orang pertama yang menyadari kedatangan Pilar saat dia memasuki ruang
kerja mereka. Senyum itu menyambutnya.
“Udah
sehat?” tanya Fina.
Pilar
mengepal tangan kanannya dan meng-angkatnya setinggi bahu untuk
memamerkan ototnya.
“Syukur
deh, gue senang lu masuk. Eh, maksudnya jadi gue gak sendirian buat meeting
nanti siang.” Fina segera mengoreksi maksudnya.
“Meeting
apa?”
“Buat produk
alat-alat olahraga gitu deh. Dapat klien baru. Anak merchandising ke sana
duluan. Kita disuruh nyusul jam 1-an. Gue udah dikasih alamatnya.”
“Oke. By
the way, thanks ya Fin udah ngeback-up materi yang kemarin.”
Fina
membalasnya dengan senyuman, “Jangan sakit lagi, ya.”
“Janji.
Gue udah cukup ngerepotin banyak orang kemarin. Elu, orang-orang di kosan,
sama..”
Kalimat Pilar
tidak selesai karena ponselnya berdering. Fina sedikit melirik berusaha melihat
nama penelepon di layar ponsel Pilar, tapi tulisannya terlalu kecil.
Jadi,
diam-diam, sambil pura-pura fokus kerja, Fina menguping. Dia ingin tahu apakah
si penelepon itu Intan.
“Hi Noah
Calhoun,” sapa Kristal
di ujung telepon.
“Hah?”
Pilar tidak mengerti kenapa Kristal me-manggilnya Noah Calhoun.
“Kamu itu Noah
Calhoun, Ryan Gosling di film Notebook. A true lover.”
“Hehe..
aneh-aneh aja lu.”
Mendengar
Pilar menggunakan kata sapaan “Elu”, Fina menahan senyumnya. Itu artinya si
penelepon bukan Intan, karena dengan Intan, Pilar pasti menggunakan Aku-Kamu.
Tapi Fina belum sepenuhnya senang karena entah kenapa dia yakin penelepon itu
seorang perempuan.
Mungkinkah itu perempuan yang kemarin mengirimkan sarapan untuk Pilar?
“Udah lebih
enak badannya?”
tanya Kristal.
“Udah. Ini malah lagi mau siap-siap meeting.” “Loh, kamu kerja?”
“Iya.”
“Kenapa
nggak istirahat dulu sih? Kemarin kamu demam banget gitu.”
“Ya itu
kan kemarin. Sekarang udah nggak apa-apa kok.”
“Terus
kamu ke kantornya naik motor?”
“Iya, kalau
naik bis malah tambah capek. Macet.” jawab Pilar santai.
“Kamu kan
baru sembuh, kalau naik motor nanti masuk angin lagi lho. Apalagi
musim hujan gini. Aku kan bisa jemput and antar kamu.”
“Ah, gak
perlu lah. Udah cukup ngerepotin elu seharian kemarin.”
Raut wajah
Fina berubah masam. Ada rasa cemburu mengetahui kemarin ada seseorang yang beruntung yang bisa berada di samping Pilar saat dia sakit.
“Kristal,
sori ya, gue harus siap-siap meeting nih. Kerjaan juga lumayan numpuk karena
kemarin gue nggak
masuk.”
“Ya udah,
makannya jangan telat ya. Take care.”
“Oke.” Pilar menjawab singkat, malas bermanis-manis.
Fina jadi tahu nama wanita itu. Kristal. Ironis sekali. Habis Intan, kemudian datang Kristal.
***
Pilar dan Fina berangkat untuk meeting di kantor klien baru mereka. Seperti biasa, Pilar yang mengemudikan mobil Fina. Pilar menyalakan musik berirama cepat untuk mencairkan suasana tanpa perlu banyak mengobrol. Sejak Pilar tahu Intan sedikit cemburu pada Fina, Pilar selalu seperti itu setiap kali berduaan dengan Fina di mobil; membatasi keperluan mengobrol.
...
Siang itu sama
dengan hari ini, Pilar dan Fina sedang
menuju lokasi meeting. Tiba-tiba notifikasi pesan teks di ponsel Pilar berbunyi.
“Yang lain nggak
ikut?” tanya Intan.
“Maksudnya?”
“Ya kamu kan timnya berlima.
Kok perginya sama Fina doang?
“Ya nggaklah, mosok lima-limanya pergi. Siapa dong yang jaga
kandang? Jadi aku sama
Fina doang. Kamu udah mam?”
Lalu Intan
membalas dengan emoticon yang meng-gambarkan bad mood.
“Kok BT?” tanya
Pilar bingung.
“Kamu mah,
ah.”
“Loh? Apa
sih, Mbel?”
“Gapapa.
Sebel aja ngebayangin
dia girang pergi berduaan sama kamu.”
Pilar langsung tertawa membaca pesan teks itu dan membuat Fina yang duduk di sebelahnya keheranan. Tapi Fina tidak berkomentar. Dia tahu itu pasti Intan, karena hanya Intan yang membuat mata Pilar menyala seperti itu.
...
Fina memang menarik. Parasnya manis dan tubuhnya mungil. Selain itu, dia juga cerdas dan sangat mudah diajak bicara tentang apa pun. Tapi sesungguhnya Intan sama sekali tidak perlu cemburu pada Fina atau pada siapa pun juga. Karena bagi Pilar hanya ada Intan. Dan hanya Intan. Meski begitu, senang rasanya mengetahui orang yang kita cintai takut kehilangan cinta kita.
Pilar
benar-benar berusaha menjaga kepercayaan Intan. Setiap kali sedang tidak bersama
kekasihnya itu, Pilar selalu
memilih untuk mengobrol bersama teman-temannya yang lain. Siapa pun selain
Fina.
Namun, sebagai
rekan satu tim, obrolan berdua dengan Fina memang tidak bisa dihindari. Bahkan, dua tahun lalu Pilar
harus dinas tiga hari dengan Fina ke Singapur. Walau Pilar tahu Intan tidak akan
marah dan pasti mengerti, tapi Pilar tetap memilih untuk mencari waktu yang
tepat untuk memberitahu Intan.
“Aku sedih
kamu tinggal dinas,” begitu kata Intan kala itu.
Karena itu sesibuk apa pun, Pilar pasti mengirim kabar dan tiap malam sebelum tidur, Pilar pasti menelepon Intan. Pilar benar-benar tidak mau membuat Intan cemas dan berpikir yang bukan-bukan. Bahkan, begitu selesai dinas pun, walau badan sangat lelah karena meeting tak berkesudahan selama di Singapur, dari bandara Pilar langsung ke rumah Intan.
...
Seperti kata Kristal beberapa waktu lalu, 330 hari memang waktu yang lama. Tapi Pilar tetap ingat semua itu dan tetap menjaga sikap walau Intan sudah entah ke mana.
***
Pukul
21.30 Pilar tiba di Dusk9. Bartender menyikut lengan Kristal saat melihat Pilar
berjalan mendekat.
“What are
you doing here?”
“Ngidam
lemon tea,” jawab Pilar sambil bercanda.
Kristal
keluar dari belakang bar lalu duduk di bangku di samping Pilar. Lalu Kristal
memegang dahi Pilar untuk mengecek suhu tubuhnya, tapi Pilar sedikit mundur
karena merasa tidak nyaman. Kristal tidak mengira hal sepele itu akan dianggap
lancang sampai Pilar harus menghindar seperti itu. Kristal menarik kembali
tangannya.
“Gue udah
sehat kok.”
Kristal
tersenyum kecil mencoba menjinakkan rasa kecewanya atas sikap Pilar tadi. “Kamu
udah makan?”
“Udah,
tadi di kantor. Sambil lembur bareng teman-teman.”
Bartender
menyajikan lemon tea di depan Pilar. Dia meminumnya sambil matanya memindai seisi
ruangan mencari Rian dan Papanya. Kristal jadi sadar tujuan Pilar datang ke Dusk9 bukanlah untuk
menemui dirinya, tapi
untuk mencari Papa Rian.
“Di sana,”
kata Kristal sambil menunjuk satu meja.
Pilar menengok ke arah yang ditunjuk oleh Kristal dan di sanalah dia melihat Rian berada. Duduk berseberangan dengan Papanya yang sedang ditemani wanita seksi. Rian terlihat begitu lesu, kusut, dan kian pucat. Kepalanya terus menunduk seperti anak penurut yang sedang dimarahi orang tuanya.
“Malam
Om.” Pilar menyapa Papa Rian. Om Bram dan Rian terkejut melihatnya.
“Malam,” jawab Papa
Rian.
Tanpa
dipersilakan, Pilar langsung ikut duduk di
sebelah Rian. “Saya lagi ketemuan sama teman saya, kebetulan banget ngelihat Om
di sini, jadi saya samperin aja. Nggak apa-apa kan, Om?” Pilar mencari-cari
alasan.
“Hm”.
“Sebentar
ya Om, ada telepon.” Pilar langsung mengeluarkan ponsel dari kantong celananya
dan berpura-pura menerima telepon walau sebenarnya ponselnya tidak berdering maupun bergetar. “Eh
Setan, kok lu udah lama nggak muncul?”
Rian
menengok ke Pilar dan berusaha mencerna maksud Pilar.
“Gue ada
informasi penting nih. Ntar datang ya.”
Rian
berusaha memahami, “Man, maksud lu gue?”
“Ya
iyalah, teman gue yang setan kan elu doang. Hahaha.” Pilar berusaha senatural
mungkin agar Om Bram tidak merasa ada yang aneh. “Pokoknya ntar datang ya.”
Pilar pura-pura memberi jeda sebelum menutup percakapan telepon. “Sip. Bye.”
Lalu Pilar
berlagak mematikan telepon dan memasukkannya kembali ke kantong celananya. “Om,
maaf ya saya nggak bisa lama-lama. Saya ada janji sama teman saya.”
Om Bram
terlihat bingung dengan sikap Pilar, tapi dia mempersilakan, “Ya.”
Pilar langsung pergi sebelum sikapnya makin terlihat aneh di depan Om Bram. Rian pun langsung mengekor di belakangnya.
“Kok cuma
sebentar ngobrolnya?” tanya Kristal saat Pilar berjalan kembali ke arahnya.
Pilar
berusaha mencari-cari alasan “Emm.. kan lu
bilang harusnya gue istirahat dulu. Jadi, ya udah sebentar aja.”
Senyum
langsung hadir di wajah Kristal karena merasa Pilar mau menuruti perkataannya dan
Pilar langsung mengutuk dirinya karena tidak pandai mencari alasan yang lebih
baik.
“Aku antar
ya.”
“Nggak
usah. Lu kan masih harus kerja.”
“Santai, I own this place, remember?”
“Katanya
bukan Daddy’s little girl?”
Dan
Kristal makin tersipu karena ternyata Pilar menyimak dan ingat apa yang pernah
Kristal katakan.
“Gue pulang ya.” Pilar berjalan pergi meninggalkan Kristal yang masih tersipu.
“Akhirnya jadian
lu, Man, sama dia?” Rian langsung menyerbu dengan pertanyaannya.
Pilar
tidak menjawab dan terus berjalan pergi. Tapi Rian tetap bertanya.
“Lambat amat sih lu geraknya. Udah, jadiin aja. Eh,
apa jangan-jangan lu udah ML ya sama dia? Gimana, Man? Mantep ya?” Rian terus mengoceh dan Pilar
mulai jengah. Dia berjalan makin cepat tapi Rian terus mengimbangi langkahnya.
Saat
mereka sampai di parkiran motor, situasi sedang sepi, Pilar langsung protes, “Kok jadi bawel lagi sih lu?
Perasaan tadi lu kusut amat.”
“Ya kan gue ikut senang klo lu
udah jadian sama tuh cewek. Seksi, Man. Terus, katanya lu ada info penting.
Jadi, gue semangat lagi. Apaan infonya? Ha? Ha? Apaan?”
“Berisik lu! Gua nggak jadi cerita nih?” Detik itu juga Rian langsung mengunci mulutnya dan langsung duduk manis di jok belakang motor Pilar.
***
Keheningan tidak berlangsung lama. Baru beberapa meter dari Dusk9, saat
membonceng di motor, Rian menepuk pundak Pilar, “Man, kapan lu mau cerita?”
Pilar memutar kedua bola matanya. Memang sulit dipercaya ada setan sebawel
ini.
“Kok diem
aja sih lu? Masih belum boleh ngomong nih gue?”
Pilar langsung
menghentikan motornya di sebuah taman sepi dan Rian langsung turun dari motor.
Wajahnya berseri tak sabar mendengar informasi dari Pilar.
“Si
Kristal cerita. Dia bilang, sebelum elu kecelakaan...” Pilar sengaja memberi
jeda karena tahu Rian tidak akan suka mendengar kalimat-kalimat berikutnya. “…sorenya nyokap lu
datang nyamperin bokap lu pas dia lagi main golf bareng bokapnya Kristal.”
Rian
sangat terkejut.
“Katanya
sih mereka debat lumayan lama, terus bokapnya Kristal sempat dengar nyokap lu bilang,
kalau dia berhak ketemu elu karena elu anaknya.”
Rian gusar
dan berkata kasar, “Ngapain tuh perempuan ganggu bokap gue lagi?”
“Lu tenang
dulu. Siapa tau urusan lu sebenarnya sama nyokap lu bukan sama bokap lu.”
“Halah,
gua nggak ada urusan sama dia! Nggak sudi gua!” Rian makin gusar. Dia berjalan mondar-mandir
dengan cepat.
“Rian, menurut
gue udah cukup jelas kalau bokap lu udah ikhlasin elu, tapi sampai sekarang lu
masih nyangkut di sini. Jadi mungkin aja…”
“Diam lu,
bangsat! Lu nggak tahu apa-apa soal perempuan itu!”
Pilar tersenyum sinis. “Emang taik lu ya. Elu yang maksa gue buat bantuin elu. Tapi sekalinya gue dapet petunjuk, lu nggak mau dengarin gue. Terserah elu lah.” Pilar memasang helmnya dan melaju dengan motornya.
***
Pilar
membuka pintu kamar kosnya. Dia menduga Rian sudah ada di sana, melakukan
kebiasannya, yaitu meminta Pilar memaafkannya karena telah berkata seenaknya
dan kembali meminta Pilar membantunya. Tapi rupanya Pilar salah. Rian tidak ada
di sana. Tampaknya memang sebesar itu kebencian Rian pada mamanya. Mungkin
seharusnya Pilar tidak bersikap sekeras itu pada temannya. Mungkin luka hati
Rian karena ditinggal pergi mamanya saat dia masih SD tetap
menganga layaknya luka hati Pilar saat Intan memutuskan untuk pergi.
Intan,
lagi-lagi Intan. Semuanya kembali pada Intan. Topik apa pun, berujung pada
Intan.
Biasanya tiap kali Pilar kelelahan atau sedang memikirkan sesuatu, Intan akan memijit punggung Pilar atau mengusap bagian dada di atas jantung Pilar untuk menenangkannya. Namun, kini Pilar sering mendapati dirinya meletakkan tangannya sendiri di atas jantungnya dan membayangkan tangan Intan pun ada di situ.
HP Pilar berbunyi. Tapi Pilar tetap cuek berbaring di kasurnya. Dia malas mengangkatnya. Bahkan sekadar mengecek siapa peneleponnya pun dia enggan. Sudah pasti itu bukan Intan. Sudah sebelas bulan dering itu tak pernah dari Intan.
Paling yang nelpon teman-teman, atau soal kerjaan, atau mungkin Kristal. Kalau penting, nanti juga tuh orang bakal nelpon lagi.
***
Rian masih
duduk seorang diri di tempat tadi Pilar meninggalkannya. Raut wajahnya dipenuhi
kebencian, kedua matanya memandang tajam pada kejauhan, dahinya berkerut
menahan amarah, rahangnya
dikatupkan
dengan kencang, kedua tangannya men-cengkeram
erat di kursi taman.
Kenangan
pahit itu hadir. Rian, yang kala itu masih kelas lima SD, baru saja pulang dari sekolah saat
mendapati mamanya di pekarangan rumah sudah siap pergi sambil membawa koper dan
beberapa tas. Rian benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
melihat air mata yang membanjir di wajah mamanya, Rian tahu ada yang tidak
beres. “Mama mau
ke mana? Mama kenapa, Ma?”
Mamanya
tidak sanggup menjawab. Hanya pelukan erat yang Rian dapatkan. Dan tiba-tiba
tangan kokoh Papa Rian mencengkeram lengannya dan melepaskan Rian dari pelukan mamanya.
Rian berusaha memberontak, tapi papanya
terlalu kuat dan Papa terus menariknya untuk segera masuk ke rumah.
“Rian,
Mama sayang kamu, Nak. Mama sayang kamu.” Mama Rian terus meneriakkan kata-kata itu.
Rian pun tidak henti-hentinya mencoba mem-berontak ingin kembali mendekati mamanya. Tapi papanya benar-benar tidak kenal ampun. Rian terus ditarik hingga masuk ke dalam rumah dan pintu dibanting lalu dikunci oleh papanya. Rian hanya bisa menangis dan memandangi kepergian mamanya dari balik kaca.
***
Hari ini
Pilar kurang bisa fokus bekerja. Beberapa kali dia celingukan sambil berharap
Rian datang menemuinya. Kegelisahan Pilar sangat disadari oleh Fina. Bahkan
saat ponsel Pilar berdering di meja, Fina yang lebih dulu menyadarinya.
“Ada
telepon tuh,” Fina memberi tahu.
“Oh.”
Pilar memajukan kepalanya dan melihat nama Kristal tertera di layar ponselnya.
Namun, ponsel itu dibiarkan terus berdering.
“Pasukan
Asam Lambung, udah jam 12 nih. Turun yuk, keburu penuh warungnya, ntar susah
dapat kursi.” Edo sudah tidak sabar.
“Ayo, yuk,
yuk.” Satu per satu teman-teman yang lain menyahut dan berdiri dari kursi kerja
mereka masing-masing. Pilar dan Fina pun ikut berdiri.
Mereka berlima keluar
dari pintu utama gedung kantor untuk menuju warung makan. Fina berjalan di
samping Pilar sambil membahas email
dari klien. Kulit Fina yang putih membuat rona di wajahnya tampak
jelas tiap kali dia senang karena
bisa
mengobrol berdua Pilar.
Namun, rona gembira itu perlahan pudar ketika suara seorang perempuan tiba-tiba
memanggil Pilar.
“Pilar!”
Pilar, Fina,
dan ketiga teman
mereka menoleh ke arah suara.
“Lho, Kristal.” Pilar
sangat terkejut melihat Kristal ada di situ.
Sembari
berjalan cepat menghampiri Pilar, Kristal bertanya, “Kok dari tadi aku telepon
nggak diangkat sih?”
“Emm..
handphone gue silent. Sori.” Pilar berbohong dan itu membuat Fina tersenyum
menyadari bahwa yang tadi menelepon dan sengaja tidak diangkat oleh Pilar
adalah perempuan bernama Kristal ini; perempuan yang ternyata tidak penting
bagi Pilar.
Senyum
kecil sinis di sudut bibir Fina tertangkap di mata Kristal yang cermat
mengawasi keberadaan perempuan lain di samping Pilar.
“Emm.. Ada apa? Kenapa ke sini?”
“Ini.”
Kristal menyorongkan kotak makan siang. “Bawain makan siang buat kamu.”
Pilar
makin kikuk. “Tapi... gue udah janji mau makan bareng teman-teman. Ini kita
lagi jalan mau ke warung.”
“Oh gitu?
Ya udah nggak apa-apa. Ini bisa buat makan malam kamu kok. Sekarang makan
bareng teman-temanmu aja. Yuk. Aku ikut, ya?” Kristal berkata tanpa malu.
“Hah?
Emm.. Ee..”
“Iya Mbak, nggak apa-apa, ayo ikut aja.” Edo, yang berdiri beberapa langkah di depan Pilar dan Kristal, menyambar dan mempersilakan Kristal ikut.
Mereka berenam duduk
mengelilingi meja warung makan. Kristal sangat ingin tahu nama perempuan yang
tadi pipinya merona saat berjalan di samping Pilar. Karena itu, Kristal sengaja
mengajak semua teman Pilar berkenalan hingga akhirnya dia pun berhasil tahu
bahwa perempuan itu bernama Fina.
Padahal
selain Fina, Uta juga ada
di situ. Tapi Kristal bisa dengan peka membaca perempuan yang mana yang
berpotensi menjegal langkahnya.
Walau ini
pertama kalinya Kristal makan di sebuah warung makan yang sangat sederhana, dia
melawan rasa tidak nyamannya demi memamerkan kedekatannya dengan Pilar. Tanpa diminta, dia membersihkan
sendok-garpu dengan tisu lalu memberikannya kepada Pilar. Dia juga menuangkan
sambal ke piring Pilar saat Pilar meminta tolong diambilkan mangkok sambal yang
letaknya agak jauh darinya. “Segini aja ya sambalnya, kamu kan kemarin habis
sakit.”
Pilar hanya diam. Dia tahu teman-temannya pasti mengira Kristal adalah pacar barunya dan dia tidak nyaman dengan dugaan itu. Namun, di saat yang sama, Pilar tidak bisa memungkiri bahwa dia butuh Kristal agar bisa membantu Rian. Mau tidak mau, Pilar bersabar menghadapi keagresifan Kristal.
...
Setelah
selesai makan, Pilar mengantar Kristal kembali ke mobilnya, sedangkan
teman-teman yang lain langsung kembali ke ruangan. Tangan kiri Pilar menenteng
kantong plastik berisi kotak makan siang dari Kristal dan tangan kanannya
sengaja dimasukkan ke kantong celana karena tidak ingin secara tidak sengaja
bersenggolan dengan tangan Kristal. Tapi, Kristal tetap cuek menggandeng lengan
Pilar. Walau jengah, lagi-lagi Pilar hanya
diam.
Kristal
merasa peluangnya kian terbuka karena sejak tadi Pilar tidak menghindar ataupun
mengelak. Itu sangat berbeda dengan sikap Pilar kepadanya beberapa hari lalu.
Kristal tidak tahan untuk tidak tersenyum lebar dan menikmati momen ini.
“Malam ini
kerja?” tanya Pilar kepada Kristal setelah Kristal duduk di belakang kemudi
mobilnya dan membuka lebar kaca jendelanya.
“Mm.. bisa
ya, bisa nggak sih. It depends. Kamu mau ngajak aku kencan?”
Pilar
tertawa kecil, tapi langsung mengklarifikasi dengan memberi tahu tujuannya
sebenarnya, “Gue butuh
bantuan lu.”
“Soal Om Win
lagi?
“Bukan. Kali ini soal mantan
istrinya,” jawab Pilar.
“What?
Why?”
“Emm... Pokoknya
gue perlu tahu nama lengkap mantan istrinya Om Bram atau Om Win itulah. ”
“Hm.. Papi tahu nggak, ya?
Gimana ya?” Kristal berpikir sebentar lalu melanjutkan dengan bertanya, “Kalau aku gak bisa
dapetin namanya, kita nggak jadi ketemuan nanti malam?” Kristal memastikan.
Pilar diam dan untungnya
tanpa Pilar menjawab pun Kristal sudah bisa menduga jawabannya.
Tapi
Kristal tidak gentar. “It’s okay, aku suka tantangan. I’ll find out,”
ujar Kristal sambil menyalakan mesin mobilnya.
Pilar
tersenyum dan dadah melambaikan tangan.
Walau sering dirasa mengganggu, tapi Pilar kagum pada rasa percaya diri Kristal yang sangat tinggi.
***
Pilar
berjalan memasuki ruang
kerjanya. Edo langsung menggoda, “Ini dia nih Don Juan kita.
Gila. Cakep mulu pacarnya.”
Zidan juga langsung
menimpali, “Iya, bisa
aja nih Pilar. Akhirnya move on juga lu dari Intan.”
Begitu nama itu disebut, tanpa
dikomando, seketika ruangan hening. Langkah Pilar pun sempat terhenti sebelum
dia berlagak baik-baik saja dan melanjutkan jalan, lalu duduk di kursi kerjanya.
Edo menyikut Zidan. Mimik wajah
Edo menunjukkan teguran keras kepadanya. Zidan juga langsung mengangguk-angguk
meminta maaf karena menyadari seharusnya dia tidak perlu berbicara begitu.
Setidaknya teman-teman Pilar di satu ruangan itu paham, nama Intan sebaiknya tidak disebut-sebut di depan Pilar. Bukan karena Pilar benci, tapi karena muram selalu hadir saat nama itu disebut.
Fina memberanikan diri untuk benar-benar menoleh dan memperhatikan reaksi Pilar. Rasa sakitnya tidak berkurang walau kita sudah seringkali melihat orang yang kita idamkan merasa sedih karena merindukan orang selain kita. Tapi, apa daya kita kalau hati belum bisa diajak mencintai yang selain dia?
***
Kristal duduk di sebuah meja di
dekat bar. Dia sedang mengerjakan materi presentasi pengembangan bisnis untuk
diajukan ke papinya. Namun, sore ini dia tampak berbeda. Wajahnya terus dihiasi
senyuman. Dia tidak bisa melawannya. Hatinya berbunga-bunga. Para stafnya pun
menyadari hal itu dan diam-diam menertawakan atasan mereka yang sedang
kasmaran.
Begitu ponselnya berbunyi,
Kristal langsung mengeceknya. Sebuah pesan teks masuk, memberikan informasi
tentang nama lengkap mantan istri Om Win.
“Yes!” Kristal sangat senang
dan langsung menelepon Pilar.
“I got it,” kata Kristal tanpa
basa-basi.
“Oh ya?” Pilar memastikan.
“Iya dong. Aku.” Kristal
membanggakan dirinya sendiri.
“Siapa nama lengkapnya?”
“If I tell you now, nanti kamu
cari-cari alasan buat batalin ketemuan.”
“Hehe, ya nggak gitu jugalah.”
“So? Nanti malam kamu ke sini atau aku ke kosanmu?” Kristal sangat antusias.
***
Pilar tidak ingin menemui
Kristal di Dusk9 karena tidak ingin berpapasan atau terlihat oleh Rian yang
kemungkinan besar mengekor Papanya di sana. Pilar ingin menggali informasi
sebanyak-banyaknya dulu sebelum menemui Rian. Namun, Pilar juga tidak ingin
meminta Kristal datang ke kosan karena tidak ingin membiasakan Nenek, Mbak Mar,
dan Lela akan kehadiran Kristal.
Jadi, malam ini mereka bertemu
di taman kota yang sejuk dan tidak terlalu ramai.
“You are such a romantic,” kata
Kristal.
“Maksudnya?”
“Aku baru kali ini lho diajak
ketemuan di taman begini. Biasanya orang tuh ngajak ketemuan di kafe, coffee
shop, restoran…”
Pilar hanya tertawa. Sebenarnya
Pilar hanya tidak ingin pertemuan ini terasa seperti kencan. Lagi pula sesak di
hati dan kepala Pilar membuatnya butuh untuk sering berada di ruangan terbuka.
“Kamu udah makan?” tanya
Kristal.
“Udah.”
“Oh iya, makan menu yang tadi
siang aku bawain ya?”
“Iya.” Pilar berusaha tidak
kikuk.
“Suka salmon mentainya?”
“Suka,” jawab Pilar singkat.
Namun, dia langsung menyesali kebohongannya. Makanan itu Pilar berikan kepada
office boy-nya tanpa tahu apa isi makanannya sebenarnya.
Tampak Kristal memaksakan
sebuah senyuman sambil menundukkan pandangannya dan untuk sejenak Kristal tidak
berbicara.
Pilar tahu dia sudah terjebak.
Pasti makanan yang tadi Kristal bawakan bukan salmon mentai. Pilar tidak tahu
harus berkata apa. Dia tahu dia telah menyakiti perasaan Kristal. Untungnya
Kristal tidak membiarkan kekecewaannya mengendalikan emosinya.
“Aku udah tahu nama lengkap
mantan istrinya Om Win. Tapi, sebelum aku kasih tahu ke kamu, I want you to be
honest. Ada apa sih sebenarnya?”
“Aduh, kasih syarat lain aja
deh supaya lu mau ngasih tau namanya,” pinta Pilar.
“Okay… Kalau gitu… kiss me,”
jawab Kristal tanpa malu dan sambil memajukan kepalanya mendekati kepala Pilar.
Menanti.
Pilar kikuk. Dia menggeser
duduknya sedikit menjauh, lalu berdeham.
Kristal sadar itu penolakan
halus. Dia kembali memundurkan kepalanya dan menunduk untuk menutupi
kekecewaannya. Pilar tidak tega melihatnya.
“Kristal, maaf, gue benar-benar
nggak bisa cerita. Tapi sumpah gue sama sekali nggak ada niat jahat ke Om Bram
dan gue nggak akan nyalah gunain info dari lu.”
Walau sangat kecewa dan
menyadari dirinya benar-benar dimanfaatkan, Kristal tidak berani menghadapi
kemungkinan dirinya akan benar-benar dijauhi oleh Pilar jika dia tidak
memberitahukan nama mantan istri Om Win. Dia pun mengalah. “Oke. Namanya Lana
Zetira,” jawab Kristal.
“Nah, gitu dong,” ujar Pilar.
“Makasih, ya.”
“Enak aja makasih doang.
Nothing is free, you know.”
“Hahaha… oke, Gue traktir yuk. Lu mau makan apa, di mana?” tanya Pilar.
***
Saat semalam Pilar mengatakan
dia akan mentraktir Kristal dan mempersilakannya memilih menu dan tempat, Pilar
sama sekali tidak menyangka Kristal akan memilih ditraktir makan siang di warung
makan dekat kantor Pilar bersama teman-teman Pilar. Tekad Kristal untuk
mendekatkan diri dengan teman-teman Pilar memang juara.
“Aduh,” begitu kata Pilar dalam hati sewaktu mendengar jawaban Kristal atas pertanyaannya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah terjebak dalam penawarannya sendiri.
...
Kristal datang 20 menit lebih
cepat dari waktu istirahat makan siang, jadi Pilar memintanya menunggu di lobi
gedung. Saat sedang duduk menunggu, Kristal melihat Edo lewat dan tanpa ragu
dia langsung menyapanya, “Edo!”
“Eh, Kristal.”
“Baru datang?”
“Iya, gue tadi syuting di
studio yang di Antasari dulu, terus baru ke sini deh.”
“Oh.”
“Lu mau ketemu Pilar?” tanya Edo.
“Iya, mau makan siang bareng
lagi rame-rame kayak kemarin. Boleh, kan?” Kristal sama sekali tidak canggung.
“Boleh, dong. Ikut ke atas aja
yuk. Daripada nunggu di sini. Lumayan masih 15 menitan lagi.”
Kristal langsung tersenyum lebar.
...
Pilar sedang membahas sebuah
konsep bersama Fina. Mereka tidak menyadari Kristal sudah berada di ruangan
itu. Lagi-lagi Kristal bisa menangkap ada yang tidak biasa dari cara Fina
menatap Pilar. Kecemburuan makin tersulut, tapi Kristal tetap diam.
“Oi, Pilar, ada Kristal nih,”
kata Edo.
Pilar langsung menengok dan dia
sangat kaget melihat Kristal sudah berdiri di situ. Begitu pula Fina. Tidak
hanya kaget, rona di pipinya juga langsung gaib.
“Hei,” Pilar menyapa dengan
sangat kikuk.
“Edo ngajak aku naik.” Kristal
menjelaskan.
“Iya, daripada bengong di
lobi.” Edo menyela.
“Oo...” Pilar masih kikuk.
Melihat Pilar kikuk, Edo
langsung berinisiatif mengambilkan kursi untuk Kristal agar bisa duduk di dekat
Pilar dan Fina. “Duduk dulu, Kristal,” kata Edo.
“Thanks, Do.”
“Wan, tolong ambilin minum buat
Mbak Kristal, ya,” Edo pula yang berinisiatif meminta office boy untuk
menyuguhkan minum bagi Kristal.
Pilar hanya diam. Tetap kikuk. “Mm…”
Pilar benar-benar tidak tahu mau berkata apa. Dia menyadari beberapa teman
sekantornya sesekali melirik ke arah Kristal dan berkasak-kusuk.
“Gue ke toilet dulu ya,” Fina
memecah keheningan.
Namun, tanpa disangka-sangka
Kristal malah minta ikut, “Ikut dong. Gue juga pengen ke toilet.”
Fina tidak bisa menyembunyikan
rasa enggannya. Dia hanya memberi anggukan kecil tanpa mengeluarkan suara.
Bahkan dia langsung membalik badan dan jalan lebih dulu.
Pilar menyadari itu, begitu
pula Kristal. Tapi Kristal tidak ciut. Dia tetap senyum, bangkit dari kursinya,
dan berjalan menyeimbangi Fina.
Fina keluar dari bilik toilet
dan berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Kristal sudah lebih dulu berdiri
di sana, sambil berkaca dan merapikan rambutnya. Dia tidak berkemih. Makin
jelas bahwa dia hanya mencari-cari kesempatan untuk bisa berbicara dengan Fina.
“Fin, lu nggak apa-apa kan
kalau gue ikut makan siang bareng lu dan teman-teman lu?” Kristal berterus
terang.
“Maksudnya?”
“Sori ya, Fin, gue bukan orang
yang pintar basa-basi, gue tahu lu suka sama Pilar, jadi kalau…”
“Kata siapa?” Fina langsung
menyela tanpa mem-biarkan Kristal menyelesaikan kalimatnya. “Kata Pilar?”
“Nggak. Bahkan gue rasa Pilar
nggak nyadar kalau lu suka sama dia. Tapi gue bisa tahu. Kelihatan.” Kristal
menjelaskan.
Fina merasa terusik. Dia menyudahi
cuci tangannya, lalu menghadapkan badannya ke Kristal. “Gue nggak ngerti nih
maksud lu sebenarnya apa?”
“Ya, kita kan sama-sama suka
nih sama Pilar, so, yeah… I hope we can have a fair game.” Kristal sama sekali
tidak basa-basi dan membuat Fina makin kesal.
“Gue nggak
pernah sedetik pun berusaha ngebentengin Pilar
dari elu. Lagi pula, kalau emang gue mau dapetin Pilar, saingan gue bukan elu.
Saingan gue tetap Intan. Asal
lu tahu, ya, sampai sekarang pun gue masih sering ngelihat Pilar
tiba-tiba diam, narik napas dalam-dalam, dan tanpa dia sadar dia bilang ke
dirinya sendiri, ‘Nggak
apa-apa.’ Kalau
lu ngerasa Pilar baik sama elu, ya itu emang karena dia baik. Nggak lebih. Kita
berdua ini nggak ada artinya buat Pilar. Jadi, gue saranin lu nggak usah GR dan
nggak usah ganggu gue.”
Fina menuntaskan kalimat demi
kalimat dengan lugas lalu pergi meninggalkan Kristal yang mendadak terdiam
mendengar semua kata-kata menyakitkan itu.
“So, her name is Intan,” pikir Kristal dalam hati. “Is that really how much he still loves her?”
***
Malam ini Pilar kembali datang
ke Dusk9. Dia sudah membekali dirinya dengan data-data yang cukup kuat untuk
dijadikan bukti bahwa kemungkinan besar memang Mama Rianlah yang menjadi kunci
agar Rian bisa berpulang dengan damai.
Pilar duduk di bar, tapi dia
tidak melihat Kristal. Lantas dia mengedarkan pandangannya ke berbagai sudut.
Kristal tetap tidak kelihatan. Saat pandangannya kembali ke arah bar, segelas
ice lemon tea disajikan untuknya oleh seorang bartender pria. “Mbak Kristal
nggak kerja malam ini. Dia lagi nggak enak badan. Tapi kita di sini semua udah
dikasih tahu, kalau lu datang, kita disuruh langsung ngebuatin ice lemon tea,”
si bartender itu menjelaskan.
“Oh… Oke, makasih, ya.”
Bartender itu hanya menggangguk
santun dan hendak berjalan melayani tamu lain saat Pilar kembali memanggilnya,
“Bro, Kristal sakit apa?” tanya Pilar.
“Gue nggak tahu. Dia cuma
bilang nggak enak badan.”
“Oke. Thanks.”
Pilar bertanya-tanya ada apa
sebenarnya. Tadi siang sejak kembali dari toilet bersama Fina, sikap keduanya
berubah; menjadi diam dan cemberut.
Pilar mengeluarkan ponsel dari
kantong celananya dan hendak menelepon Kristal. Tapi dia ragu, takut
disalahartikan, takut dikira mulai perhatian.
Saat masih menimbang-nimbang,
Pilar melihat Rian dan Papanya memasuki Dusk9. Seketika perhatian Pilar
teralihkan dari perkara menelepon Kristal. Pilar pun langsung bersiasat agar
bisa mendapatkan perhatian Rian.
Pilar segera berdiri dan
menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Papa Rian, “Malam, Om, apa kabar?”
Dahi Papa Rian berkerut melihat
Pilar. Sepertinya dia mulai kurang suka karena Pilar sering tiba-tiba muncul di
hadapannya. Bahkan uluran tangan Pilar tidak dipedulikan. Papa Rian hanya
mengangguk dingin dan berjalan melewati Pilar. Tapi tidak apa, setidaknya Pilar
jadi berhasil menarik perhatian Rian.
“Apaan lagi sih, Man? Kan gue
udah bilang, kalau lu keseringan muncul depan bokap, dia bakal
ngerasa aneh dan
BT.”
Pilar segera menggunakan jurus
ampuhnya untuk berkomunikasi dengan Rian tanpa membuat orang lain curiga, yaitu
dengan pura-pura menelepon, “Halo. Ya, oke. Sip-sip. Kita ketemu di tempat gue
sejam lagi ya.”
Pilar tidak menunggu respon Rian. Dia minum ice lemon tea yang sudah disajikan untuknya, mengucap terima kasih kepada bartender, dan langsung pergi dari sana.
***
Pilar dan Rian sudah duduk
bersama di teras samping kosan Pilar. Tanpa basa-basi, Pilar langsung membuka laman
Facebook Mama Rian dan memberikan ponselnya kepada Rian, “Lihat nih. Lu scroll
terus aja sampai ke atas.”
Rian mengambil ponsel itu.
Namun, baru melihat nama akunnya saja sudah membuat Rian kesal dan mau
mengembalikan ponsel itu ke Pilar, “Apa-apaan sih lu, Man? Gue udah bilang, gue
nggak mau ada urusan sama perempuan ini!”
Pilar kesal tapi tidak ingin
terpancing marah. Dia mengembuskan napas perlahan untuk mengontrol emosinya,
“Lu lihat dulu. Lihat baik-baik.”
Rian mengalah. Dia pun jadi
penasaran sebenarnya apa isi Facebook mamanya sehingga Pilar bersikeras agar
dia melihatnya.
Satu per satu unggahan di
Facebook itu Rian baca. Raut wajahnya yang tadinya penuh kerutan dan tampak
garang karena marah, perlahan melunak. Di dalam media sosial itu dia melihat
sangat banyak foto dirinya waktu kecil. Foto-foto dari hasil kamera analog itu
difoto ulang menggunakan kamera digital dan diunggah ke Facebook disertai
ungkapan kerinduan seorang ibu kepada anaknya. Bahkan di tiap tanggal ulang
tahun Rian, mamanya selalu membuat sketsa perkiraan wajah Rian sesuai dengan
pertambahan usianya.
Rian terdiam. Sebenarnya
hatinya tersentuh, tapi egonya masih terlalu tinggi untuk mengakuinya, “Lu
pikir kalau gue lihat postingan-postingan ini gue bakal berubah pikiran?
Percuma, Man. This doesn’t change the fact that she left me and my dad.”
“Mungkin dia punya alasan yang tepat.
Mungkin seharusnya lu gak sebenci itu sama nyokaplu. Lagi pula, lu kan tau,
surga di bawah telapak kaki ibu.” Pilar mengingatkan dengan baik, tapi Rian
justru makin marah.
Rian langsung meletakkan ponsel
Pilar dengan kasar ke meja, lalu berdiri dan berbicara dengan nada tinggi,
“Dengar, ya! Ibu kayak dia nggak ada surga di telapak kakinya karena kakinya
itu udah dipake buat nginjak-nginjak harga diri bokap gue pas dia mutusin untuk pergi!”
Pilar
terpancing emosi. Dia juga sudah akan berbicara lantang, tapi dia teringat
bahwa ada Nenek, dan orang-orang lain di dalam rumah. Oleh karena itu Pilar
memilih diam sesaat hingga emosinya mereda dan bisa berbicara tanpa harus
menyerang. “Rian, gue nggak akan maksa.
Terserah lu aja. Tapi,
kalau lu berubah pikiran, Sabtu besok gue bisa nemanin lu ke Panti Rahmah di
Jalan Mustika.”
“Maksudlu?” tanya Rian.
“Tiap Sabtu postingan nyokap lu
pasti tentang kegiatan-kegiatan dia di panti asuhan itu. Kita bisa nemuin dia
di sana.”
“Ck!” Rian berdecak kesal.
“Rian, lu
makin pucat. Suara lu juga agak serak sekarang. Kalau gue hitung-hitung,
waktu lu tinggal 12 hari lagi kan? Pikirin baik-baik.” Pilar menasihati.
Rian yang sejak tadi berdiri berkacak pinggang, membalik badan dan membelakangi Pilar. Tak lama kemudian Rian menghilang.
Aku salah nggak sih, Mbel?
Aku jadi terlalu ikut campur, ya?
Kepada siapa lagi Pilar akan
berbagi cerita kecuali kepada Intan?
Walau hanya sepihak dan tak
pernah ada respon.
#KerabatRinduSepihak
***
Sabtu telah datang, tapi tetap
tak ada kabar dari Rian.
“Ya udahlah. Yang penting gue
udah usaha,” pikir Pilar dalam hati.
Namun, tanpa sepengetahuan
Pilar, ternyata Rian mendatangi mamanya di panti asuhan yang kemarin disebut
Pilar.
Rian melihat mamanya menyayangi
puluhan anak panti, mengajarkan mereka menggambar, mengajak mereka bermain. Ada
rasa iri dan kerinduan di hati Rian.
Kemudian Rian melihat mamanya
solat dan berdoa menyebut namanya, "Ya Allah, aku rindu anakku. Di manakah
dia? Tolong jaga dia. Aku tidak akan berhenti memohon kepadaMu Ya Allah, tolong
pertemukan kami. Tolong izinkan aku memeluknya, mencintainya, merawatnya
seperti dulu. Ya Allah, tolong beri aku umur, jangan wafatkan aku sebelum aku
bisa bertemu dengan putraku, Ya Allah.”
Amarah yang selama ini Rian
pelihara, seketika cair. Dia menyesali jutaan detik yang telah dia lalui dengan
membenci mamanya. Dia sungguh tidak menyangka. Di satu sisi, mamanya selalu memohon
diberi umur agar bisa bertemu dengannya, di sisi lain Rian justru wafat dalam
keadaan masih membenci mamanya.
Rian menangis sejadi-jadinya. Dia
berlari memeluk mamanya. Namun,
tak disangka-sangka, pelukannya menembus bagaikan udara. Rian mengulanginya
lagi, tapi tetap tidak bisa. Rian pun mencoba menggerakkan dan mengangkat
benda-benda yang ada di ruangan itu, tapi hasilnya tetap sama; tidak bisa.
Ini terasa bagai hukuman telak. Rian jadi menyadari bahwa selama ini dia
menyia-nyiakan kemampuannya menyentuh dan menggenggam dengan hanya menggunakannya
untuk menjahili Pilar. Dan kini, saat dia sangat ingin memeluk mamanya, kemam-puannya
itu telah direnggut darinya.
Rupanya Pilar benar. Sudah sedemikian peliklah kondisi Rian, sudah kian dekat batas waktunya dan kian menipis kesempatan yang dimilikinya.
***
Sejak saat itu, Rian mengikuti
ke mana pun mamanya pergi. Rian jadi tahu di mana mamanya tinggal, dan dia
melihat sendiri setiap sudut rumah itu dipenuhi dengan foto-foto masa kecilnya,
dan bahwa mamanya selalu dengan sengaja mendekap dan menghirup aroma kaos Rian
waktu kecil sebagai pengantar tidurnya.
Rian juga jadi tahu bahwa sejak
pisah dari papanya, mamanya tidak pernah menikah lagi. Fakta itu bertolak
belakang dari tuduhan papanya saat Rian kecil dulu, “Mamamu pasti punya
laki-laki lain! Kalau enggak, mana mungkin dia jadi berani ngelawan papa? Dari
dulu juga biasanya diam!” Begitulah kata papanya dulu.
“Udah, jangan nangis. Laki-laki
nggak boleh cengeng. Kita bisa cari mama baru. Kamu mau yang seperti apa? Semua
bisa dibeli!” Tragedi siang hari puluhan tahun lalu itu kembali hidup di kepala
Rian. Tapi kini Rian menyaksikan sendiri bahwa papanya salah.
Mama bertahan seorang diri, mencari nafkah sebagai ilustrator buku cerita anak, dan mengisi akhir pekannya menjadi sukarelawan di panti asuhan. Bahkan sesekali mamanya juga mengajak anak-anak panti itu makan di restoran atau menonton film bersama di bioskop.
Makin hari Rian makin pucat dan lemah. Sangat berbeda dari sosok Rian yang biasanya energik. Dia tahu waktunya semakin dekat. Dia juga tahu bahwa agar rohnya bisa diterima di akhirat, dia harus meminta ampunan dan berpamitan kepada mamanya. Tapi Rian masih rindu dan masih ingin bersama mamanya. Dia terus menunda.
...
Suatu hari saat sedang
mengikuti mamanya ke bioskop bersama anak-anak panti, Rian berpapasan dengan
perempuan cantik. Dia mencoba mengingat-ngingat di mana dia pernah melihat perempuan
itu.
“Oh iya, itu Intan. Mantannya
Pilar.”
Rian sempat ragu apakah terus
mengikuti mamanya atau mengikuti Intan. Tapi Rian tahu Pilar pasti senang kalau
dia bisa memberinya informasi soal Intan. Jadi, untuk membalas kebaikan Pilar,
Rian memutuskan untuk tidak mengikuti mamanya pulang dan malah balik lagi ke
dalam bioskop untuk mengekor Intan.
Rian
mengamati Intan dari dekat. Ternyata Intan tidak sendiri. Dia datang ke bioskop itu bersama
seorang laki-laki. Sambil menunggu jam
pemutaran film, mereka duduk berhadapan di sebuah meja dan menikmati minuman
mereka masing-masing.
Mereka
terlihat masih agak canggung terhadap satu sama lain. Tapi kemudian laki-laki
itu mem-beranikan diri bertanya, “Jadi, kamu udah siap kasih jawaban ke aku?”
Intan
mengangguk malu.
“Apa
jawabannya?”
“He-em.”
“He-em?
Maksudnya, kamu mau?” Lelaki itu memastikan.
“Iya.” Intan menjawab lembut dan membuat lelaki itu tersenyum lebar lalu menggenggam tangan Intan.
Rian tertegun. Perempuan ini bukan siapa-siapa baginya, tapi perempuan ini segalanya bagi sahabatnya, dan kini dia menyaksikan perempuan ini menyerahkan hatinya untuk orang lain.
***
Karena
lama tidak mendapat kabar dari Rian, Pilar mencoba mengalihkan perhatiannya
dari segala kepenatan dengan cara lama, yaitu bekerja. Dia mengambil berbagai pekerjaan
tambahan di luar jam kantor agar lelah dan lebih mudah tidur.
Pilar
begitu sibuk bekerja sampai-sampai dia tidak sadar kalau Rian sudah ada di
kamarnya dan berdiri di belakangnya. Karena itu Rian berdeham pelan, berusaha
tidak mengagetkan Pilar.
Pilar
langsung mengalihkan pandangannya dari laptop dan membalik badan ke arah suara.
Dia sangat senang melihat Rian, “Ke mana aja, lu?”
Rian
tersenyum kecil.
“Rian,
lu makin pucat. Apa yang bisa gue bantu?” Pilar sangat prihatin.
“You’ve
done so much more than you know, Man.”
“Ha?”
Pilar tidak mengerti apa maksud Rian karena dia tidak merasa telah berhasil
membantu.
“Gue
udah nemuin nyokap.” Rian menjelaskan.
“Oh
ya?”
“Belakangan
ini gue ngikutin dia terus. Lu benar, Man. Nyokap gue nggak salah. Gila. Gue
durhaka banget selama ini ngebenci dia, padahal dia selalu ngedoain gue. Sebelum
tidur dia juga selalu nyium kaos power rangers hitam gue yang dia simpan dari
waktu gue masih kecil, dan di kamar nyokap ada sketsa gue lagi main sama Bobo,
anjing gue.”
Pilar
tersenyum lega, “Gue ikut senang dengarnya.”
“Thanks,
Man. I owe you a lot.”
“Tapi
kenapa lu masih di sini?”
Rian
tidak menjawab. Dia hanya diam dan memandang ke luar jendela kamar. Sikap Rian
benar-benar berbeda dari biasanya. Kini dia jauh lebih tenang.
“Ayo
kita temuin nyokaplu. Gue rasa, sekedar menyadari kalau nyokap lu nggak salah
itu nggak cukup. Lu harus minta maaf ke dia, pamit ke dia, omongin semua yang
perlu lu omongin. Ayo, gue bakal bantuin elu.”
Rian
menggeleng.
“Kenapa
enggak? Lu nunggu apa
lagi? Lu udah benar-benar pucat dan suara lu juga udah serak banget gini.”
Rian
tersenyum. Dia heran menyadari bahwa Pilar, orang yang selama ini dia ganggu,
orang yang kehidupan pribadinya sebenarnya juga sedang runyam, malah sangat
peduli kepadanya.
“Nggak usah pusing sama urusan
gue, Man. Badan lu sendiri juga perlu diperhatiin. Kantong mata lu sampai hitam
banget gitu. Kerja melulu lu ya? Ngalah-ngalahin presiden aja.” Rian
mengalihkan topik.
Pilar mengembuskan napas
perlahan dan memijat tengkuk lehernya, “Ya, daripada bengong.”
Rian maju selangkah mendekati
Pilar yang sedari tadi duduk di depan mejanya, “Stop this, Man. Lu nggak bisa
terus-terusan lari ke kerjaan buat ngalihin pikiran lu dari dia.”
Kali ini Pilar yang diam.
“Udah, lu pindah
kerja aja. Kalau lu terus-terusan di situ,
gimana lu bisa lupa?”
Pilar tetap diam.
“Lu emang
sengaja ya biar nggak lupa?”
“Gue maunya
tanpa lupa pun gue baik-baik aja.” Pilar akhirnya bersuara.
“Come on, Man. Move on. Dia
udah…” Rian tidak tega memberitahukan apa yang tadi dilihatnya. Jadi, dia lebih
memilih untuk mencoba membuat Pilar membenci Intan. “Lu sendiri yang bilang, dia
mutusin elu dan cabut dari hidup lu. Mosok lu terima digituin? Dia ngebuang elu!”
Pilar tidak suka kata-kata itu.
Dia langsung berdiri berhadapan dengan Rian, “Gue tahu
dia nggak jahat.
Gue tau dia nggak
bermaksud nyakitin gue. Itu satu-satunya pilihan yang dia punya.”
Rian tidak ingin Pilar makin
marah. Rian pun mengubah nada bicaranya menjadi lebih bersahabat. “Man, mau
sampai kapan lu kesepian begini?”
Amarah
Pilar ikut mereda. Dia kembali duduk di kursinya dan malah memandangi foto
dirinya dan Intan yang ada di meja.
Rian
tak lagi bicara. Tak lagi mendebat. Tak lagi berusaha menyuntikkan logika. Rupanya
cinta yang begitu besar memang bisa membuat seseorang sanggup kesepian.
***
Pilar
berjalan ke kubikelnya di saat teman-temannya sedang asyik berdiskusi tentang
sesuatu.
“Nah,
ini dia nih orangnya,” kata Zidan, dan mendadak semua mata tertuju kepadanya. “Pilar,
weekend ini lu ikut kan?”
“Ke
mana?” tanya Pilar bingung.
“Astaga!
Kan dari bulan lalu HRD udah ngumumin kalau bakal ada gathering ke Anyer.” Uta gemas.
“Oh,
gitu ya? Sebentar, gue cek jadwal dulu.”
“Buset
dah, Pilar. Side job-an mulu lu. Ayolah liburan dulu.” Edo membujuk.
Pilar
hanya tertawa kecil sambil membuka kalender di ponselnya untuk mengecek jadwal
deadline berbagai projectnya, tapi dia malah terpaku saat membaca catatan bahwa
batas waktu bagi Rian untuk menyelesaikan urusan duniawinya tinggal empat hari
lagi.
“Oi,
gimana?” tanya Edo.
Sambil
berdiri dari kursinya, Pilar menjawab, “Sori, gue nggak bisa ikut. Sori ya
guys.” Lalu Pilar cepat-cepat berjalan ke balkon.
Fina tampak kecewa. Sudah lama sekali kantor mereka tidak mengadakan acara jalan-jalan bersama. Dulu selalu ada Intan di dekat Pilar, kini setelah tidak ada Intan, Pilar justru tidak ikut.
...
Ternyata Pilar buru-buru ke balkon untuk menelepon panti asuhan yang sering ada di postingan Facebook Mama Rian. Kepada pengurus panti, Pilar mengaku sebagai penulis yang sangat tertarik dengan sketsa-sketsa yang sering Mama Rian posting di Facebook-nya dan membutuhkan bantuan beliau untuk membuatkan ilustrasi bagi novelnya. Untungnya pengurus panti percaya dan mau memberikan nomor telepon serta alamat rumah Mama Rian.
***
Malam
itu juga Pilar memutuskan untuk langsung saja mendatangi tempat tinggal Mama
Rian. Dia tidak mempersiapkan apa pun selain tekad untuk membantu Rian
menyelesaikan masalah duniawinya.
“Ya,
sebentar.” Terdengar suara Mama Rian dari dalam rumah setelah Pilar mengetuk
pintu. Pintu dibuka hanya sedikit karena Mama Rian tidak mengenali tamu yang datang.
“Cari siapa?”
“Selamat
malam, Tante Lana. Saya Pilar, kawannya Rian Winanta.”
Mama
Rian sangat terkejut hingga napasnya tercekat. Rian muncul dibalik pintu. Ikut
mengintip. Dia ingin tahu siapa tamu yang membuat mamanya tercekat.
Begitu Rian melihat Pilar, dia menjadi
panik. “What the hell are you doing here? Mau ngapain lu ke sini? Ma, jangan
bukain pintu, Ma! Jangan biarin dia masuk, Ma!” Tentunya Mamanya tidak acuh
karena hanya Pilar yang bisa mendengar suaranya. Rian pun tahu itu, tapi karena
kalut, dia berusaha berkomunikasi dengan mamanya dan melarang mamanya
membiarkan Pilar masuk.
Pilar bingung mendapati Rian marah dan
seolah ketakutan melihatnya datang. Dia memandangi Rian, mencoba memahami makna
dibalik reaksi temannya itu.
“Kok bengong?” Pertanyaan Mama Rian menya-darkan
Pilar.
“Oh, nggak Tante. Rumahnya nyaman. Saya
suka.” Pilar beralasan.
“Mari masuk.”
Saat Pilar masuk, walau Rian sudah tahu
bahwa dirinya telah kehilangan kemampuan untuk menyentuh, tapi dia tetap mencoba
mendorong Pilar keluar. Dan Pilar sangat kaget saat Rian menembus badannya.
Itulah pertama kalinya Pilar menyadari bahwa Rian sudah tidak bisa lagi
menyentuh.
Rian terus mencoba mendorong Pilar, dan
semakin dicoba, dia justru semakin frustasi. “Pergi lu, Anjing! Pergi!” Rian memaki
dan berusaha menjatuhkan berbagai barang tapi tetap tak ada hasil.
“Silakan
duduk,” ucap Mama Rian.
“Makasih,
Tante.”
“Saya
ambilin minum dulu, ya.”
Pilar mengangguk santun.
Saat Mama Rian berjalan ke dapur, Rian
berhenti mengamuk. Dia kelelahan dan terduduk di lantai, bersandar ke sebuah
lemari dengan kedua kakinya ditekuk ke dadanya, “Please, Man. Leave. Kalau lu
ceritain semuanya, nyokap pasti maafin gue, ikhlasin gue, dan gue bakal harus
pergi. Gue nggak mau ninggalin dia, Man. Gue nggak mau pergi.”
Pilar
termangu. Dia tidak menyangka inilah alasan sebenarnya Rian tidak ingin dirinya
datang menemui mamanya. Ditambah lagi, tidak hanya kulit Rian makin pucat, tapi
luka di keningnya juga makin memerah seperti darah segar. Rian makin terlihat
menakutkan.
Pilar
ingin menasihati Rian untuk jujur saja kepada mamanya karena Pilar yakin,
bagaimanapun juga, itulah hal terbaik. Tapi sebelum Pilar sempat berbicara, Mama
Rian sudah kembali membawakan segelas teh dan menyuguhkannya untuk Pilar.
“Silakan
diminum.”
“Makasih,
Tante.” Pilar meneguk teh hangat itu, bukan hanya untuk sopan santun, tapi juga
untuk menenangkan dirinya setelah melihat reaksi Rian tadi.
Raut
cemas tidak hanya terlukis di wajah Pilar, tapi juga di wajah Mama Rian. Kedua
tangannya saling meremas. Napasnya sedikit tersengal-sengal penuh antisipasi. “Benarkah
pemuda ini teman Rian, dari mana dia tahu alamat rumahku, kenapa dia tiba-tiba
datang, di mana Rian?” Banyak sekali pertanyaan melintas di benaknya.
Setelah
Pilar selesai minum dan meletakkan cangkir teh itu di meja, Mama Rian
memberanikan diri bertanya, “Dari mana kamu kenal Rian?”
“Tempat
kos saya sama rumah Rian nggak terlalu jauh, Tante. Kita kenalnya sih belum
lama, tapi Rian banyak cerita tentang…” Pilar menjadi ragu harus bagaimana
karena dia tidak ingin melangkahi Rian. Dia melirik ke Rian yang masih tetap
terduduk di lantai. Rian hanya menatapnya tanpa berkata apa pun. Seolah-olah pasrah
karena dia sadar sudah tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk mencegah
Pilar membuka mulut.
“Dia
cerita tentang saya?” tanya Mama Rian.
“Iya,
Tante.”
Mata
Mama Rian berkaca-kaca. Baru sekadar mendengar bahwa putranya membicarakannya
saja sudah membuat hatinya senang bukan kepalang. Dia merasa diingat.
“Ceritakan soal Rian? Apa kabar dia? Kerja di mana? Dia udah nikah? Apa… Apa
dia udah punya anak? Saya udah punya cucu?”
Rian
menangis. Dia sadar pertanyaan-pertanyaan itu adalah cerminan dari
harapan-harapan mamanya, tapi tak satu pun yang terwujud.
“Belum,
Tante. Rian belum nikah.”
“Kamu punya fotonya? Saya
kangeeeenn banget sama Rian.”
“Maaf,
Tante, saya nggak punya.”
Mama
Rian terlihat sedikit kecewa. Tapi dia tidak mau membiarkan kekecewaan kecil
merusak malam tak terduga ini. Dia kembali antusias bertanya, “Kenapa Rian
nggak ke sini?”
“Emm…”
Pilar berpikir sejenak mencari jawaban yang cukup bijak. “Dia butuh waktu,
Tante. Ini nggak mudah buat dia. Makanya saya mewakili dia dulu.”
Mama
Rian mengangguk pelan, “Iya, pasti nggak mudah buat dia.”
“Tante, maaf kalau saya lancang, tapi sebenarnya Rian
bertanya-tanya, kenapa dulu Tante memilih untuk pergi?”
Mama Rian tidak langsung
menjawab.
“Saya tahu pasti berat buat ngebicarain
hal personal ke orang yang baru dikenal, tapi Rian perlu tahu yang
sebenar-benarnya, Tante.”
Mama Rian menghela napas
sebelum mulai bercerita, “Saya pergi karena ketika usaha papanya Rian mulai
sukses, dia justru lupa daratan. Saya sudah berusaha sabar tapi… Tapi makin
lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir. Saat itu saya cuma ibu rumah tangga
yang nggak punya penghasilan sendiri. Jadi, demi kebaikan Rian, saya biarkan
dulu Rian bersama papanya. Dua bulan kemudian, setelah saya cukup mapan, saya
kembali ke sana untuk jemput Rian.” Mama Rian menjeda sejenak. Mengatur
napasnya yang sesak oleh kepedihan. “Ternyata mereka udah nggak tinggal di
sana. Papanya langsung ajak Rian pindah rumah dan pindah sekolah. Saya cari
info ke sana kemari, tapi pihak sekolah lama dan tetangga-tetangga juga nggak
ada yang mau terus terang ke saya. Saya rindu sekali sama anak saya.”
Mama
Rian mulai menangis, membuat Pilar makin tidak tega. Pilar membiarkan Mama Rian
terus ber-bicara, menumpahkan segala kerinduan yang selama ini dia rasakan.
“Terakhir
kali saya melihat Rian itu waktu dia kelas 5 SD. Waktu itu umur dia baru 11
tahun. Itu 23 tahun lalu. Kamu bisa bayangkan?”
Pilar
menggangguk.
“Waktu saya tahu ada media sosial
seperti Twitter, Facebook, saya langsung minta diajarin cara pakainya. Saya
pikir, anak muda seperti Rian pasti punya akun. Saya coba cari nama Rian di
semua media sosial, tapi nggak ketemu. Dia pakai nama apa? Akunnya apa?
Pilar menggeleng dengan
senyuman kecil, “Dia nggak punya sosmed, Tante.”
“Oh…” Mama Rian tertunduk
sebentar lalu dia melanjutkan penjelasannya, “Nak, saya benar-benar udah nyoba
banyak cara buat nemuin Rian. Saya rindu sekali sama anak saya. Waktu saya dapat
alamat baru perusahaan papanya, saya langsung datang menemui papanya untuk
minta diketemukan dengan Rian. Saya juga pernah menemui papanya di lapangan
golf tempat dia biasa olahraga. Berulang kali saya coba. Berulang kali saya
mohon, tapi dia nggak kasih. Pengadilan juga nggak pernah memihak saya, Papanya
Rian terlalu kuat. Tolong, Nak. Tolong kamu ceritakan semua itu ke Rian, ya.”
Pilar mengangguk, “Iya, Tante.”
...
Saat berpamitan, sebelum pintu
ditutup oleh Mama Rian, Pilar sengaja mengatakan hal-hal yang sebenarnya dia
tujukan kepada Rian. “Tante, saya nggak berani janji apa-apa, tapi jujur, saya
sendiri juga berharap Rian nggak akan ngebiarin Tante terus-terusan seperti ini.”
Rian hanya menunduk diam dan tidak berani menoleh ke Pilar.
***
Pilar bekerja di kantornya tapi
pikirannya masih sering teralihkan ke Mama Rian. Sebagai orang yang juga
merindukan orang terkasih, Pilar paham dalamnya siksaan batin itu. Rindu kepada
Intan sudah ditahannya selama setahun. Tapi setidaknya Intan sehat-sehat saja.
Semoga sehat. Begitu lebih tepatnya. Karena Pilar juga tidak tahu kabar Intan.
Jangan sakit lagi, ya Mbel. Jangan telat makan.
Dan dia malah mencemaskan kesehatan Intan. Padahal dia sendiri sering telat makan dan kelelahan karena terlalu banyak bekerja dan mengoleksi banyak beban pikiran.
...
“Pilar, ini pizanya keburu abis
sama anak-anak nih,” kata Uta.
Pilar menengok ke arah suara.
Ternyata teman-temannya sedang asyik berkerubung dan menyantap piza. Pilar pun
menggeser kursi berodanya untuk mendekat ke mereka. “Wih, piza dari mana nih?”
“Yeee…” spontan mereka semua
kesal.
“Ha? Apaan sih?” Pilar bingung.
“Kebanyakan bengong lu,” kata
Zidan, “Kan tadi gue udah bilang, ini piza dari manajer marketing soalnya hari
ini dia ulang tahun.”
“Oh,” jawab Pilar singkat.
“Nih.” Fina menyodorkan
sepotong besar piza dilapisi tisu. “Lu lebih suka yang tuna kan daripada yang
daging.”
“Hehe, tau aja lu. Thanks.”
Pilar menerima dan menyantapnya.
Ternyata Fina memang benar-benar perhatian kepadanya dan itu justru membuat Pilar tidak tega.
***
Sepulang kerja, Pilar langsung
kembali ke kosan karena ada satu pekerjaan sampingan terakhir yang harus
diselesaikannya. Tapi begitu dia memarkir motornya di garasi, betapa
terkejutnya dia melihat Kristal menyambutnya.
“Surprise!”
“Loh?” Pilar benar-benar kaget.
Sudah beberapa hari Kristal tidak ada kabar. Pilar pikir dia sudah menyerah dan
menjauh. Ternyata tidak.
“Hehe, kaget, ya?” tanya
Kristal. “Aku udah nungguin kamu dari tadi.
“Oh.” Pilar tidak antusias.
“Iya. Sambil nunggu kamu, aku
ngobrol aja sama Nenek. Kata Nenek belakangan ini kamu kerja terus ya?”
Pilar mencopot helm dan
menggantungkannya di spion motor.
“My Goodnes!” seru Kristal
sambil menangkup wajah Pilar dengan kedua tangannya, “Kantong mata kamu sampai
hitam gini.”
Pilar diam tidak bereaksi.
“Ayo masuk. Kamu harus makan yang banyak.” Kristal menarik tangan Pilar dan mengajaknya masuk seolah-olah itu rumah dia.
Rupanya Kristal membawakan
banyak sekali makanan. Semua sudah tersaji di meja makan. Mereka berdua pun
makan bersama di sana. Nenek, Mbak Mar, dan Lela tidak ikut makan bersama dan
lebih memilih makan di ruang TV sambil menonton sinetron. Berbeda sekali dengan
ketika Intan yang datang dan memasak. Mereka berlima, bahkan kadang kedua teman
kos yang lain, pasti ikut makan dan mengobrol bersama.
“Kamu kelihatan kecapekan
banget deh. Aku takut kamu sakit lagi.”
Pilar tersenyum kecil, “Lagi
banyak kerjaan aja. Malam ini juga ada yang harus gue kelarin. Deadline-nya
besok pagi soalnya.” Pilar sengaja menjelaskan jadwal deadline-nya agar Kristal
tidak berlama-lama di kosan.
“Kalau gitu besok aku kirim jus
deh ke kantormu. Sekalian buat teman-temanmu juga. Pada suka jus apa?”
“Nggak usahlah. Nggak usah
repot-repot.”
“Nggak repot kok. Biar daya
tahan tubuh kamu kejaga. Apalagi lagi banyak kerjaan.”
“Oke.” Pilar malas berdebat.
“Eh, perasaan tadi gue nggak lihat mobil lu. Parkir di mana emangnya?” tanya
Pilar.
“Aku nggak bawa mobil,” jawab
Kristal.
“Aduh, berarti gue harus
nganterin dia pulang dong,” pikir Pilar dalam hati.
...
Untuk pertama kalinya Kristal dibonceng oleh Pilar dan diantar pulang hingga ke rumahnya. Dia sengaja duduk begitu dekat dan merangkulkan tangannya ke pinggang Pilar serta menyandarkan kepalanya ke pundak Pilar. Kristal menikmati tiap detiknya, sedangkan Pilar benar-benar risi.
Demi Tuhan ini cuma teman, Mbel. Aku nggak nakal.
Pilar tetap teguh dengan
harapannya, padahal Intan sudah lupa kepadanya.
Andai Pilar tahu.
***
Hari telah berganti. Suasana
hati belum berganti.
Siang ini Pilar sedang rapat
bersama timnya saat tiba-tiba Rian muncul. Pilar mengangguk kepadanya sebagai
tanda kalau dia menyadari kehadirannya dan Rian menunggu dengan sabar.
Selesai rapat, Pilar mengajak
Rian mengobrol di balkon. Dia membakar sebatang rokok dan tidak lupa memasang
earphone agar dikira sedang bertelepon.
Rian diam memandangi hiruk pikuk
jalan raya dari ketinggian gedung.
“Kasihan nyokap lu, Rian. Dia
perlu tahu.” Pilar kembali menasihati.
Rian mengepal keras kedua
tangannya. Air matanya kembali turun deras. Pilar sangat tidak tega melihatnya.
Dia ingin sekali menepuk pundak temannya itu dan berusaha menenangkannya, tapi
tidak bisa.
Perlahan, sambil terus mengepal keras kedua tangannya dan memandang jauh ke bawah, Rian mengangguk setuju.
***
Karena telah mengantongi izin
dari Rian, Pilar tidak menunda lagi. Kini dia sudah berada di ruang tamu rumah
Mama Rian, sedang menunggu diambilkan minum. Jantung Pilar berdebar cepat. Tugas
ini dirasa sangat berat. Rian juga berada di ruangan itu. Dia berdiri di
seberang Pilar.
Mama Rian muncul dari arah
dapur. Dia menyajikan secangkir teh dan mempersilakan Pilar meminumnya.
“Makasih, Tante.”
“Rian belum mau ketemu saya,
ya?” tanya Mama Rian lirih.
Pilar berdeham, berusaha
menetralkan rasa gugupnya. “Tante, sebenarnya saya ke sini malam ini karena saya
mau nyampein pesan dari Rian.”
“Pesan apa?” Mama Rian
antusias.
Pilar menengok sebentar ke Rian
dan Rian menggangguk pelan seolah-olah memantapkan per-setujuannya. Pilar pun makin
yakin untuk berterus terang, “Sebenarnya Rian mau minta maaf ke Tante. Selama
ini dia udah salah menilai Tante. Dia benar-benar nyesel Tante. Sekarang dia udah
sadar kalau Tante sayang banget sama dia.”
“Kenapa dia nggak nyampein
semua itu sendiri? Saya pasti maafin dia, saya kangen sekali sama dia.”
Pilar menarik napas dalam dan
mengembuskannya perlahan, “Rian udah nggak ada, Tante.”
“Maksud kamu?” Mama Rian tidak
mengerti.
“Rian… udah wafat,” ucap Pilar
perlahan.
Mama Rian langsung berdiri dari
kursinya dan menjauh beberapa langkah. Tangan kirinya menutup mulutnya yang
menganga lebar karena tidak percaya dan tangan kanannya diletakkan di atas
dadanya.
Rian mendekati mamanya.
“Saya…” Pilar tidak tahu lagi
harus berkata apa.
“Kamu bohong.
“Saya bicara apa adanya, Tante.
Saya benar-benar cuma bantu nyampein apa yang pengen Rian sampein ke Tante. Dia
harus minta maaf dan pamit ke Tante supaya dia bisa kembali ke alamnya dengan
tenang. Supaya dia dapat tempat di surga.”
Mama Rian menutup kedua
telinganya. Dia tidak mau mendengar fakta yang terlalu mengejutkan dan
menyakitkan ini.
Pilar bangkit dari kursinya dan
ingin mendekat, tapi Mama Rian langsung menyorongkan tangannya sebagai tanda
dia tidak ingin Pilar mendekatinya. Pilar tidak jadi melangkah. Dia tetap
berdiri di tempatnya. “Tante, sebenarnya seminggu belakangan ini Rian selalu
ada sama Tante. Dia ngikutin Tante ke mana pun Tante pergi. Dia juga kangen
banget dan sayang banget sama Tante.” Pilar menjeda kalimatnya sebelum
melanjutkan, “Saat ini pun dia ada di sini, Tante.”
Mama Rian menengok ke kanan dan
kiri, mencari-cari Rian. Tapi putranya tidak kasatmata baginya. “Cukup! Apa mau
kamu sebenarnya?” Mama Rian marah.
“Demi
Tuhan, saya nggak ada niat jahat.”
“Terus apa buktinya kalau kamu
nggak bohong? Mana Rian?”
“Cuma
saya yang bisa ngelihat dia. Dan dari dia, saya tahu kalau sebelum tidur Tante
selalu nyium kaos power rangers hitam yang Tante simpan dari waktu Rian masih
kecil. Iya, kan? Rian juga ngasih tahu saya kalau di kamar Tante ada sketsa
Rian lagi main sama Bobo, anjingnya dia.”
Mama Rian semakin lemas.
Dengkulnya tak lagi bisa menopang berat tubuhnya. Dia merasa limbung dan lekas
bersandar ke tembok.
Pilar merogoh saku celananya,
mengeluarkan selembar catatan, dan meletakkannya di meja. “Di kertas ini saya
udah tulis alamat makam Rian. Tante bisa buktiin sendiri kalau saya nggak
mengada-ada.”
Mama Rian hanya menoleh sedikit
pada kertas itu. Pilar pun menggesernya agar lebih dekat ke Mama Rian.
“Saya ngerti Tante pasti butuh waktu untuk mencerna semua ini. Tapi waktu Rian tinggal sedikit, Tante. Demi Rian, saya mohon, tolong datang ke makam besok. Saya permisi.”
...
Sepanjang malam Mama Rian menangis. Rian terus di sampingnya, menemaninya.
***
Sejak pagi Pilar duduk menunggu di bawah rindangnya pohon, Mama Rian masih juga belum datang. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Sudah sekian batang rokok Pilar isap. Kedua kakinya terus digerak-gerakan. Pilar begitu resah. Ponsel sudah dia genggam di tangannya dan sudah membuka laman nomor telepon Mama Rian. Tapi Pilar ragu. Menurutnya, Mama Rian harus datang atas kesiapan hatinya sendiri, bukan atas desakan. Jadi, Pilar mengurungkan niatnya untuk menelepon Mama Rian. Ponsel kembali dimasukkan ke kantong celananya dan rokok kembali diisap.
Sore sebentar lagi tenggelam.
Waktu Rian makin menipis. Pilar makin gelisah. Tidak ada pilihan lain. Pilar
harus meneleponnya. Dia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya dan sudah
akan menekan nomor telepon Mama Rian saat tiba-tiba Rian menegurnya, “Man.”
Pilar mendongak, mengalihkan
pandangannya dari ponsel kepada Rian yang sudah berdiri di dekatnya.
“Itu,” kata Rian sambil
menengok ke arah pintu gerbang pemakaman umum.
Pilar melihat sebuah taksi memasuki
gerbang dan perlahan mendekat. Lalu Mama Rian turun dari taksi itu.
“Akhirnya,” ucap Pilar. Pilar
langsung mendekati Mama Rian dan membantunya berjalan. Dia tampak begitu lemah,
matanya sembab karena menangis semalaman, bajunya pun masih sama persis dengan
yang dia kenakan semalam. Mereka berdua sama-sama tidak bicara, hanya berjalan
pelan mendekati makam Rian.
Tibalah mereka persis di depan
makam Rian. Mama Rian memperhatikan nama yang tertulis di nisan; Rian Abraham Winanta.
Lahir 12 Juni 1986. Wafat 9 Oktober 2020.
Perlahan Mama Rian berjongkok
dan memeluk nisan Rian. “Mama kangen, Nak. Mama sayang Rian. Mama mau peluk
Rian.”
Mama Rian menangis tersedu-sedan.
Pilar terus berada di sampingnya, merangkulnya, sedangkan Rian berdiri di
belakang nisannya. Rian sudah tidak lagi menangis. Air matanya sudah habis tak
bersisa. Dia hanya memandangi dengan tatapan pilu.
“Maafin Rian, Tante,” pinta
Pilar.
“Ya, Tuhan…” hanya kata-kata
itu yang terlontar dari mulut Mama Rian.
“Tolong ikhlasin Rian.”
Dengan terbata-bata dan dengan napas
yang makin tersengal-sengal karena terimpit nestapa, Mama Rian pun
mengikhlaskannya. “Kita saling memaafkan, Nak… Kita saling… merelakan.”
Rian tersenyum dan setetes air
matanya jatuh ke pipinya.
Seketika angin semilir berembus
menyejukkan. Pilar dan Mama Rian pun ikut merasakan kesejukannya. Rian menoleh
ke suatu arah. Waktunya telah tiba baginya untuk pergi.
“Gue cabut, Man.”
Pilar mengajak Mama Rian berdiri.
“Tante, Rian mau pamit.”
Setelah mamanya berdiri, Rian
berjalan mendekatinya. Pilar tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia bergeser
satu langkah ke samping untuk memberi ruang bagi ibu dan putranya ini untuk
saling melepaskan.
Rian mencium tangan mamanya
dengan takzim. Bagai keajaiban, Mama Rian pun bisa merasakannya. Secara refleks
dia melihat ke punggung tangannya yang sedang dicium oleh putranya. Mama Rian
menangis kian deras.
Lalu Rian menoleh ke Pilar. “Thank
you so much, Man.”
Pilar tertawa kecil, “Udah
nggak ada lagi deh yang ngeresehin gue.”
Rian ikut tertawa.
Angin semilir kembali berembus.
Rian berjalan ke arah datangnya angin sejuk itu. Pandangannya tidak lepas dari
mamanya yang kembali berjongkok memeluk nisannya.
“Titip nyokap, Man!” teriak
Rian dari kejauhan.
Pilar mengangguk.
“You’re a kind person, Pilar. You deserve to be happy. Let go… Let go and be happy, Man!” Itu kalimat terakhir dari Rian. Setelah itu dia menghilang dan angin sejuk berembus panjang sekali membawa kedamaian bagi Pilar dan Mama Rian.
***
Urusan Rian sudah benar-benar
selesai, semua pekerjaan sampingan juga sudah beres, setelah makan dan mandi, Pilar
memutar musik dan merebahkan tubuhnya yang super lelah itu di kasur.
15 menit, 30 menit, 45 menit,
satu jam. Walau sudah berusaha memejamkan mata dan badannya sudah sangat
menuntut istirahat, Pilar tetap tidak bisa tidur.
Lagi, malam minggu yang resah.
Dia kembali duduk dan mengambil
ponselnya dari meja. Membuka media sosial yang sudah lama tidak disentuh.
Scrolling, scrolling, scrolling. Media sosial teman-temannya dipenuhi unggahan
keseruan mereka selama di Anyer. Beberapa foto Pilar beri Like, tapi tak
sedikit pun terbersit rasa iri atau penyesalan karena tidak ikut. Bagi Pilar, gathering
kantor pasti tidak menyenangkan tanpa Intan.
Lalu Pilar membuka WhatsApp status.
Scrolling, scrolling, scrolling. Tap! Scroll dihentikan saat Pilar melihat satu
nama; Mbel.
Pilar mengucek matanya. Dia
pikir dia salah lihat karena dia lelah dan ini tengah malam. Tapi dia tidak
salah lihat. Intan memang memasang WhatsApp status. Padahal sejak mereka putus,
Intan tidak pernah melakukan itu.
Pilar berusaha melihat foto apa
yang Intan unggah tanpa harus mengkliknya, tapi foto itu terlalu kecil. Selain
itu, dari fitur strip hijau melingkar, Pilar bisa mengetahui bahwa Intan
mengunggah dua WhatsApp status sekaligus.
Pilar langsung bangun dari
kasurnya. Dia berjalan mondar-mandir di kamar. Disiksa rasa penasaran. Bukan
gengsi yang membuatnya super ragu untuk mengklik unggahan itu agar bisa
melihatnya dengan jelas, tapi rasa takut. Takut kalau Intan malah jijik padanya
karena bersikap seperti penguntit. Tapi…
“Aaah!”
Pilar mengambil rokok dan
koreknya lalu menuju teras samping.
...
Dua batang rokok sudah habis
diisap dan tinggal tersisa puntungnya mengotori asbak. Rasa penasaran malah
makin menjadi. Tak ada pilihan lain. Pilar menarik napas dalam dan
mengembuskannya dengan cepat. Memberi semangat kepada dirinya sendiri.
Klik. WhatsApp status Intan
akhirnya Pilar buka dan kini tampak jelaslah foto itu; foto tangan Intan di
atas meja bersanding dengan tangan seorang pria.
Unggahan pertama itu membuat
Pilar tercekat, tapi unggahan kedua membawa dampak yang lebih gila. Di unggahan
kedua itu tampak sketsa wajah Papa Intan diedit dan diletakkan bersebelahan
dengan sketsa wajah seorang pria. Sedangkan di bagian bawah menampilkan foto
Ibu Intan dengan Intan.
Berpasang-pasangan.
Dan dilengkapi caption “All
time favorite people.”
Ya Tuhan…
Seketika dada Pilar sakit. Jantungnya berdebar kencang. Walau dalam posisi duduk tapi dia merasa limbung. Berjuang untuk bernapas.
***
Walau jam menunjukkan pukul
02.00 pagi, Pilar tidak peduli. Dia mengeluarkan motornya dan pergi.
Ke mana?
Entah.
...
Sepanjang jalan semua memori
itu memenuhi kepalanya.
Pernah suatu hari di akhir
pekan Pilar membantu temannya membuat video prewedding, dan karena itu, dia dan
Intan tidak bisa menghabiskan akhir pekan bersama. Tapi Pilar janji, paling
telat jam 5 dia sudah akan sampai di rumah Intan agar setidaknya mereka bisa menikmati
minggu sore dan makan malam bersama. Namun, karena banyak kendala, syuting
justru baru selesai jam 5.30. Pilar langsung tancap gas untuk menuju rumah
Intan. Tapi kemacetan serta jarak yang jauh membuatnya baru tiba pukul 7.
Terlambat dua jam.
Intan membukakan pintu. Walau
kesal, tapi Intan tetap berusaha tersenyum.
“Maaf ya, Mbel.”
“Nggak apa-apa. Namanya juga syuting.”
Pilar tersenyum, bersyukur
dimengerti. Lalu Pilar duduk di sofa dan baru akan membungkuk untuk mencopot
sepatu. Tapi, tanpa diduga, Intan bergerak lebih cepat. Dia berlutut dan
membukakan sepatu Pilar lalu memijat kakinya.
Pilar terpana.
Kamu dan hal-hal kecil yang kamu lakukan.
Pengertian dan perhatian semacam itulah yang membuat Pilar makin cinta. Makin ingin menikahi.
“Aaahh!” Pilar berteriak kencang.
Mbel, gimana aku bisa ngelupain kamu? Tiap kali kita pelukan, jari-jari kamu selalu bergerak seperti membuat tanda tangan namamu di badanku, di dadaku, di punggungku, di leherku.
Dulu, waktu kamu masih
sibuk bolak-balik antara kantor dan kampus karena kamu kerja sambil skripsi,
tiap kali aku antar kamu ke stasiun untuk urus keperluan
kuliah, begitu
turun dari motor kamu nggak ragu untuk
cium bibirku. Kamu nggak peduli orang-orang
ngelihat.
“Tuhan…” panggil Pilar dalam hati.
Andai malam itu Tuhan cabut nyawaku, aku nggak akan pernah ngalamin sakitnya bangun tidur dan membaca semua pesan teks dari kamu pagi itu.
***
Malam
tersusul pagi. Waktu terus bergulir hingga gelap kembali merayap dan menang.
Pilar
terus saja bepergian dengan motornya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain
karena tak ada tempat yang membuatnya nyaman. Karena hatinya tak nyaman.
Hatinya runyam.
...
Pilar
baru pulang larut malam keesokan harinya. Dia masuk melewati pintu samping dan hendak
menuju kamarnya saat Nenek bertanya dari ruang TV, “Kamu dari kemarin ke mana aja?”
“Eh Nenek, kaget aku. Aku nggak lihat ada Nenek di situ. Nenek kok
belum tidur?” Pilar berjalan mendekati Nenek yang sedang duduk dalam keremangan
dan hanya ditemani cahaya lampu meja sambil membaca Yasin.
Nenek meletakkan buku Yasin-nya di meja kecil di
sampingnya,
lalu mengamati Pilar. Raut
wajah Pilar sangat muram, rambutnya terlihat lengket, bau asap rokok sangat
menyengat menempel di baju dan rambutnya.
“Duduk sini,” pinta Nenek.
Pilar menurut dan duduk di kursi di sebelah nenek.
“Kamu kenapa sekarang jadi sering pergi nggak jelas dan pulang
malam terus?”
“Kan waktu
itu sempat nggak masuk, Nek, jadi belakangan ini kerjaannya numpuk.” Pilar
beralasan.
Nenek
mengambil jeda sebelum mengutarakan kalimat berikutnya, berusaha memilih
kata-kata dengan baik, dan
mengatur nada bicaranya. “Nenek bukannya mau usil, tapi..”
Pilar
langsung menundukkan kepalanya, berusaha keras untuk tetap tegar. Tapi air
matanya menetes ketika tangan Nenek mengusap lembut kepalanya.
“Kamu itu
anak baik, orang baik. Tapi kenapa kamu kok jahat sama dirimu sendiri?
Pilar langsung turun dari
kursinya dan membenamkan kepalanya di lutut nenek. Tak lagi sanggup membendung
air matanya. Dia meluapkan semua sesak di dadanya.
Pilar benar-benar hancur.
***
Senin. Walau berat, mau tidak
mau Pilar harus bersikap dewasa dan tetap bekerja. Tapi suasana kantor hari ini
terasa berbeda. Teman-temannya cenderung diam. Padahal biasanya kalau baru
kembali dari liburan, mereka pasti membahas keseruan liburan itu.
Pilar juga ikut diam. Dia enggan menyelidik. Kepalanya sudah cukup penat dan hanya tersisa tenaga untuk bekerja tanpa bisa dibebani pikiran lain.
Saat ingin membuat kopi di pantri, Pilar tidak sengaja mendengar beberapa orang sedang kasak-kusuk. “Pilar tahu nggak, ya, Intan bikin WhatsApp status kayak gitu?” kata salah satu dari mereka.
Pilar menghentikan langkahnya
dan membatalkan niatnya untuk masuk pantri. Dia lekas pergi ke toilet sebelum
kepergok berdiri di sana dan mendengar omongan tadi.
Kini dia paham kenapa hari ini
sikap teman-teman satu timnya aneh. Pasti karena mereka juga sudah melihat
WhatsApp status Intan itu dan mereka semua jadi iba kepadanya.
Pilar benci dikasihani, tapi
dia sadar bahwa dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-temannya. Memang
sikapnyalah yang membuatnya pantas dikasihani.
“Dar!” Pilar memukul meja
wastafel. Entah kepada siapa sebenarnya dia marah.
Beberapa saat kemudian, setelah
emosinya mereda, Pilar teringat omongan Rian malam itu, “Come on, Man. Move on.
Dia udah…” Sekarang Pilar sadar bahwa Rian tidak menyelesaikan kalimatnya.
Pasti saat itu Rian sudah tahu.
“Tapi dia tahu dari mana?” tanya
Pilar dalam hati.
“Udah, lu pindah
kerja aja. Kalau lu terus-terusan di situ,
gimana lu bisa lupa? Man,
mau sampai kapan lu kesepian begini?”
Kalimat demi kalimat yang Rian
ucapkan kembali ke memorinya.
“Let go… Let go and be happy,
Man!”
‘Let go’. Kata-kata itu
diucapkan hingga dua kali. Ya, pasti Rian memang sudah tahu dan dia berusaha menasihatinya.
Pilar memijat-mijat lehernya,
mengembuskan napas perlahan. Lalu dia juga teringat pesan nenek semalam.
“Ibumu, adikmu, butuh kamu. Kamu bisa kuat. Kamu bisa bangkit, Pilar.”
Air matanya kembali menetes
tapi Pilar lekas-lekas membasuh wajahnya. Kali ini dia membasuhnya dengan begitu
keras seolah ingin membuang segala yang buruk dari masa lalunya.
“Harus bisa. Nggak tau gimana caranya, tapi harus bisa!” tekad itu Pilar tancapkan di hatinya.
***
Seminggu telah berlalu. Walau
sakit di hatinya tetap terasa, tapi Pilar terus memelihara tekadnya untuk
bangkit.
Yang pertama dia lakukan adalah
resign dari kantornya. Rian benar, dia harus pergi dari situ. Tapi bukan untuk
menyerah dan melupakan Intan, melainkan untuk fokus mengejar apa yang sejak
dulu dia cita-citakan; menjadi penulis dan sutradara.
Setelah menyerahkan surat resign kepada
atasan dan HRD kantornya, Pilar juga memutuskan untuk menjernihkan masalah
terkait Kristal dan Fina. Kedua wanita itu sangat baik, Pilar tidak ingin secara
tidak langsung menyakiti mereka lebih lanjut lagi.
Pilar memilih untuk berbicara dengan Fina terlebih dahulu. Mendekati jam pulang kantor, Pilar mengajak Fina ke kedai kopi di gedung kantor mereka. Tentunya Fina mengiyakan.
...
Duduklah mereka di dalam kedai
kopi itu. Kedua minuman sudah tersaji di meja.
“Fin.”
“Ya?”
Pilar diam dan Fina tidak
mendesak. Dia sabar menunggu hingga Pilar siap bicara.
“Gue resign.”
Fina menundukkan pandangannya.
Meskipun dia cukup tahu diri untuk menyadari bahwa ajakan pergi ke kedai kopi
berdua ini pasti bukan untuk urusan-urusan romantis, tapi dia tidak menyangka
tujuan Pilar mengajaknya ke sini adalah untuk memberitahukan pengunduran
dirinya.
“Gue udah kasih surat resign ke
Bang Nanda sama ke HRD.”
Fina tidak mengatakan apa pun.
Dia hanya meng-ambil gelas dan perlahan menyeruput minumannya.
“Gue pengen lu jadi teman
pertama yang tahu karena kerjaan gue paling banyak hubungannya sama elu dan
karena... karena lu selalu baik sama gue. Makasih banyak, Fin.”
Fina menggigit bibir bawahnya sambil menahan agar air matanya tidak jatuh membasahi pipinya.
***
Ruang kerja Pilar sudah sepi.
Semua temannya sudah pulang sejak tadi. Tinggal Pilar duduk sendiri di
kubikelnya, merapikan semua pekerjaan agar tak ada tugas yang menggantung saat
resign nanti.
Klik! Lampu ruangan dimatikan
oleh security.
“Lah, kok dimatiin, Pak?”
“Astagfirullahaladzim! Siapa
tuh?” Teriak sekuriti sambil menyorotkan senter ke seisi ruangan.
“Ini saya, Pak! Pilar.”
“Aduh, Mas Pilar bikin kaget
aja. Oke, Mas, saya nyalain lagi lampunya.”
“Thanks, Pak.
Sekuriti itu berjalan mendekati
Pilar. “Maaf ya, Mas. Saya kira udah pada pulang. Soalnya udah jam 10.”
“Hah? Jam 10?” Pilar mengecek
arlojinya.
“Ya ampun, Mas Pilar, sampai
nggak sadar sama waktu.”
“Hehe, saya kira masih jam 8-an.”
Pilar terkekeh sambil memijat-mijat lehernya.
“Jangan diforsir, Mas. Pulang
aja dulu.”
“Iya, Pak. Saya save kerjaan
dulu habis itu pulang deh,” kata Pilar sambil merapikan pekerjaannya.
Sambil berjalan ke parkiran
motor, Pilar menelepon Kristal. Walau sudah malam, dia tidak mau menunda lagi
untuk berbicara dan menyelesaikan urusan dengannya. Selain itu Pilar juga ingin
berterima kasih kepada Kristal atas bantuannya mencarikan info soal Mama Rian.
“Hai!” suara Kristal terdengar
begitu ceria.
“Hai, lagi di mana?”
“Biasa, di Dusk9, tapi udah mau
pulang sih.”
“Bawa mobil?”
“Bawa. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Tadinya kalau
nggak bawa, mau gue jemput.”
“Wait, what?”
“Iya, tadinya kalau lu nggak
bawa mobil, mau gue jemput.” Pilar mengulangi perkataannya.
“Mobil bisa aku tinggal kok.
Aku bisa minta salah satu petugas vallet or anyone di sini buat nganter mobilku
ke rumah.” Kristal langsung bersiasat.
“Dasar anak bos,” ejek Pilar.
“Biarin.” Dan kini Kristal mengubah
nada bicaranya menjadi manja, “Jemput ya.”
“Oke, gue otw dari kantor, ya.”
“Yes!” Kegembiraan Kristal
begitu kentara.
Saat Pilar tiba di Dusk9,
ternyata Kristal sudah menunggu di luar. Wajahnya begitu ceria, tidak bisa
menahan untuk tidak tersenyum. Pilar menyerahkan helm dan Kristal langsung
memakainya.
“Ini gimana sih cara nge-lock
talinya?”
“Bukannya beberapa hari lalu
pas gue antar pulang lu udah bisa pasang dan buka kaitannya sendiri?” tanya
Pilar sambil membantu Kristal mengaitkan tali helm.
“Pura-pura nggak bisa, biar
kamu pasangin. Wek!” ejek Kristal sambil menjulurkan lidahnya, lalu dia
membonceng dan memeluk Pilar dengan erat.
“Belum jalan udah pegangan
aja.”
“Takut kamu hilang,” jawab Kristal.
Dan, ya, begitulah. Kristal
terus memeluk dan Pilar terus merasa risi. Pilar pun mengebut agar cepat sampai
dan adegan peluk ini cepat selesai.
“Udah sampai.” Pilar memberi
tahu.
“Lagi.”
“Hah?”
“Ke mana dulu kek. Keliling
Jakarta, keliling Jawa, apa sekalian keliling Indonesia gitu. Yuk.”
Pilar hanya terkekeh. “Udah
malam.”
Kristal turun dengan malas. “Copotin
helmnya,” pintanya manja sambil memajukan kepalanya.
Pilar mengembuskan napas untuk menyabarkan
dirinya, lalu membukakan helm Kristal dan meng-gantungkannya di spion.
“Masuk dulu yuk. Di rumahku
juga ada ice lemon tea kok.”
Pilar tersenyum kecil dan mengangguk setuju, membuat Kristal makin gembira.
...
Pilar berdiri di pinggir kolam renang. Dia
tidak bisa menunggu sambil duduk. Tidak tenang. Makin merasa bersalah karena telah
menjemput Kristal dan mem-buatnya menyalahartikan niat sebenarnya.
“Here you go.” Kristal
menyodorkan sebotol kecil air mineral Equil.
“Thanks.”
“Yakin nggak mau ice lemon tea
atau kopi?”
“Nggak usah, ini aja,” jawab Pilar
sambil membuka botol itu lalu meminumnya.
“What a rare sight,” ujar
Kristal penuh kekaguman. “Ini kayak too good to be true gitu ngelihat kamu spend
time di rumahku.”
Pilar berdeham, seolah itu
manjur untuk mengusir rasa bersalahnya dan bisa memperlancar penjelasannya. “Kristal…
makasih ya udah banyak ngebantu urusan gue sama Om Bram. Sekarang semuanya udah
beres.”
Binar di mata Kristal seketika
lenyap. “Dan itu artinya?” tanya Kristal dengan suara bergetar karena cemas.
“Ya… Nggak ada arti apa-apa.
Gue cuma mau bilang makasih aja.” Pilar menjawab tanpa berani menatap Kristal.
“Selain itu?” Kristal mendesak.
Pilar diam.
“Say it,” Kristal makin menuntut penjelasan.
“Kamu mau ngejauh dari aku kan? Kamu mau aku berhenti hubungin kamu, berhenti
gangguin kamu karena kamu udah nggak ada keperluan lagi sama aku. Gitu, kan?”
“Nggak gitu, Kristal, kita
tetap bisa berteman.”
“Berteman. Right. Itu dia. You
want to make it clear that we’re just friends.”
Pilar tidak berusaha
menyangkal.
“You know, sebenarnya aku udah
bisa nebak kalau urusan kamu
sama Om Win udah
selesai, kamu pasti akan pergi ngejauh
dari aku. I
can read the signs. Kamu nggak pernah nelpon duluan kecuali untuk nanya soal Om Win. Aku GR
banget waktu itu mikir kamu datang ke Dusk9 untuk ketemu aku. Pantas aja
muka kamu kayak orang kepergok pas aku bilang ‘Here you are’. Kamu orang baik.
Kamu nggak bisa bohong.
Mimik kamu jujur banget.”
“Gue minta maaf kalau gue udah bikin lu ngerasa
dimanfaatin.”
“No, Pilar! Justru itu. Justru
karena kamu nggak salah apa-apa makanya ini terasa sakit banget. Aku segitu
takutnya kamu ninggalin aku sampai-sampai aku terus-terusan ngebiarin kamu
manfaatin aku.” Kristal mulai menangis. “This is crazy. Aku ngerasa kayak orang
diputusin padahal kita nggak pernah pacaran, padahal aku sadar kamu nggak
pernah ngejanjiin apa-apa. This hurts so much, Pilar.”
“Gue nggak pernah bermaksud nyakitin
lu, Kristal.” Pilar mengucapkannya dengan penuh penyesalan. Berat baginya
melihat Kristal menangis tapi benar-benar tidak ada yang bisa dilakukannya.
“I thought I could be strong. Tapi ternyata
sakit banget ngelihat
foto dia masih kamu pajang di meja di kamarmu. Bahkan sarung tangan dia pun kamu taruh di kasur
kamu. Iya, kan? Sarung
tangan warna magenta
itu pasti punya dia, kan?”
Pilar mengangguk.
“Bodohnya lagi, di hari itu,
walau aku cemburu banget tapi aku malah mikir, ‘Wow, this
guy is a great lover.’ Aku makin tertantang untuk milikin kamu. Ada rasa
kagum yang makin dalam tapi juga sakit. Aku ada buat kamu tapi kamu nggak pernah ngebiarin aku
ada di hati kamu.
Pilar, I’m not a quitter but I
have to quit expecting you’d be mine. I’ve never given up on anything but I
have to give up on you. Aku nggak biasa gagal, Pilar. But you’re like
a test I failed
poorly. Not because I don’t want to
study but because you don’t want to
be understood. Kamu
nggak mau membuka diri. Sampai sekarang pun aku bahkan nggak tahu makanan apa
yang kamu beneran suka. Kamu
benar-benar menutup diri sampai-sampai sekadar ngasih tau makanan kesukaan kamu
aja kamu nggak mau!”
Kristal mengutarakan semua hal
yang selama ini dia pendam tapi Pilar sudah kehabisan kata-kata.
“Say something! Kenapa kamu
diam aja?”
“Gue nggak tahu gue harus
ngomong apa, Kristal. Gue sadar gue salah,” jawab Pilar.
“Kamu
pengecut. Kamu takut untuk jatuh cinta sama aku. I’m not
gonna leave you
like she did! Can’t
you see that?”
Pilar tetap diam.
“Atau kamu
pikir aku nggak pantes
ngedapetin cinta kayak yang kamu kasih ke mantanmu si Intan itu?”
“Bukan gitu, Kristal. Justru
karena gue tahu lu pantas
dapet yang lebih baik.”
“Huh.” Kristal mendengus sinis
mendengar kalimat itu. “Find a better excuse, Pilar. Alasan kamu klise banget.”
Tapi Pilar tidak menemukan
alasan lain, karena itulah dia kembali diam dan menunduk.
Kristal menangis seorang diri di
kamarnya sambil meminum wine walau dia tahu minuman itu pun tidak bisa membuat
sakit di hatinya reda.
Apa solusi untuk masalah hati
seperti ini?
Apa obat mujarab untuk luka semacam ini?
***
Tiga
hari lagi tepat satu bulan sejak Pilar menyerahkan surat resign. Berarti syarat
one-month notice sudah terpenuhi dan Pilar bebas pergi. Dia sudah berencana untuk
kembali ke Jogja agar bisa lebih sering bersama ibu dan adiknya, dan kembali bergabung
dengan komunitas film di sana untuk mengejar impiannya menjadi penulis dan
sutradara.
Pilar
ingin memberikan kenang-kenangan untuk Nenek, Mbak Mar, dan Lela, karena itu
dia pergi ke departemen store dan membelikan barang-barang yang sekiranya
mereka sukai. Kemudian Pilar juga pergi ke supermarket untuk membelikan cokelat
Chacha minis kesukaan Lela. Dia berjalan ke lorong bagian cokelat dan permen.
Dan siapa sangka, di sanalah Intan berada, juga sedang membeli Chacha minis.
Mata
mereka saling menatap. Pilar diam sejenak. Memandangi Intan yang sangat cantik.
Selalu cantik.
Dulu
setiap bulan mereka selalu belanja kebutuhan pokok bersama dan juga selalu
membelikan Chacha minis untuk Lela.
Kini?
Belanja sendiri-sendiri. Hmpff…
Pilar
berjalan mendekati Intan.
“Hai,”
Intan lebih dulu menyapa.
“Hai.”
“Mau
beliin buat Lela, ya?” tanya Intan.
“He-em.
Kamu? Beli untuk…?
“Untuk…
Lagi pengen aja,” jawab Intan.
Pilar
hanya tersenyum dan melihat ke keranjang belanjaan Intan. “Kok nggak beli
kembang kol?” tanya Pilar.
Intan
langsung tertawa lepas. Rupanya dia pun masih ingat. Dulu, tiap kali melewati
lorong sayur-mayur, Pilar selalu menyorongkan kembang kol kepada Intan sambil
melontarkan kata-kata romantis seolah-olah kembang kol itu adalah sebuket
bunga.
Dulu,
dulu, dulu. Sudahlah.
Pilar
menyadari bahwa sejak tadi tidak ada siapa-siapa di dekat Intan, jadi mungkin
itu artinya Intan berbelanja sendirian. Pilar pun memberanikan diri menawarkan
untuk mengantarkan Intan pulang dan Intan setuju.
Motor
berjalan dengan kecepatan standar. Intan menjaga jarak agar tidak duduk terlalu
dekat dengan Pilar dan dia memilih untuk berpegangan pada besi di sisi jok
motor daripada harus berpegangan pada Pilar seperti dulu.
Sakit.
Tapi Pilar harus terima.
Dalam
perjalanan menuju rumah Intan, Pilar mengingat kembali pesan teks yang Intan
kirim di pagi yang laknat itu; 18 pesan teks yang bisa dirangkum menjadi dua
kalimat mematikan; “Aku mau putus. Aku pilih keyakinanku.”
Sekarang
kalian mengerti kenapa sangat sulit bagi Pilar untuk melupakan Intan walau
sejujurnya Pilar merasa dia dibuang begitu saja? Ya, sebab faktanya Intan memutuskan
hubungan mereka karena terpaksa. Dia tidak salah apa-apa.
Tatkala
takdir jemawa, manusia bisa apa?
Sampailah
mereka di rumah Intan. Intan turun dan membuka pagar agak lebar agar motor
Pilar bisa masuk ke garasi. Setelah motor terparkir, Pilar mencopot helm, mencantolkannya
di spion, dan membantu membawa-kan belanjaan Intan yang sejak tadi dikaitkan di
bodi motor di antara kaki Pilar.
Dua
kantong plastik besar itu Pilar letakkan di kursi teras, tak lagi dibawakan
masuk ke dalam dan dirapikan bersama. Tampaknya kini Intan enggan membiarkan
Pilar masuk.
“Nggak
apa-apa,” ucap Pilar dalam hati.
Intan
merapikan poni dan mengembalikan helm kepada Pilar, “Makasih, ya.”
“He-em.”
Mereka
sama-sama diam sejenak. Lalu Intan
ingin mengatakan sesuatu, “Aku…”
Tapi
kalimat yang masih menggantung itu segera dipotong oleh Pilar, “Aku pamit.” Pilar menarik napas dalam,
mengembuskannya perlahan, lalu mengulangi perkataannya. “Aku pamit, Mbel.”
Intan
hanya diam, tapi dia menatap Pilar dengan mata berkaca-kaca.
Pilar
tersenyum, menganggukkan kepala kepada Intan, lalu berjalan kembali ke motornya,
dan melaju menjauh dari rumah Intan.
Tuhan, aku yakin tanpa kukatakan pun Engkau sudah bisa
mengetahui apa yang kurasakan. Aku tidak menyesali pertemuan kami. Aku tidak
menyesali apa yang pernah kami jalani. Aku mensyukuri empat tahun itu. Aku
hadapi rasa sakitnya, seperti aku telah menikmati masa-masa indahnya. Aku
belajar banyak dari semua itu.
Ampuni dosaku, Tuhan. Ampuni dosa kami.
Dan jika dia sudah bahagia, tolong izinkan aku juga bahagia,
Tuhan.
***
Pilar
ingin mengambil jam penerbangan pagi agar bisa segera melepas rindu kepada ibu
dan adiknya. Namun, karena kehabisan tiket, dia terpaksa mengambil penerbangan
sore.
Sebelum
ke bandara, Pilar mampir ke makam Rian untuk berpamitan. Dia duduk di sisi
makam sambil mengisap sebatang rokok. “Lu udah tau ya kalau Intan punya pacar
baru? Tau dari mana lu? Kenapa lu nggak cerita? Nggak tega lu ya sama gue?”
Pilar terkekeh sendiri.
Setelah
habis satu batang rokok, Pilar berdiri dan benar-benar pamit, “Thanks, Rian. Sekarang
gue juga cabut.”
***
Di
ruang tunggu bandara, Pilar menunggu boarding sambil mulai menulis naskah. Tapi
dia terganggu karena dua pria yang duduk di sebelahnya berisik sekali
membicarakan seorang wanita cantik yang juga sedang berada di ruang tunggu itu.
“Anjay,
cakep banget tuh cewek.”
“Mana?”
“Itu
yang lagi minum boba. Aduuhh, imut amat pas nyeruput sedotan. Jadi pengen
diseruput.”
“Artis
itu, ya pantes aja cakep banget.”
“Artis?”
“Iya,
dia yang main… Duh, apa ya judul filmnya?”
Pilar
menoleh ke arah yang mereka perhatikan. Ternyata artis yang mereka maksud
adalah Pevita. Sekian tahun lalu sebelum Pilar menjadi pegawai kantoran, dia
bekerja sebagai kru film, dan kala itu Pevita adalah pemeran utamanya.
Selama
18 hari masa syuting, mereka cukup sering mengobrol dan bercanda. Tapi setelah
produksi selesai, mereka tidak saling berkirim kabar.
“Dia
masih ingat gue nggak, ya?” tanya Pilar dalam hati.
Tiba-tiba
seorang wanita tak dikenal menghampiri Pilar. “Mas, namanya Pilar, bukan?”
“Iya.”
Lalu
wanita itu berbicara di ponselnya. “Benar, Mak. Dia namanya Pilar.” Ada jeda
sebentar sebelum wanita itu melanjutkan, “Oke, oke.” Dan tahu-tahu ponsel itu
disodorkan kepada Pilar. “Mas, ada yang mau bicara nih sama mas.”
“Hah?”
Walau bingung, Pilar menerima saja telepon itu. “Halo?”
“Hai,
Pilar. Ini Pevita.”
Pilar
otomatis menengok ke arah Pevita. Wanita cantik itu tersenyum ramah dan melambaikan
tangan kepadanya.
Pilar
dan Pevita asyik mengobrol berdua. Walau lama tidak bertemu, ternyata mereka
masih se-klik dulu dan saling nyaman dengan satu sama lain. Bahkan Pevita tidak
ragu memberikan minumannya dan membiarkan Pilar minum dari sedotan yang sama
dengannya. Segalanya natural saja. Seolah tak pernah ada jarak di antara
mereka.
“Minta
nomor WhatsApp lu dong,” ujar Pilar.
“Mmh,
silakan hubungi manajer saya aja, ya, Mas.” Pevita pura-pura sombong.
“Hahahaha!
Pilar tertawa lepas, lalu gantian Pilar yang usil. “Oke. Lu pikir gue takut
minta ke manajer lu?” ucap Pilar sambil berdiri untuk mendekati manajer Pevita.
Tapi
Pevita langsung menarik tangan Pilar. “Eh, eh! Apaan sih? Jangan.”
Pilar
kembali tertawa. “Habisnya lu nantangin.”
“Soalnya
gue kesal,” kata Pevita sambil cemberut manja.
“Kesal?
Kesal kenapa?”
“Kesal
soalnya lu buat minta nomor telepon gue aja pakai nunggu 6 tahun dulu.”
Pilar
terpana mendengar kalimat Pevita itu. Dan sebaliknya Pevita benar-benar tersipu
karena ditatap oleh Pilar seperti itu.
Benarkah
artis cantik ini juga tertarik kepadanya? Pilar tidak mau lagi bergerak lambat.
Saat itu juga, di tengah padatnya tempat tunggu bandara, dengan banyaknya mata
yang memperhatikan gerak-gerik artis papan atas negeri ini, Pilar memberanikan diri
untuk menggenggam tangan Pevita walau dia tahu ada risiko untuk ditampik dan
ditampar.
Pevita
terhenyak sesaat, tapi untungnya kemudian dia tersenyum dan balas menggenggam
tangan Pilar.
“Fiuh…”
Pilar mengembuskan napas lega dan membuat Pevita tertawa kecil. “Aku takut kamu
tampar, tau nggak?”
“Ya
nggaklah,” ucap Pevita sambil mengusap-usap dada Pilar untuk menenangkannya.
Kini
menunggu jadi tak lagi membosankan.
Pasangan
baru yang lagi mesra-mesranya ini asyik mengobrol, tertawa kecil, dan saling
membisikkan kata-kata tanpa peduli apa-apa lagi.
Genggaman
tangan mereka tidak pernah lepas sampai akhirnya mereka harus duduk berjauhan
di dalam pesawat.
Kini
Pilar sudah menempati kursi yang sesuai dengan nomor tiketnya. Tapi duduknya
sangat tegak dan kepalanya mendongak agar bisa melihat Pevita yang duduk
beberapa baris di depannya.
Rupanya
Pevita pun demikian, dia duduk tegak dan menengok ke belakang agar bisa melihat
Pilar. Lalu mereka saling melempar senyum.
“Gila,
gue kayak anak SMP,” pikir Pilar dalam hati. Dia tidak menyangka dirinya bisa
merasakan sensasi seperti ini lagi. Suatu perasaan yang asing karena sudah begitu
lama dia tidak merasa seperti ini. Muram yang selama ini membayang kini hilang,
berganti dengan riang yang menyenangkan.
“Kenapa
mesem-mesem, Mas?” tanya penumpang yang duduk di sebelahnya.
“Nggak
apa-apa, Pak,” jawab Pilar.
“Lagi
kasmaran, ya?” si bapak kembali bertanya.
Pilar
hanya tersenyum. Hatinya begitu tenteram. Dia merasa kali ini takdir
memihaknya. Kalau saja dia tidak kehabisan tiket, dia pasti sudah mengambil
penerbangan pagi dan itu artinya dia tidak akan bertemu dengan Pevita.
Namun,
yang membuat hatinya lebih tenteram adalah karena dia tahu Pevita seiman
dengannya.
Tuhan
memang selalu baik.
Pesawat
telah tinggal landas dan perlahan terbang kian tinggi. Pilar menatap ke bawah
pada Jakarta yang kini terlihat kecil dan membuat masa kelamnya jadi terasa kerdil.
Lalu Pilar membuka folder galeri di ponselnya yang penuh dengan foto-foto
Intan. Niatnya untuk mengucap selamat tinggal, tapi dia malah teringat bahwa
malam itu, ketika dia pamit, sebenarnya Intan ingin mengatakan sesuatu
kepadanya.
“Aku…”
Pilar
jadi penasaran, “Sebenarnya Intan mau ngomong apa, ya?”
BELUM
TAMAT
Sepanjang jalan menuju tempat konser kamu ceria banget.
Aku cuma diam.
Berusaha nggak menampakkan rasa sakit itu.
Berusaha tetap menikmati lagu demi lagu,
dan menikmati waktu yang entah tersisa berapa lama lagi sama
kamu.
Aku menelan
ludah, berharap sakitnya tertelan juga dan bisa dicerna.
Aku nggak tahu
harus jawab apa. Aku sendiri nggak tahu kamu di mana, apa kabar.
Kadang, aku
menghibur diriku sendiri dengan meyakini bahwa kita sedang roleplay. Ceritanya kita hidup di awal tahun 40-an, belum ada Line, WhatsApp, sosial media, dll. Akses telepon dan telegram juga masih sangat
terbatas. Jadi, kita cuma bisa saling kirim kabar lewat surat. Tapi karena belum ada
google maps dan lagi banyak perang di mana-mana, mungkin tukang posnya juga
jadi bingung,
makanya suratnya nggak sampai-sampai.
Meski begitu kita sama-sama tau kok kalau kita saling
merindukan. Ya, kan? Begitu, kan?
I won't forget the way we hugged that day..
how we were so afraid to let go of each other..
how you kissed my back before I went out the door.
You kept kissing me.., but your decision didn’t
change..
You wanted me to go.
TAMAT NGGAK YAAA?
#KerabatRinduSepihak
#GerakanPelukGuling #EvolusiRasa #TamanImajiKingdom