Sunday, July 15, 2012

ProContrActive


My imperfection makes me a perfect human.
Are you smart enough to understand this sentence?
Salah satu kesempurnaan saya sebagai manusia adalah ketidakimunan saya terhadap sikap berbohong (yang sering kali mendapat pembelaan dengan istilah bohong putih).
Ya, semua pasti pernah berbohong (kecuali kalau Anda termasuk golongan hewan dan tumbuhan). Tapi seberapa banyakkah yang melakukannya terhadap dirinya sendiri?
Saya cukup sering melakukannya. Contohnya, ketika menatap matanya, saya bilang saya tidak mencintainya (aisshh, mellow sesaat). Ketika mencicip hasil masakan saya sendiri yang hanya berupa kornet goreng campur tomat dan selada, saya bilang masakan itu lezat. Ketika berkaca saya sering bilang betapa femininnya saya. Ck ck ck, saya dan dunia ini tahu bahwa semua itu dusta.
Saya tak mungkin membohongi diri sendiri karena saya tahu terlalu banyak tentang diri saya. (kadang saya khawatir Nia 1 suatu saat harus membunuh Nia 2.)
Penipuan terbesar yang sampai detik ini berhasil saya lakukan adalah membuat orang berpikir kalau saya ini pemberani. Dengan rambut selalu cepak semrawut karena mencoba sexy seperti Demmi Moore di Ghost (yak, saya salah satu korbannya. Confession) tapi justru lebih sering dikira Ashton Kutcher saking tomboynya saya, (saya tahu saya berlebihan) orang pasti takkan percaya bahwa saya ini penakutnya pol.
Saya ini kontradiktif dalam banyak hal. Tapi akan saya rangkum dalam tiga garis besar saja.
Kita mulai dengan Tomboy tapi Penakut.
Sampai detik ini saya masih gemeteran tidur sendirian. Selama masih ada pilihan, saya pasti minta tidur bareng dengan siapa pun itu. Sendirian di rumah juga gak berani apalagi kalau mendung. Saya juga penakut dalam hal mengambil keputusan. Saya sering minta pendapat, bahkan kadang kelewat banyak pendapat yang saya minta hingga akhirnya bingung sendiri yang mana yang harus didengar. Sepertinya akan terasa lebih “aman” jika keputusan itu adalah hasil mufakat, jadi ketika ternyata yang diambil adalah keputusan yang salah, saya tidak jatuh sendirian.
Tapi saya berani ngelawan dosen dan atasan saya yang semena-mena dan selalu berasa benar. Saya juga berani keluyuran tengah malam sendirian. Berani neriakin supir angkot yang ngetem dan ngerem seenaknya.
Intinya saya lebih berani berhadapan dengan yang kasar-kasar daripada dengan yang halus-halus.

Hal kontradiktif yang tidak kalah menonjolnya dari diri saya adalah Gahar tapi Sentimentil.
Orang takkan menyangka kalau saya ini mudah sekali menangis ketika mendengar kisah-kisah maupun melihat adegan-adegan menyedihkan di film dan program TV, bahkan Oprah Winfrey show sukses berulang kali membuat saya tersedu sedan. Julukan melankolis pernah disematkan pada diri saya (atau jangan-jangan masih?)
Cangkem saya ini lancar jika diajak bercanda dan saling mencela tapi super sensi kalau sudah soal yang mellow-yellow.

Saya ini Mario Bross berbalut Mario teguh.
Saya terbilang sering dijadikan tempat curhat. Entah karena tampang saya melas sehingga menimbulkan efek “I know what you’re going through,” kind of thing atau karena mereka tak tahu harus curhat ke siapa lagi.
Yang jelas saya selalu punya kata-kata untuk diucapkan. Saya berusaha keras menjadi bijak padahal jarang menjalani isi nasihat saya yang bijak itu.
Bagi yang bermasalah dengan pasangan, saya berusaha mencamkan dalam otak mereka bahwa hidup adalah masalah pilihan. “Buat apa mencintai orang yang hanya bisa menyakiti.” Begitu kata saya. Padahal saya sendiri cenderung tertarik pada sosok yang tak selayaknya saya taklukkan dan cenderung menyakitkan.
Bagi yang minder saya kobarkan semangat PD yang nyerempet narsis. Padahal kala diharapkan menjadi pintar, saya malah cenderung blo’on karena nyali keburu ciut seciut balon kempes.
Bagi yang tertimpa musibah, saya anjurkan untuk belajar menerima keadaan, padahal saya sendiri tidak jarang mempertanyakan keputusan Sang Maha Karya.
Bagi yang kesasar, saya nasihatkan untuk putar balik dan mulai dari awal. Padahal saya sering berlama-lama menapaki jalan yang sudah jelas salah.
Bagi yang emosional dan suka mencerca, saya ingatkan mereka pada jargon “tak ada gading yang tak retak.” Padahal meskipun saya hobi mengonsumsi gule otak di warung padang, tapi ketika berbeda pandangan, hati dan mood saya yang lebih sering menang daripada otak saya. Bahkan saya sering meminta agar mereka tidak judgemental sementara sebenarnya kepala saya sendiri selalu menilai dan tak jarang penilaian itu sukses menemukan jalannya ke mulut saya.
Saya ini belum pantas jadi juru bicara kelurahan tapi sudah sok mau jadi juru bicara Tuhan.
Well, saya memang kontradiktif.
If you are small, you would think this writing is just someone’s stupid confession.
If you are regular, you would be offended, cause you know I’m talking about us; human.
If you are large, you would be offended but then choose to learn from it.
If you are jumbo, please work on a healthy diet J
Anda berani “ngaca”?

Jumat 3 juni 2011 – 11.40 pm.


No comments:

Post a Comment

TATKALA

  Life After Those 18 Text Messages Kangen kamu, M bel. Aku bingung harus ngapain biar sakitnya pergi...             Si bodoh ini berna...