My imperfection makes me a perfect human.
Are you smart enough to understand this sentence?
Salah satu kesempurnaan saya sebagai manusia adalah
ketidakimunan saya terhadap sikap berbohong (yang sering kali mendapat
pembelaan dengan istilah bohong putih).
Ya, semua pasti pernah berbohong (kecuali kalau Anda
termasuk golongan hewan dan tumbuhan). Tapi seberapa banyakkah yang
melakukannya terhadap dirinya sendiri?
Saya cukup sering melakukannya.
Contohnya, ketika menatap matanya, saya bilang saya tidak mencintainya (aisshh,
mellow sesaat). Ketika mencicip hasil masakan saya sendiri yang hanya berupa
kornet goreng campur tomat dan selada, saya bilang masakan itu lezat. Ketika
berkaca saya sering bilang betapa femininnya saya. Ck ck ck, saya dan dunia ini
tahu bahwa semua itu dusta.
Saya tak mungkin membohongi diri sendiri karena saya tahu
terlalu banyak tentang diri saya. (kadang saya khawatir Nia 1 suatu saat harus
membunuh Nia 2.)
Penipuan terbesar yang sampai detik ini berhasil saya lakukan
adalah membuat orang berpikir kalau saya ini pemberani. Dengan rambut selalu
cepak semrawut karena mencoba sexy seperti Demmi Moore di Ghost (yak, saya salah
satu korbannya. Confession) tapi justru lebih sering dikira Ashton Kutcher
saking tomboynya saya, (saya tahu saya berlebihan) orang pasti takkan percaya
bahwa saya ini penakutnya pol.
Saya ini kontradiktif dalam banyak hal. Tapi akan saya
rangkum dalam tiga garis besar saja.
Kita mulai dengan Tomboy tapi Penakut.
Sampai detik ini saya masih gemeteran tidur sendirian.
Selama masih ada pilihan, saya pasti minta tidur bareng dengan siapa pun itu.
Sendirian di rumah juga gak berani apalagi kalau mendung. Saya juga penakut
dalam hal mengambil keputusan. Saya sering minta pendapat, bahkan kadang
kelewat banyak pendapat yang saya minta hingga akhirnya bingung sendiri yang
mana yang harus didengar. Sepertinya akan terasa lebih “aman” jika keputusan
itu adalah hasil mufakat, jadi ketika ternyata yang diambil adalah keputusan
yang salah, saya tidak jatuh sendirian.
Tapi saya berani ngelawan dosen dan atasan saya yang
semena-mena dan selalu berasa benar. Saya juga berani keluyuran tengah malam
sendirian. Berani neriakin supir angkot yang ngetem dan ngerem seenaknya.
Intinya saya lebih berani berhadapan dengan yang
kasar-kasar daripada dengan yang halus-halus.
Hal kontradiktif yang tidak kalah menonjolnya dari
diri saya adalah Gahar tapi Sentimentil.
Orang takkan menyangka kalau saya ini mudah sekali
menangis ketika mendengar kisah-kisah maupun melihat adegan-adegan menyedihkan
di film dan program TV, bahkan Oprah Winfrey show sukses berulang kali membuat
saya tersedu sedan. Julukan melankolis pernah disematkan pada diri saya (atau
jangan-jangan masih?)
Cangkem
saya ini lancar jika diajak bercanda dan saling mencela tapi super sensi kalau sudah
soal yang mellow-yellow.
Saya ini Mario
Bross berbalut Mario teguh.
Saya terbilang sering dijadikan tempat curhat. Entah
karena tampang saya melas sehingga menimbulkan efek “I know what you’re going
through,” kind of thing atau karena mereka tak tahu harus curhat ke siapa lagi.
Yang jelas saya selalu punya kata-kata untuk
diucapkan. Saya berusaha keras menjadi bijak padahal jarang menjalani isi
nasihat saya yang bijak itu.
Bagi yang bermasalah dengan pasangan, saya berusaha mencamkan dalam otak mereka
bahwa hidup adalah masalah pilihan. “Buat apa mencintai orang yang hanya bisa
menyakiti.” Begitu kata saya. Padahal saya sendiri cenderung tertarik pada
sosok yang tak selayaknya saya taklukkan dan cenderung menyakitkan.
Bagi yang minder saya kobarkan semangat PD yang nyerempet narsis. Padahal
kala diharapkan menjadi pintar, saya malah cenderung blo’on karena nyali keburu
ciut seciut balon kempes.
Bagi yang tertimpa musibah, saya anjurkan untuk belajar
menerima keadaan, padahal saya sendiri tidak jarang mempertanyakan keputusan
Sang Maha Karya.
Bagi yang kesasar, saya nasihatkan untuk putar balik dan mulai dari
awal. Padahal saya sering berlama-lama menapaki jalan yang sudah jelas salah.
Bagi yang emosional dan suka mencerca, saya ingatkan mereka pada jargon “tak
ada gading yang tak retak.” Padahal meskipun saya hobi mengonsumsi gule otak di
warung padang, tapi ketika berbeda pandangan, hati dan mood saya yang lebih
sering menang daripada otak saya. Bahkan saya sering meminta agar mereka tidak judgemental sementara sebenarnya kepala
saya sendiri selalu menilai dan tak jarang penilaian itu sukses menemukan
jalannya ke mulut saya.
Saya ini belum pantas jadi juru bicara kelurahan tapi
sudah sok mau jadi juru bicara Tuhan.
Well, saya memang kontradiktif.
If you are
small, you would think this writing is just someone’s stupid confession.
If you are
regular, you would be offended, cause you know I’m talking about us; human.
If you are
large, you would be offended but then choose to learn from it.
If you are
jumbo, please work on a healthy diet J
Anda berani
“ngaca”?
Jumat 3 juni
2011 – 11.40 pm.
No comments:
Post a Comment