Sunday, January 10, 2021

TATKALA


 


Life After Those 18 Text Messages

Kangen kamu, Mbel. Aku bingung harus ngapain biar sakitnya pergi...

         Si bodoh ini bernama Pilar. Orangnya tidak setegar namanya. Dia hanya pemuda kesepian yang kerap ditemani kesunyian. Sejak sang belahan jiwa pergi, hari-harinya hanya diisi dengan kerja, kerja, dan kerja. Tak lagi pergi ke bioskop meski sangat suka menonton film, tak lagi pergi bersama teman-temannya karena enggan diperkenalkan kepada gadis-gadis lain. Hatinya sudah untuk satu orang, yaitu Intan. Ya, nama asli gadis itu adalah Intan. Tapi Pilar memiliki panggilan kesayangan untuknya; Mbel.

Entah kenapa Pilar teguh sekali untuk setia meski dia sendiri tidak yakin apakah sang belahan jiwa akan pernah kembali. Pilar tidak hidup. Dia hanya belum mati. Tidur, mandi, makan, minum, kerja. Mekanis sekali.

Dan justru ketika Jakarta sudah sepi, barulah dia keluar dari sarangnya. Beberapa jalanan yang dilaluinya memang masih terang, tapi sebagian lagi sudah gelap karena lampu jalan yang jumlahnya kurang banyak dan kadang terhalang dahan pohon. Udara malam makin terasa dingin karena sore tadi hujan turun cukup deras.

Aku nggak tahu mau ke mana. Aku kehilangan arah. Tapi ini bukan sesuatu yang bisa beres pake waze atau google map. Yang aku tahu aku cuma pengen keliling-keliling naik motor.

Untuk apa?

Cari udara segar?

Nggak taulah.

Andai sakitnya bisa berhenti saat ini juga.

      Pilar memacu motornya dengan kecepatan tinggi, menantang dinginnya angin malam. Dia tidak memedulikan akal sehatnya yang terus berteriak menyuruhnya memelankan laju motornya. Dia terus saja berjalan tak tentu arah.

Sendiri.

Ditemani playlist yang penuh dengan lagu-lagu yang membuat hatinya makin terkoyak. Menyanyi-kannya. Meneriakkan liriknya. 

And God knows,..

God knows all the things that I fail to say.

And baby you know, I’ll stay here, I won’t go away.

To be with you, I will stay true, no one but you, I’ll wait for you.

Oh baby you know,.. baby you know,.. I love you…

Suara yang lantang itu perlahan bergetar. Napas Pilar tersengal-sengal. Batinnya kelelahan menahan sakit di hatinya.

 ***

Sudah pukul 02.00. Pilar akhirnya kembali ke tempat kosnya. Motor melaju pelan agar tidak bising dan tidak mengganggu warga komplek. Dari kejauhan dia mendapati seorang pemuda berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah. Pemuda itu hanya diam termenung saat pintu pagar ditutup dari dalam oleh seorang bapak-bapak berbaju safari yang tampak tak acuh kepada pemuda itu.

“Ngapain nih orang bengong doang di depan pagar malam-malam? Diusir apa kenapa?” Sedikit rasa penasaran melintas di benak Pilar. Dia memperlambat laju motornya dan membuka kaca helmnya. Pemuda itu benar-benar dia perhatikan. Tingginya sedikit di atas rata-rata pria Indonesia. Mungkin sekitar 180 cm. Meski tinggi tapi badannya tidak terlihat besar atau kekar. Pemuda itu memakai kemeja lengan pendek berwarna biru muda, celana jogger berwarna hijau army, dan sepatu loafers berwarna cokelat. Potongan rambutnya ala anak muda zaman sekarang. Dari penampilannya dia tidak terlihat berbahaya. Malah cenderung modis. Sama sekali tidak seperti perampok, penagih utang, ataupun tukang pukul yang sering terlihat memakai jaket kulit hitam dan gelang atau kalung yang menyerupai rantai. Tapi ada yang aneh dengan cara dia memandangi rumah itu.

Merasa dirinya diamati, pemuda itu pun berbalik melihat ke Pilar dan kini justru pemuda itu yang terlihat heran pada Pilar.

“Udahlah, mungkin dia gak boleh masuk karena datang kemaleman,” pikir Pilar dalam hati. Pilar pun memalingkan pandangannya dari pemuda itu dan terus melaju.

***

Pilar berusaha setenang mungkin saat membuka pagar dan menggiring motornya memasuki rumah kos. Rumah kos yang berukuran cukup besar ini sebenarnya rumah tinggal biasa milik seorang nenek berusia 65 tahun yang kini tinggal sendiri setelah suaminya wafat dan ketiga orang putranya sudah memiliki rumah masing-masing. Hanya saat liburan sekolah saja ketiga putranya datang membawa istri dan anak-anak mereka. Agar tidak kesepian, ketiga kamar itu disewakan. Nenek juga mempekerjakan seorang asisten rumah tangga bernama Mbak Mar yang ikut tinggal di rumah itu bersama Lela; anaknya yang baru berusia lima tahun.

Pilar berjingkat menuju kamarnya. Dia tidak ingin Nenek atau Mbak Mar tahu bahwa dia baru pulang pukul dua pagi. Mereka sangat baik, Pilar tidak ingin membuat mereka cemas dengan perubahan sikap Pilar. Pilar pun yakin, tidak hanya dirinya yang kehilangan Intan, tapi Nenek, Mbak Mar, apalagi Lela, pasti merindukan Intan juga. Intan sering menemani Nenek menjahit, membantu Mbak Mar memasak, bahkan Intan juga selalu pasrah setiap kali Lela menjadikannya objek eksperimen make-up menggunakan cat air. Intan punya tempat di hati mereka.

...  

Sesampainya di kamar, Pilar sengaja tidak menyalakan lampu dan memilih berjalan dalam keremangan hingga beberapa kali tersandung. Kamar seluas 4x4 meter itu sangat berantakan. Baju kotor, bola basket, dumbbell, remote AC, berserakan tak karuan.

Pilar tidak langsung merebahkan dirinya di kasur. Dia menyalakan lampu kecil di meja kerjanya dan duduk termangu di kursi, memandangi foto itu; foto saat Pilar yang sedang duduk di lantai, dipeluk dan dicium gemas dari belakang oleh Intan yang kala itu sedang duduk di kasur di belakang Pilar.  

Foto yang selalu menemaninya dalam sepi.

Kamu ingat nggak, Mbel? Malam itu kamu nemanin aku lembur. Padahal aku nggak minta ditemanin. Bahkan aku udah bilang mendingan kamu pulang duluan aja biar nggak capek. Tapi kamu malah jalan sendirian ke kantin buat beliin somay kesukaanku dan nyediain segelas air putih untuk aku minum.

Selama aku kerja, kamu anteng banget duduk di sebelahku. Nunggu dengan sabar tanpa ngeluh sedikit pun. Pas aku udah mulai kecapekan, mulai nggak fokus, mulai mijit-mijit leher, tiba-tiba kamu berdiri dari kursimu dan minta difoto.

“Fotoin aku dong,” pintamu.

Waktu itu aku ngejawab dengan ogah-ogahan dan tanpa nengok ke kamu, “Aduh Mbel, kerjaanku masih banyak. Kalau pakai foto-foto dulu kapan kelarnya?”

“Sebentar aja,” katamu sambil narik tanganku. Terus dengan anehnya kamu pose sambil bertolak pinggang dan sedikit melotot.

Aku nggak ngerti kenapa kamu gaya kayak gitu, tapi di luar dugaan kamu bilang, “Ini untuk ngingetin kamu supaya kamu giat, supaya kamu semangat terus, dan supaya kamu nggak kebanyakan ngerokok. Awas kamu kalau nggak nurut.”

Itu istimewanya kamu, Mbel. Kamu selalu tahu cara nyemangatin aku tanpa perlu panjang-panjang ngasih nasihat.

“Sekali lagi,” katamu. Dan kali ini kamu pose kayak orang lagi nangis dengan kedua tanganmu dikepal di samping mata.

Lagi-lagi aku nggak ngerti kenapa kamu milih bergaya yang aneh-aneh gitu, tapi penjelasan dari kamu benar-benar bikin aku terenyuh, “Tiap kali kamu pulang dari rumahku, aku takut banget suatu hari tiba-tiba kamu berhenti datang. Pasti aku bakalan sedih banget kayak gini.”

Reaksiku saat itu cuma senyuman kecil. Tapi sebenarnya aku berusaha keras untuk terlihat nyantai dan berusaha keras supaya raut muka dan pancaran mataku gak ngebocorin rahasia besar; tentang tekadku untuk kerja lebih keras dan ngelakuin usaha apa pun yang halal, supaya bisa jadi orang yang pantas meminang kamu.

***

Belum terlalu lama Pilar tertidur menelungkup di mejanya ketika suara kucing yang menggeram dan mendesis dengan gaduh di luar kamarnya membuatnya perlahan terbangun. Matanya sedikit-sedikit terbuka. Dalam keremangan, Pilar melihat sesosok wajah menyorong begitu dekat dengan wajahnya sendiri. Mata Pilar pun langsung membelalak seraya dirinya melonjak dari kursi hingga jatuh kehilangan keseimbangan.

Entah sudah berapa lama sosok itu mengawasinya tidur. Pilar berulang kali menampar wajahnya dengan harapan dia akan segera bangun dari mimpinya. Tapi dia tidak pernah terbangun, karena itu bukan mimpi. Sosok itu nyata. Berdiri tegak di depannya dengan wajah agak pucat serta lebam dan sedikit darah kering di kening sebelah kanannya. Bulu kuduk Pilar berdiri, sekujur tubuhnya merinding. Suara kucing makin menambah seram suasana. Sosok itu maju mendekat, membuat Pilar sontak mundur menjauh.

Tiba-tiba sosok itu tersenyum dan perlahan senyumnya berubah menjadi tawa. Pilar makin bingung. Dia merasa seperti pernah melihat sosok itu, tapi dia tidak yakin.

“Lu beneran bisa lihat gue?” tanya sosok itu.

Pilar masih berusaha memahami situasi, napasnya masih tersengal-sengal. Sosok itu tiba-tiba menghilang dan dalam sekejap muncul lagi persis di samping Pilar dan membuat Pilar kembali tersentak. Sosok itu terus melakukannya. Menghilang dan muncul kembali di berbagai titik untuk mengecek apakah mata Pilar bisa terus mengikuti pergerakannya. “Lu bener-bener bisa lihat gue, kan? Hahaha. Yes! Yes! Yes!” Sosok itu tertawa keras

Pilar berusaha menenangkan dirinya, dia mengontrol rasa takutnya sampai akhirnya dia bisa memahami keadaan. “Pantes aja bapak-bapak yang tadi nutup pagar kayak nggak ngelihat cowok ini,” pikir Pilar dalam hati.

“Kenapa lu gangguin gue?” tanya Pilar tegas.

Dengan gerakan super cepat, sosok itu mendekat dan kedua tangannya memegang bahu Pilar sehingga Pilar kembali bersiaga. “Relax, Man. Gue bukannya mau gangguin elu. Tapi elu harus bantuin gue.”

...

Rupanya sosok itu bernama Rian. Usianya dua tahun lebih tua dari Pilar, yaitu 34 tahun. Dia tewas tujuh hari lalu dalam kecelakaan tunggal karena membanting setir saat melihat anjing melintas dan menyebabkan mobil yang dikendarainya menabrak pohon. Setelah dimakamkan, sesosok malaikat meng-hampirinya. Malaikat itu bilang, Rian punya waktu 40 hari untuk menyelesaikan urusannya di dunia. Jika berhasil, dia akan masuk surga, dan jika gagal, dia akan dilemparkan ke neraka.

“Gue harus bikin bokap gue rela nerima kematian gue. Gue yakin itu yang bikin gue masih stuck di dunia. Bokap gue itu workaholic, tapi setelah gue meninggal, selama dua hari dia sama sekali nggak nyentuh kerjaannya dan malah ngurung diri di kamarnya. Dia nangis. Benar-benar nangis. Gue kaget banget ngelihatnya. Nggak nyangka banget gue.”

“Namanya juga ditinggal anak, ya pasti sedih bangetlah.” Pilar menanggapi seadanya.

“Lu nggak ngerti. Bokap gue itu laki banget. Dia nggak pernah nangis. Bagi dia, nangis itu cuma buat perempuan.” Rian segera menyanggah.

“Rian, gua bukan cenayang, bukan dukun, apalagi pemuka agama. Gua nggak tau gimana caranya bantuin elu. Jadi lu mending cari bantuan dari orang lain.”

“Tapi cuma elu yang bisa lihat dan dengar gue. You’re the only one, Man.” Rian menegaskan.

“Ah, nggak mungkin. Itu kucing di luar juga bisa lihat elu. Makanya dari tadi dia berisik banget. Elu minta bantuan aja ke dia.” Pilar bersikap cuek dan bergerak ke kasurnya untuk tidur tapi segera dicegah oleh Rian.

“Lu nggak bakal bisa tidur, lu nggak bakal bisa makan, lu nggak bakal bisa kerja karena gue bakal gangguin elu terus sampai masalah gue kelar.”

“Bodo!” jawab Pilar sambil menutup mukanya dengan selimut. Sedetik kemudian selimut itu ditarik oleh Rian.

“Resek lu ya.” Pilar sangat kesal.

“Lu nggak punya pilihan, Man. Lu harus nolongin gue.”

*** 

Rian benar-benar membuktikan ucapannya. Meski Pilar berusaha berkonsentrasi kerja di kantornya tapi Rian terus saja mengganggu. Ketika Pilar menerima telepon, Rian malah menghapus kalimat demi kalimat yang tadi sudah Pilar ketik di komputernya, dan ketika Pilar benar-benar sedang fokus bekerja, Rian menekan tuas di kursi yang Pilar duduki hingga kursi itu tiba-tiba merosot dan membuat Pilar hampir jatuh. Edo, Zidan, Uta, dan juga Fina spontan tertawa melihatnya. Rian benar-benar membuat Pilar tidak bisa bekerja.

Karena kesal, Pilar berjalan cepat keluar dari ruangannya. Rian mengikuti di belakangnya. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, Pilar membuka pintu tangga darurat dan masuk ke sana diikuti Rian.

Pilar langsung marah, “Oke, gue bakal coba bantuin lu. Tapi kita lakuin di luar jam kerja gue, dan setelah urusan lu beres, lu pergi dari hidup gue dan jangan berani ganggu gue lagi atau gue bakal panggilin orang pintar biar lu musnah sekalian!

Rian tersenyum menang. “Deal!” katanya penuh semangat.

Setelah sepakat, Rian tidak lagi mengganggu Pilar bekerja. Tapi, meski sudah tidak lagi diganggu, Pilar tetap tidak bisa konsentrasi karena biar bagaimanapun Pilar memiliki masalahnya sendiri. Masalah hati. Soal Rindu.

Rindu..

Rindu ini bukan rindu yang menggebu-gebu.

Ini hanya rindu yang membandel.

Rindu yang membuatku selalu ingin menoleh ke arahmu

meski kita bekerja di satu kantor.

Rindu yang memberiku tenaga menemanimu di salon

tanpa peduli betapa bosannya aku.

Rindu yang menggerakan pikiranku untuk selalu mengirim emoticon-emoticon lucu

meski aku sedang sangat sibuk.

Rindu yang selalu ada setiap kita terpisah ruang.

Rindu yang rajin datang.

Rindu yang tak pernah absen.

Rindu yang harus kutahan

Meski selalu gagal kutahan.

Aku selalu rindu kamu.

Aku rindu kita.

Pilar berjalan ke pantri dan berlama-lama membuat kopi di sana hanya untuk memandangi meja kosong yang dulunya merupakan meja kerja Intan.

...

Seminggu setelah Intan memilih untuk putus dengan Pilar, tanpa memedulikan syarat one-month notice, Intan langsung resign dari kantor tempat mereka bekerja; kantor yang mempertemukan mereka, kantor yang tiap jengkalnya menyimpan kenangan selama empat tahun mereka bersama. Keputusan Intan yang mendadak itu tak pelak memicu kehebohan.

Intan memang selalu mengundang kehebohan. Sejak proses interview, seluruh pria di kantor sudah kasak-kusuk dan kegirangan mendapatkan calon teman sekantor berparas cantik. Intan mendobrak pandangan umum tentang definisi wanita idaman. Walau tubuhnya tidak langsing bak model, Intan tetap terlihat menawan dan menonjol di antara staf perempuan lainnya. Poninya selalu ditata rapi, make-up dan gaya berpakaiannya tidak pernah berlebihan, kulitnya putih bersih, senyumnya manis, dan yang paling utama; karakternya menyenangkan. Dia lebih dari sekadar pemandangan segar bagi mata-mata yang lelah menatap komputer. Mungkin dulu banyak pria-pria di kantor yang membujuk agar manajer departemen General Affair segera menerima Intan sebagai karyawan. Dan setelah Intan sudah benar-benar bekerja di kantor itu, tak kurang dari lima pria langsung mencoba peruntungannya. Tapi Pilarlah pemenangnya. Menang mudah. Menang mutlak. Walau tanpa niat berusaha.  

Thanks to hujan ya Mbel, kita jadi mulai ngobrol.

Pilar teringat malam ketika hujan turun sebagai pembuka jalan. Awalnya dia sempat menggerutu karena hujan deras mendadak turun dan membuatnya terpaksa berteduh di halte. Padahal ternyata justru hujan itulah yang mengantarnya kepada empat tahun terindah dalam hidupnya. Di antara puluhan halte yang terdapat di sepanjang jalan dari kantor menuju kosan, takdir membuat Intan berteduh di halte yang sama.

Malam itu memang Intan tidak sendirian. Dia sedang bersama Firman; teman satu kantor yang sedang berusaha keras mendapatkan hati Intan. Halte tidak terlalu penuh sehingga Firman bisa dengan mudah mengenali dan menyapa Pilar begitu dirinya turun dari motor dan membuka helm.

“Pilar!” Firman memanggil. Pilar pun mendekat. Awalnya Pilar tidak sadar bahwa wanita yang berdiri di sebelah Firman adalah Intan. Tapi Firman dengan bangga segera memperkenalkan Intan, seakan ingin memamerkan bahwa dirinya bisa mendapat kehormatan untuk mengantar pulang gadis yang menjadi rebutan pria-pria sekantor. “Oh iya, ini Intan. Anak baru di GA. Udah kenal?” tanya Firman kepada Pilar.

Intan tersenyum sopan layaknya karyawan baru yang sedang diperkenalkan kepada karyawan lain. Tapi Pilar hanya mengangguk dingin tanpa senyum sedikit pun. Sikapnya itu bukan disebabkan keangkuhannya sebagai senior, bukan pula karena berpura-pura cuek di depan gadis cantik. Tapi karena Pilar memang bukan orang yang mudah akrab dengan orang baru.  

Malam itu Firman bersikap layaknya singa yang berusaha menunjukan dominasinya agar sang betina tidak melirik sedikit pun kepada pejantan lain. Dari gayanya mengisap rokok dengan dada dibusungkan dan mata sedikit menyipit, Firman ingin tampak maskulin.

Pilar tidak peduli. Dia sama sekali tidak tergoda untuk mencoba bertanding. Dia justru lebih banyak diam sambil merokok dan memainkan gim di ponselnya.

Intan mulai terbatuk-batuk saat asap rokok mulai cukup banyak mengepul. Menyadari hal itu, Pilar segera mematikan rokoknya. Tapi Firman malah mengira Intan batuk karena kedinginan. Dengan gesitnya, Firman langsung membuka jaketnya dan ingin melingkarkan jaket itu ke tubuh Intan. Spontan niatan itu langsung ditolak oleh Intan dan Intan malah semakin batuk karena rokok yang Firman tahan di bibirnya kini jadi semakin dekat dengan wajah Intan.

Pilar geli melihat tingkah konyol Firman yang sok gentle itu. Dia geleng-geleng kepala berusaha menahan tawanya. Tanpa sengaja matanya beradu dengan mata Intan yang juga sedang berusaha tidak menertawakan Firman. Di momen itu.., di momen yang hanya beberapa detik itu.., mereka sama-sama tahu mereka ingin mengenal satu sama lain lebih dekat lagi.

...

Sekarang semua orang di kantor sepertinya sudah tahu bahwa Pilar dan Intan sudah putus. Sudah tidak ada lagi yang dengan polos menanyakan kabar Intan kepada Pilar. Kini mereka justru kasak-kusuk di belakang Pilar dan dengan sok tahunya saling beropini tentang penyebab mereka putus. Tapi bukan hal itu yang membuat Pilar muak. Yang membuatnya muak justru tatapan iba seakan mereka paham betul dalamnya luka yang harus Pilar hadapi. Pilar tidak butuh dikasihani. Dia juga tidak butuh ditemani menghabiskan waktu agar lupa. Karena Pilar tak mungkin lupa. Karena sakitnya benar-benar terasa.  

***

Rian menagih janji. Mendekati jam pulang kantor, dia kembali muncul dan menunggu di sudut ruang kerja Pilar. Ketika jam menunjukkan pukul 18.10, Rian sudah kehilangan kesabaran. “Man, ayo. Katanya jam 6”. Pilar tidak menjawab karena teman-temannya akan mengira dia sudah gila kalau dia berbicara sendiri.

“Man! Jangan bikin gue terpaksa gangguin lu lagi, ya.” Rian mengancam dan membuat Pilar harus memutar otak agar bisa berkomunikasi dengan Rian tanpa membuat teman-temannya curiga.

Akhirnya Pilar mengetik di ponselnya dan memberi kode agar Rian membacanya. “Gue masih banyak kerjaan. Jam 7 deh.”

“Nggak. Gue mau sekarang. You said 6 PM.” Rian tidak peduli.

Pilar kembali mengetik di ponselnya, “Taik ya. Kerjaan gue belum kelar. Sabar dikit kek.”

Tanpa bicara lagi, Rian sengaja menumpahkan kopi Pilar ke lantai dan airnya sedikit mengenai rok Fina, rekan satu tim yang meja kerjanya persis bersebelahan dengan Pilar.

Pilar langsung meminta maaf pada Fina sambil membersihkan roknya. Namun, Pilar segera menarik kembali tangannya saat menyadari bahwa dia menyentuh bagian paha Fina. Untungnya Fina tidak marah dan malah tersipu.

“Woohoo.. love is in the air. Ada yang naksir-naksiran nih kayaknya.” Rian meledek jahil dan Pilar langsung melotot ke Rian seolah takut Fina akan bisa mendengar ocehan Rian.

Setelah membereskan tumpahan kopi di lantai, Pilar langsung mematikan komputernya dan bersiap-siap pulang. Dia tidak ingin Rian berulah lagi.

***

Mereka sudah berdiri di depan pagar rumah Rian. Tapi mereka baru sadar bahwa mereka belum menyusun rencana.

“Gue mesti ngomong apa ke bokap lo?” tanya Pilar.

Rian hanya menggeleng dengan wajah polos.

“Eh, taik lu ya. Dari tadi ngapain aja? Bukannya mikir lu. Emangnya jadi setan tuh sibuk banget apa?” Pilar kesal.

“Well sorry, Man. Gue juga gak tahu harus mulai dari mana.” Rian menjeda omongannya lalu dengan sedikit takut dia melanjutkan, “By the way, gue baru ingat, bokap biasanya ke kafe langganannya dulu, terus baru pulang paling cepat jam 1-an.”

“Taik!” Pilar berjalan pergi dan bersiap naik ke motornya.

Rian berusaha mengejarnya, “Man, tunggu dulu. Lu udah janji mau bantuin gue.”

Pilar tidak peduli. Dia tetap memakai helm dan menyalakan mesin motornya.

“Gue bakal gangguin lu lebih parah lagi. Lu gak bakal bisa kerja, lu gak bakal bisa ngapa-ngapain!” Rian mengancam tapi Pilar tidak gentar.

“Terserah! Coba aja kalau berani. Lu itu cuma arwah gentayangan. Gue bisa panggil orang pinter buat ngusir elu!”

Rian terdiam. Dia sadar omongan Pilar ada benarnya. Dia pun tak kuasa menahan ketika Pilar benar-benar pergi dengan motornya.

***

Pilar tiba di rumah kosnya saat Nenek sedang menonton sinetron ditemani Lela yang asyik menggambar di sebelahnya. Begitu melihat Pilar, Lela langsung berlari mendekat. Anak itu memang senang bermain dengan Pilar, apalagi dengan Intan, karena mereka selalu perhatian dan suka membawakan oleh-oleh kecil untuknya.

“Hai anak baik, lagi ngapain? Waduh, tangannya belepotan gini, pasti lagi asyik ngegambar nih.”

“Iya dong,” jawab Lela sambil menarik Pilar untuk memamerkan gambarnya yang lain. “Yang ini dulu dibikinin Tante Intan.”

Itu hanya kalimat sederhana yang keluar dari mulut seorang bocah polos. Tapi seketika itu juga, kalimat tadi membuat hati Pilar terasa ngilu. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan pasti sampai juga ke wajahnya sehingga tak luput dari perhatian Nenek.

“Kok Intan nggak pernah ke sini lagi?” tanya Nenek.

Pilar hanya diam. Biar diam yang berbicara. Biar diam yang menjelaskan.

“Yang sabar.” Dua kata itu yang Nenek ucapkan selanjutnya. Tampaknya Nenek paham apa yang terungkap dalam diam.

...

Pilar masuk ke kamarnya dan menemukan Rian sudah berada di sana. Rian duduk di lantai sambil bersandar pada kasur. Kepalanya tertunduk, kakinya dilipat ke dada dan kedua tangannya merangkul lututnya. Melihat Rian di kamarnya membuat suasana hati Pilar makin buruk. Tapi bagaikan dua teman karib yang sudah biasa bertengkar, Rian seperti sudah tahu bahwa untuk sementara yang terbaik adalah diam dan membiarkan Pilar menenangkan diri dulu.

Pilar meletakkan tasnya di meja, menenggak air dari botol minumnya yang entah sudah berapa lama berada di sana, lalu duduk di kursi sambil melepas sepatu.

Setelah Pilar terlihat lebih tenang, Rian mulai berbicara, “I need your help, Man.”

“Lu nggak tau etikanya minta tolong ya?” Pilar masih kesal.

Rian terdiam sejenak sebelum melanjutkan bicara, “Gue janji nggak akan ganggu lo kayak tadi lagi. Soal waktu juga gue bakal ikutin waktu lu. Pakai cara lu deh pokoknya. But you gotta help me, Man.”

Pilar tidak menjawab. Dia tetap diam hingga beberapa menit. Kemudian dia bangun dari kursinya lalu keluar kamar.

“Mau ke mana lu?” tanya Rian.

“Mandi. Biar nggak bau menyan.”

Rian tersenyum lega mendengar Pilar sudah bisa bercanda.

***

Mbel, kamu nggak bakalan percaya kalau aku bilang sekarang aku temenan sama setan. Haha.. Mungkin aku emang udah gila. Jangan-jangan dia cuma khayalan yang tanpa sadar aku karang supaya aku ke distract dari kangennya aku ke kamu.

Mbel, pasti seru kalau aku bisa cerita semua ini ke kamu. Banyak banget Mbel yang pengen aku ceritain.

Pilar tersenyum miris dan lalu melanjutkan mandi. Mungkin dia berharap dengan terus mengguyur tubuhnya seperti itu, luka di hatinya akan terbawa air.

***

Sehabis mandi, Pilar kembali ke kamarnya dan kali ini dia mendapati Rian duduk di depan meja kerjanya sambil memandangi foto Intan. “Ini cewek lu?” tanya Rian.

Pilar tidak menjawab. Kelam di wajahnyalah yang membuat Rian bisa menerka dengan mudah. “Pasti mantan lu, ya? Tapi elunya masih sayang. Ya, kan? Cowok kok takluk sama cinta.” Rian meledek.

Pilar tidak merespon dan langsung mengganti topik pembicaraan, “Gue ada ide.”

...

Malam ini Pilar mencoba sedikit rapi dengan mengenakan kemeja lengan panjang yang kerah dan lengannya sengaja dikeluarkan dari balik sweter hitam polosnya. Menurut masukan dari Rian, penampilan rapi seperti ini akan membuat papanya lebih mudah percaya pada Pilar. Pilar pun harus ekstra menggali lebih dalam lemarinya untuk mencari celana yang sedikit rapi di antara tumpukan koleksi celana jeans butut kesayangannya. Untuk kesempurnaan, Pilar mengambil lap basah dan membersihkan dulu sepatu kets terbaiknya.

“Nggak punya yang lain apa lu?” Rian sedikit cemas.

“Sepatu gue kets semua. Besok deh gue beli sepatu kaca,” Pilar menjawab sinis dan membuat Rian tersenyum kecut. “Lagian lu bawel banget sih. Gue copywriter. Gue nggak perlu rapi-rapi amat. Gue nggak suka.” Pilar mempertegas.

“You got no style,” Rian menggerutu lalu pergi menembus tembok.

...

Sebelum keluar kamar, Pilar mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Intan, “Mbel, aku pergi dulu ya. Sebentar aja kok, cuma buat ketemu papanya Rian. Aku sayang kamu.” Dan Pilar ingin melengkapinya dengan emoticon cium.

Tapi pesan itu tidak pernah dikirim. Ditulis hanya untuk dihapus lagi. Ditulis hanya untuk menghibur hati. Sebuah kebiasaan yang indah yang Pilar tak ingin biarkan punah.

***

Tibalah mereka di Dusk9, tempat Papa Rian sering menghabiskan malamnya. Kafe ini sangat eksklusif. Semua pengunjungnya membawa mobil mewah. Hanya Pilar yang datang naik motor butut dan membuat petugas parkir sempat bingung dan akhirnya mempersilakan Pilar parkir di tempat parkir motor karyawan.

Tempat ini cukup ramai tapi tidak bising sehingga masih nyaman untuk mengobrol. Pengunjungnya rata-rata berusia 30 tahun ke atas dan semuanya dari kalangan pemilik pohon uang yang datang ke sini sekadar untuk menghalau sepi atau untuk melobi suatu proyek. Ini memang bukan tempat untuk anak muda yang senang berjoget ditemani musik bervolume keras.

Pilar memilih duduk di bar dengan harapan bisa mengorek informasi dari bartender.

“Mas, ice lemon tea ya.” Pilar memesan minum.

Sambil menunggu, Pilar membuka ponselnya dan mendapati notifikasi dari Facebook. Seorang teman mengunggah dan men-tag Pilar dalam foto yang diambil tiga tahun lalu saat kantor mereka mengadakan acara buka puasa bersama di sebuah restoran. Di foto itu juga ada Intan, tersenyum ceria sambil menggenggam mesra lengan Pilar.

...

Hanya sebuah foto. Tapi efeknya membuat Pilar harus menarik napas panjang untuk melawan sesak di dadanya.

...

Lamunannya buyar saat ice lemon tea pesanannya disajikan. Pilar mendongak untuk berterima kasih. Tapi dia tak bisa menutupi keterkejutannya saat melihat bahwa yang menyajikan minuman itu adalah bartender perempuan berparas cantik.

“Gratis,” kata si bartender cantik itu.

“Hah?” Pilar tidak mengerti kenapa dia tidak perlu membayar.

“Bertahun-tahun gue di bar, baru kali ini ada cowok pesannya ice lemon tea. Gue pikir, menarik juga nih cowok. Jadi, gue bilang ke teman gue, si bartender yang tadi lu pesan minum, supaya gue aja yang bikinin dan anterin ice lemon tea lu.”

Perempuan ini tanpa ragu menunjukkan ketertarikannya pada Pilar tapi Pilar tetap diam, tidak tahu bagaimana harus bersikap hingga lagi-lagi, perempuan itulah yang harus kembali memancing percakapan, “Ini pertama kalinya lu ke sini, kan? Gue nggak pernah lihat elu sebelumnya.”

“Iya, ini pertama kalinya. Gue ke sini buat ketemu Om Bram. Lu kenal?”

Si bartender perempuan itu langsung mengangkat kedua tangannya, “Okay, so you’re gay. Fine. Gue nggak akan ganggu.”

“Enggak, enggak. Tunggu. Lu salah paham.” Pilar langsung berusaha menjelaskan. “Gue mau ketemu dia bukan untuk…, ya pokoknya gue ada perlulah sama dia.”

“Oh, gitu,” si bartender perempuan terlihat lega dan kembali menunjukkan ketertarikannya, “Lu emang nggak suka alkohol atau kecanduan ice lemon tea?”

Pilar sedikit tertawa dan agak ragu untuk berterus terang, tapi akhirnya dia menjawab jujur, “Gue janji ke seseorang untuk nggak minum alkohol lagi.”

“Cewek lu?” tanya si bartender.

Pilar menjawab dengan menggeleng.

“Istri lu?” si bartender kembali bertanya dan Pilar kembali menggeleng.

“Kalau gitu, gue anggap lu belum punya cewek apalagi istri.” Kemudian tiba-tiba si bartender meng-ambil ponsel Pilar yang tergeletak di meja bar lalu dia me-miscall nomornya sendiri. “Beres. Gue udah punya nomor lu dan lu juga udah punya nomor gue. Sekarang gue harus kerja, jadi ngobrolnya kita lanjut by phone ya,” ucap si bartender tanpa malu.

Pilar hanya tersenyum dan menggangguk sehingga membuat perempuan itu gemas, “Seharusnya lu tanya nama gue, lagi. Atau seenggaknya lu sebut nama lu.”

Pilar tersenyum, mengulurkan tangannya, lalu menyebutkan namanya, “Pilar”.

“Kristal,si bartender juga menyebutkan namanya sambil memberikan senyuman terbaiknya, kemudian dia kembali bekerja.

Tiba-tiba Rian sudah ada di situ dan merangkul bahu Pilar, “Mantap, Man. Dapat aja lu.”

Pilar hanya tersenyum kecil.

“Eh, itu bokap gue di table yang di sebelah sana. Yuk.

Pilar langsung berbalik badan ke arah yang ditunjuk. Papa Rian terbilang masih bugar. Rambut dan jenggot tipisnya memang sudah perak semua tapi badannya yang ramping dan tegap, apalagi ditunjang dengan setelan jasnya yang terlihat sempurna dan kilau dari jam mewahnya, membuatnya tetap terlihat menarik. Seorang Silver Fox sejati. Terbukti perhatian para wanita di sana sedikit teralihkan dari urusan mereka masing-masing dan mencuri pandang padanya.

“Om Bram, apa kabar?” sapa Pilar sambil mengulurkan tangan. Papa Rian tampak bingung karena tidak mengenali orang yang menyapanya. Pilar harus mencoba lebih meyakinkan. “Saya Pilar, Om. Teman kuliahnya Rian.”

Gurat kesedihan muncul di wajah Papa Rian mendengar nama mendiang putranya disebut. Tapi dia segera menyembunyikan kedukaannya dan menjabat tangan Pilar.

“Saya turut berduka ya, Om. Maaf waktu itu saya nggak bisa datang.”

Papa Rian hanya mengangguk pelan.

“Mm.., kalau Om nggak keberatan, boleh nggak kalau hari Sabtu besok antar saya ke makam Rian?”

Papa Rian terkejut mendengar permintaan yang tanpa basa-basi itu. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk ragu.

“Oke, kalau gitu, sampai ketemu hari Sabtu. Jam 10 pagi saya ke rumah Om. Saya permisi dulu. Mari.” Pilar kemudian berjalan menuju pintu keluar.

Papa Rian memperhatikannya hingga menghilang dari pandangan. Dia tampak masih kaget dengan pertemuan tak terduga itu.

Rian membuntuti Pilar berjalan hingga parkiran motor sambil terus ribut menyuruh Pilar kembali mengobrol dengan Papanya. “Lho, Man. Kok lu malah pergi? Buruan ngobrol lagi sama bokap gue. Lu harus temanin dia, lu harus bilang kalau…”

“Kalau apa?” Pilar memotong. “Lu juga nggak tau kan apa yang sebenarnya pengen lu sampein ke bokap lu?”

Rian terdiam.

***

Papa Rian pulang dalam keadaan mabuk berat sehingga harus dipapah oleh sopirnya dan seorang wanita muda berpakaian seksi. Rian sedih melihat Papanya seperti itu tapi tak ada yang bisa dilakukannya.

Setelah direbahkan di kasur, supir tadi keluar dari kamar dan kini tinggal Papa berdua dengan wanita muda berpakaian seksi itu. Menyadari bahwa Papa Rian benar-benar tidak sadarkan diri, wanita itu mengambil sejumlah uang dari dompet Papa Rian lalu pergi begitu saja. Rian hanya tersenyum sinis melihat kelakuan wanita tadi.

Rian berdiri mendekat dan menyelimuti Papanya. “Pa..” Ada jeda panjang sebelum Rian melanjutkan. “What do I gotta do?” Rian terlihat putus asa. Dia duduk di lantai bersandar pada tembok di sisi kasur Papanya. Hanya diam memandangi.

***

Lampu kamar sudah dimatikan, AC sudah menyala dan Pilar sudah berbaring di kasurnya. Tapi matanya masih terbuka lebar memandangi foto-foto Intan di HP-nya.

Ya, untuk menghalau sepi, Pilar berbicara pada foto yang tak pernah merespon, dan earphone yang melekat di telinganya memperdengarkan Voice Note yang dulu sering dikirim Intan, “Sayang banget sama kamu, muuu-ah”, begitu katanya.

Dulu Intan memang sangat mencintainya. Dulu.

...

Tiba-tiba Rian muncul di kamar Pilar dan bertanya, “Menurut lu, kenapa gue masih di sini ya?”

Pilar kaget karena Rian sekonyong-konyong muncul seperti itu. Dia lekas menutup galeri foto di ponselnya dan memarahi Rian, “Woi setan, jangan suka nongol tiba-tiba kayak gitulah. Kalau gue jantungan terus mati, nanti nggak ada yang nolongin elu lho.”

Rian tertawa kecil. Pilar tidak jadi bersiap tidur. Dia turun dari kasurnya, mengeluarkan rokok dan korek dari tasnya, lalu menuju teras samping.

...

Kepulan asap rokok makin tebal, sesekali Pilar meneguk teh hangat yang dia buat.

“Tadi gue dari rumah bokap. Gue nyoba untuk ngobrol sama dia. Tapi gue benar-benar nggak tau apa yang mau gue omongin.”

“Lu sama bokap lu emang nggak pernah ngobrol, ya?” tanya Pilar heran.

“Nggak. Gue sama bokap ya.., serumah tapi hidup sendiri-sendiri aja. Makanya gue kaget banget ngeliat bokap gue nangis kayak waktu itu. Selama ini gue pikir dia nggak terlalu peduli sama gue.”

Pilar mengangguk memahami, lalu bertanya, “Kalo sama nyokap lu gimana?”

Raut wajah Rian langsung berubah. Ada rasa marah dan jijik terpancar di sana, “She left with another guy waktu gue SD. Dasar nggak tahu diri. Kurang apa coba bokap gue? Ah, udahlah gue malas ngomongin dia.”

Pilar berhenti bertanya dan kembali mengisap rokoknya.

“Lu tadi kenapa cabut sih, Man? Kali aja kalau tadi bokap gue lu ajak ngobrol, kita jadi tau sebenarnya kita harus gimana.”

“Lu gila, ya? Mosok baru ketemu mau langsung bilang kalau gue bisa ngelihat arwah anaknya? Yang ada malah ngehindar dia. Atau lebih parah lagi. Gue bakal dituduh mau nipu.”

Iya juga sih.” Rian mengakui.

“Santailah. Kita pakai strategi. Gue harus dapetin kepercayaan bokap lu dulu supaya dia mau dengarin omongan gue.”

Rian menggangguk setuju, lalu Pilar melanjutkan, “Lagi pula kenapa sih lu pengen cepat-cepat ke akhirat? Emang tabungan lu udah cukup?” Ada tawa jahil yang sengaja ditahan Pilar diujung kalimat tanyanya itu.

“Sialan lu, Man.

Pilar melepaskan tawanya lalu berjalan memanggil Bang Markum, tukang mi goreng keliling langganannya.

...

Pilar makan dengan lahap di teras. Tapi Rian tidak bisa duduk tenang menunggu Pilar menghabiskan makanannya. Dia resah sekali.

Man, buruan makannya.”

“Bawel ya. Ini gue sambil mikir gimana caranya ngomong ke bokap lu.” Pilar berbisik agar tidak terdengar oleh Bang Markum.

Rian tetap tidak bisa tenang. Dia mondar mandir dan tampak gelisah. “Kok perasaan gue gak enak ya. I fell funny, Man. Kayak merinding gitu,” ucap Rian.

“Yang setan kan elu. Harusnya yang merinding itu gue.” Pilar heran.

“Iya juga ya.”

Tiba-tiba dari luar pagar, Bang Markum ikut bicara, Temannya nggak ikutan makan?”

“Maksudnya anak kosan yang lain, Bang?” tanya Pilar bingung.

“Bukan, itu teman yang di sampingnya tuh” ujar Bang Markum dengan santai.

Pilar sampai sedikit tersedak saking kagetnya mendengar omongan Bang Markum.

“Tuh, kan? Pantesan dari tadi feeling gue nggak enak.” Rian makin gelisah.

Ide jahil langsung muncul di kepala Pilar. Dia berjalan mendekati Bang Markum. Rian pun mengekor di dekatnya. “Abang bisa lihat orang ini?” tanya Pilar sambil menunjuk Rian.

“Lihat sih enggak, tapi taulah abang mah.”

“Abang bisa ngusir yang beginian nggak?” tanya Pilar dengan semangat dan membuat Rian menunggu jawaban dengan ketar-ketir.

“Emangnya dia ganggu?”

Pilar tidak langsung menjawab. Dia melirik kepada Rian yang tampak mengatupkan kedua tangannya sebagai tanda dia memohon kepada Pilar. Kesempatan ini pun Pilar gunakan untuk membuat Rian memahami batasannya, “Kalau dia ganggu, bantuin saya ya, Bang.”

Bang Markum membalasnya dengan senyuman.

***

Pagi ini Pilar berangkat agak siang karena ngantuk akibat terlalu lama mengobrol dengan Rian semalam. Dia mengendarai motornya dengan pelan dan mengambil sisi pinggir kiri, memberi jalan kepada pengendara lain yang ingin menyalipnya.

Namun, dari sekian pengendara yang melewatinya, ada satu motor yang menangkap perhatiannya. Motor ojek online itu membawa penumpang wanita yang tasnya sama persis dengan tas ransel milik Intan.

Pilar tersenyum-senyum sendiri dibuatnya. Sekadar melihat tas yang sama dengan milik Intan saja sudah bisa membuat harinya lebih cerah. Semangat Pilar langsung muncul. Dia berkendara lebih cepat, berusaha membuntuti motor itu.

Di sebuah lampu merah Pilar tersadar; pin band Mew yang menempel di tas itu, sama persis dengan pin band Mew milik Intan, gelas plastik yang ada di saku kiri tas itu, sama persis dengan gelas plastik milik Intan, sepatu biru garis-garis yang wanita itu kenakan juga sama persis dengan sepatu Intan. Jangan-jangan…

Begitu lampu hijau menyala, Pilar langsung berusaha bersejajar dengan motor itu dan menengok ke arah penumpang wanita di ojek online itu.

Dan ya, itu Intan.

Meski dia sedang menunduk karena sambil berkirim pesan teks, tapi tidak salah lagi, itu Intan.

Mbel, ini aku. Di belakang kamu.

Aku pengen banget nyapa kamu, ngajak kamu untuk ikut aku aja dan supaya aku aja yang antar kamu ke kantor. Tapi aku masih ingat jelas penolakan-penolakan kamu waktu aku minta ketemu setelah kamu mutusin aku. Sekian kali kamu gak izinin aku datang ke rumahmu dan bahkan saat aku nekat datang pun, aku harus nunggu lama banget di teras, dan pas kamu keluar kamu sengaja duduk berjauhan dari aku.

Sakit, Mbel.

Padahal dulu, aku bisa datang kapan pun, sesuka aku, dan kamu selalu menyambut. Bahkan kita bikin kunci duplikat pintu ruang tamu supaya kamu atau papamu dan ibumu nggak perlu repot ngebukain pintu kalau aku datang.

Sampai saat ini pun, kunci itu masih menggantung satu set sama kunci motorku.

I don’t give back the key

I don’t take back the heart

Masuk tanpa perlu mengetuk.

Itu dulu.

Kini tidak lagi,

Mesti buat janji,

Semacam reservasi,

Itu pun tetap belum pasti.

      Pilar memutuskan untuk membuntuti saja dari belakang hingga motor yang ditumpangi Intan itu berhenti di sebuah kantor dan Intan turun lalu membayar.

Rupanya di sanalah kini Intan bekerja, sebuah production house besar di bilangan Jakarta Selatan. Pilar terus memperhatikan hingga Intan masuk ke dalam lobi gedung megah itu dan menghilang dari pandangan Pilar.

***

Pilar tiba di kantornya. Dia langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer. Tapi dia tidak langsung bekerja. Dia hanya terduduk melamun di sana. Dadanya benar-benar sesak dipenuhi percampuran rasa senang dan sedih yang aneh yang hanya bisa dipicu oleh Intan.

Senang karena walau hanya bisa melihat dari jauh, tapi itu lumayan mengobati kerinduan Pilar yang sudah begitu mendalam. Selain itu, melihat Intan menggunakan transportasi umum menuju kantornya membuat Pilar berpikir bahwa mungkin itu artinya Intan belum punya pacar, jadi tidak ada yang mengantarnya ke kantor. Semoga saja begitu. Semoga mereka bisa kembali bersatu.

Pilar penuh harap dan harapan itu membuatnya senang. Harapan itu membuatnya tersenyum sendiri. Namun, rasa senang itu tidak bertahan lama. Sedih pun hadir.

Biasanya aku bisa puas mandangain kamu dari depan sambil peluk kamu, lalu cium keningmu. Seenggaknya, mandangin kamu dari samping sambil gandeng tangan kamu tiap kali kita nonton di bioskop.

Sekarang aku cuma bisa mandangin kamu dari belakang, itu pun harus menjaga jarak. Memberi ruang untuk kamu. Membebaskan kamu.

***

“Man!” panggilan Rian membuyarkan lamunan Pilar. Pilar mendongak dan melihat Rian sedang melotot memandangi Indri; teman sekantor Pilar yang selalu memakai rok super ketat dan mini dengan blus berbelahan dada cukup rendah. “Ada yang beginian di kantor lu kenapa nggak lu sikat?”

Pilar hanya geleng-geleng kepala geli dan hendak kembali bekerja saat ponselnya berbunyi. Pilar memeriksa layar ponselnya; Kristal.

“Halo.”

“Hai, lagi sibuk, nggak?”

“Enggak juga.” Pilar mengambil rokok dari tasnya lalu pergi ke balkon.

Dari kejauhan, Rian memandangi Pilar yang tampak rileks saat bertelepon dengan Kristal. Cukup lama juga mereka berbicara, dan setelah selesai, Pilar tidak lekas kembali ke meja kerjanya. Dia membakar satu batang rokok lagi sambil memandang langit dari ketinggian gedung kantornya.

Dia cuma teman, Mbel. Nggak lebih dari itu.

Entah dari mana datangnya rasa bersalah itu. Padahal Intan bukan lagi pacarnya. Padahal Intanlah yang meninggalkan dia. Dan si bodoh ini kembali bermain-main dengan memorinya.

Dulu Pilar sering mengagetkan Intan dengan tiba-tiba muncul di refleksi cermin kecil yang Intan taruh di meja kerjanya. Dan senyum cantik itu selalu hadir di wajah Intan setiap kali melihat pantulan wajah Pilar di sana. Kemudian Pilar membuka headphone yang selalu menempel di telinga Intan setiap dia sedang bekerja, lalu Pilar membisikkan sesuatu.

Tak pernah ada yang tahu apa yang dibisikkan Pilar pada Intan, tapi semua orang bisa tahu bahwa apa pun itu yang dikatakannya, selalu berhasil membuat Intan tertawa dan merona.

Pilar dan Intan juga sering membuat teh bersama di pantri sambil bergandengan tangan dan bercanda. Pernah suatu hari seorang office boy memergoki mereka. Dengan berat hati office boy itu sengaja berdeham agar Pilar dan Intan tahu bahwa dia juga ada di ruangan itu. Secara refleks Intan dan Pilar melepas genggaman tangan mereka lalu cekikikan berusaha menahan tawa sambil berjalan keluar pantri untuk kembali bekerja. Tak lama kemudian Pilar mengirim pesan teks kepada Intan bertuliskan, “J A O D A K.”

“Maksudnya?” tanya Intan.

“Jangan Ada OB Di Antara Kita,” jawab Pilar.

Intan dan Pilar menahan tawa di meja kerja mereka masing-masing.

Si bodoh ini susah lupa. Karena memang tak banyak yang bisa menjadi konyol bersama.

***

Pilar sedang duduk menunggu di teras rumah Intan. Wajahnya ceria karena sambil menikmati sekotak bola-bola coklat buatan Intan. Lalu Intan menghampiri dan berdiri di depan Pilar dengan wajah sedikit memelas.

“Kamu mau?” tanya Pilar.

Intan menjawab dengan anggukan.

“Sebentar ya,” jawab Pilar sambil mencuil bola-bola coklat itu dan memberikan potongan sangat kecil untuk Intan.

Intan tertawa lepas, “Dasar pelit,” ujar Intan sambil mendekap kepala Pilar ke perutnya dan membelai lembut rambut Pilar.

Nyaman sekali rasanya.

...

Tiba-tiba ponsel Pilar berdering keras. Pilar pun terbangun. Matanya terbuka dan dia mendapati dirinya sedang memeluk gulingnya dengan erat. Rupanya kejadian tadi hanyalah memori yang hadir lewat mimpi. Pilar menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

Ponselnya masih saja berbunyi. Dia mengambilnya dari meja dan ternyata Kristallah yang menelepon. Pilar enggan menerimanya. Ponsel itu pun diletakkan lagi di meja dan Pilar kembali memeluk erat guling dan membenamkan kepalanya di sana.

Mbel

Hanya satu kata. Pilar sadar itu hanya mimpi, Pilar sadar itu hanya guling. Tapi Pilar enggan hidup di kenyataan.

#GerakanPelukGuling

***

Pilar sudah rapi. Dia sudah duduk di jok motornya. Jam di tangannya menunjukkan pukul 8.00.

Keraguan menyusup.

“Kemarin gue ketemu Mbel karena gue berangkat dari kosan jam 8.30. Apa hari ini gue berangkat jam 8.30 lagi aja ya? Siapa tahu ketemu lagi.”

Pilar sibuk menimbang-nimbang dalam hati.

“Tapi, siapa tahu kemarin juga cuma kebetulan doang. Mosok iya dia tiap hari berangkatnya siang. Emang kantor dia masuknya jam berapa?”

Pilar kembali melihat ke jam tangannya. Kini sudah pukul 08.05. “Aduh, kok gue malah jadi bengong sih? Udah ah, berangkat aja,” katanya dalam hati sambil menyalakan mesin motor.

Tibalah Pilar di titik di mana kemarin dia melihat Intan. Pilar menepi sebentar untuk memperhatikan motor-motor di belakang dia. Tidak ada Intan.

Pilar kembali ragu dan justru makin bertambah ragu. Haruskah dia menunggu di situ hingga jam yang sama dengan kemarin, atau jangan-jangan seharusnya dia melaju lebih cepat siapa tahu hari ini Intan berangkat lebih pagi dan saat ini dia sudah beberapa kilometer di depannya, atau…

Pilar benar-benar gila.

Selama di kantor pun dia tetap resah dan lagi-lagi satu hari bergulir hanya dengan fungsi mekanis; kerja, makan siang, kerja, pulang.

***

Teras samping kosan nenek selalu menjadi spot favorit Pilar karena sejuk dan jarang digunakan untuk menerima tamu. Malam ini pun dia kembali menghabiskan waktu di sana. Sambil merokok, Pilar browsing tentang hal-hal yang bisa memicu seseorang untuk memimpikan orang yang mereka dambakan.

“Get real, Man, gue kira browsing apaan,” suara Rian mengagetkan Pilar sampai membuat ponselnya jatuh.

“Dasar setan!” Pilar mengumpat kesal. “Permisi dulu kek. Nggak kelihatan nongolnya kapan tahu-tahu langsung kedengaran suaranya. Resek banget lu.”

Rian tertawa sambil duduk di kursi di sebelah Pilar dan melanjutkan mengejek, “Don’t tell me you still can’t get over her.”

“Berisik lu ah.” Pilar kesal.

“Oke, oke, oke, sori. Cerita dong, Man.”

“Nggak.”

“Ayo dong, siapa tau bisa bikin lu ngerasa lebih lega,” Rian membujuk.

Pilar diam saja. Dia malah menyalakan sebatang rokok lagi.

“Siapa namanya?” tanya Rian.

Pilar tetap diam.   

“Oh, come on, Man, tell me. What happened?”

“Takdir.”

“Maksudlu?” Rian tidak mengerti.

“Ya… Emang takdir aja. Jadinya dia minta putus. Terus, dia cabut dari hidup gue.”

Rian mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti dan jadi benar-benar penasaran. “Putusnya baru?”

“Iya.”

“Kapan?”

“Baru…” Pilar agak ragu untuk jujur kepada Rian, “Baru Maret kemarin.”

Rian berpikir, “Maret? Sekarang kan Februari. Berarti… What? Hampir setahun? Gila! Ibu-ibu aja hamilnya cuma sembilan bulan, Man.” Rian benar-benar terkejut.

“Tuh, kan, berisik kan lu. Udah ah.” Pilar bangkit dari duduknya tapi ditarik oleh Rian sehingga dia terduduk kembali.

“Iya, iya, sori, sori, sori. Santai dong, Man, gue bukannya ngeledek, cuma… ya… gue kaget aja.”

Pilar tetap diam.

“Man, lu nggak bakal bisa lupain dia kalau lu nggak cari cewek lain. Itu kan ada si Kristal. Embat aja. Dia cakep, terus udah jelas dia naksir sama elu. Jadi lu udah nggak perlu capek-capek lagi pedekate. Taiklah itu semua.”

“Nggak ah,” jawab Pilar singkat.

“Come on. Kurang apa lagi sih dia? Emang teteknya kurang gede? tanya Rian sambil kedua tangannya menengadah di depan dadanya.

“Astaga, segala tetek lu bawa-bawa. Jadi setan nafsu amat sih lu.” Pilar kesal.

Rian langsung berdiri di depan Pilar, “Man, nafsu itu emang temannya setan. Gak belajar agama nih anak.

Pilar tertawa kecil.

“Oke, kalau nggak Kristal, si itu aja tuh, teman kantor lu yang duduknya di sebelah lu.”

“Fina?” Pilar memastikan.

“Nah! Fina. Dia juga cakep dan naksir elu.”

“Ngaco lu.” Pilar menyanggah.

“Lho, gue serius, Man. Mana ada cewek yang roknya ketumpahan kopi tapi malah mesem-mesem happy gitu? Udah jelas banget, Man, dia naksir elu.”

Pilar mengembuskan asap rokoknya, “Fina emang cakep, baik, dan gue nyambung ngobrol sama dia. Tapi…”

“Apa?” Rian mendesak.

Pilar hanya menggeleng.

“For God Sake, segitu cintanya lu ya sama mantan lu?”

Pilar mengangguk.

“You haven’t told me her name. Siapa namanya?”

“Intan,” jawab Pilar.

“Lihat dong fotonya,” pinta Rian.

“Buat apaan sih? Di meja di kamar gue kan ada,” Pilar mengelak.

“Di foto itu mukanya nggak jelas, orang dia nyium lu dari belakang gitu.”

“Ck.” Pilar mendecak tapi dia tetap membuka galeri foto dan menjulurkan ponselnya agar bisa dilihat bersama dengan Rian. Di dalam ponsel itu masih tersimpan satu folder khusus yang penuh dengan foto-foto Intan. “Nih.” 

“Whoa!” Rian langsung terpukau melihat foto-foto Intan. “Okay, this is hard to beat. She’s so… Dia nggak cuma cantik tapi kelihatan… apa ya… warm. Does that make sense?”

Pilar mengangguk.

“Oke, listen, gue nggak pernah punya pacar, tapi gue selalu punya cewek. And believe me, itu bikin hidup kita lebih gampang. So at least lu cari fuck body atau apa kek, biar lu nggak lesu banget gini.”

“Fuck body, fuck body. Sembarangan aja lu.” Pilar kesal.

“I’m serious, Man.”

“Udah jangan bawel ah, besok gue nggak jadi ke tempat bokap lu nih,” Pilar mengancam dan Rian langsung tutup mulut.

***

Sesuai rencana, Sabtu pagi ini Pilar datang menemui Papa Rian. Kini mereka sudah berada di ruang tamu. Kalimat demi kalimat yang harus disampaikan sudah disiapkan, tapi Pilar dan Rian tetap tegang. Rian mondar-mandir dengan gelisah sedangkan Pilar berkali-kali menarik napas panjang berusaha menenangkan diri. Pilar melihat sekeliling ruang tamu. Tak satu pun foto keluarga terpajang di sana. Bangunan mewah ini tidak terasa seperti rumah.

Papa Rian keluar dari kamarnya sambil membawa tablet. Pilar langsung berdiri untuk menyapanya dengan santun, tapi Papa Rian hanya mengangguk dingin sambil terus berjalan ke arah pintu depan. Sama sekali tak ada basa-basi atau sekadar menawarkan minum. Papa Rian persis seperti yang digambarkan Rian; hemat bicara, hemat senyum.

Setelah di dalam mobil, meski sama-sama duduk di kursi belakang tapi Pilar kesulitan untuk memulai percakapan, apalagi dengan adanya supir rasanya tak mungkin Pilar langsung mengatakan bahwa dia ingin menyampaikan pesan dari almarhum putranya.

Rian duduk di kursi depan di samping supir. Dia makin gelisah menunggu Pilar untuk mulai membuka obrolan. Dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan bagi Pilar untuk mendapatkan kepercayaan Papanya. “Man, lu harus ngomong sekarang juga. Right now! Bokap gue bukan tipe orang yang mau ngasih kesempatan kedua. Dia malah bakal BT dan curiga lu mau manfaatin dia kalau besok-besok lu minta ketemuan lagi.” Rian mulai mendesak.

Pilar sedikit kesal karena didesak seperti itu, tapi dia memahami kegelisahan temannya. Pilar memutar otak mencoba mencari bahan pembicaraan.

“Om kantornya di mana?” tanya Pilar.

“Sudirman.” Papa Rian menjawab singkat tanpa dibubuhi keterangan lebih lanjut.

“Kalau saya di daerah kuningan.” Pilar menjelaskan tanpa ditanya.

Papa Rian tidak menggubris. Dia malah mengambil tablet dari panel penyimpanan di sisi pintu mobil, lalu membaca artikel. Jelas tidak ingin diganggu.

Pilar menelan ludah menghadapi sikap dingin Papa Rian. Suasana tetap kaku. Mereka tidak mengobrol hingga tiba di makam Rian.

***

Pilar dan Papa Rian berjongkok di depan makam Rian, sedangkan Riannya sendiri berdiri di belakang nisannya.

Tau nggak, Mbel? Rasanya aneh banget ziarah ke makam orang dan mendoakan orang itu, sedangkan kita bisa dengan jelas ngelihat arwah dari orang yang kita doakan lagi berdiri di dekat nisannya dan kelihatannya dia baik-baik aja.”

Man, say something,” teguran Rian membuyarkan lamunan Pilar.

Pilar menengok ke arah Papa Rian yang berjongkok di dekat nisan. Sorot mata Papa Rian yang biasanya terlihat tajam, kini layu saat dia menatap nisan Rian.

Pilar merasa iba. Selama ini Pilar tidak terlalu menanggapi tiap kali Rian bercerita tentang bagaimana papanya mengurung diri di kamar dan menangis. Tapi kali ini dia benar-benar mengerti dalamnya luka itu.

Pilar memutar otak. Dia tahu dia harus memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati, tidak boleh salah bicara satu kata pun dan tidak boleh terlalu bertele-tele. “Saya masih nggak percaya kalau Rian udah nggak ada, Om. Dia teman baik saya. Saya kehilangan dia banget. Tapi pasti Om jauh lebih ngerasa kehilangan.

Papa Rian menundukkan pandangannya. Tulang pipinya mendadak tampak menonjol karena dia mengatupkan kedua rahangnya dengan keras saat mencoba menghalau kesedihan. Dia mengatur napasnya, berusaha untuk tetap kuat dan tidak menangis di depan orang lain. Kemudian, sambil mengusap nama Rian di nisannya, Papa Rian berkata, “It’s okay, Son.”

Pilar menengok ke arah Rian dan mendapati air mata temannya mengalir deras.  Rian mengucap terima kasih kepada Pilar dan Pilar membalasnya dengan senyuman. Lalu perlahan Pilar berdiri dan berjalan menyusul Papa Rian kembali ke mobil. Tapi kali ini Rian tidak ikut. Dia tetap berdiri di dekat nisannya.

Dua orang yang awalnya selalu bertengkar ini telah menjadi akrab dalam waktu singkat dan kini harus berpisah.

***

Urusan dengan Rian sudah selesai. Pilar juga tidak mengira akan semudah ini. Untung saja Papa Rian tidak banyak bertanya. Pasti akan sangat rumit kalau sampai harus menjelaskan bahwa arwah Rianlah yang mengirim Pilar untuk menemui Papanya.

Andai tadi kamu ada di sana, Mbel. Rasanya magis banget. Ya nggak persis seperti di film-film sih. Aku nggak ngelihat ada cahaya putih yang ngejemput Rian atau hal yang semacam itu, tapi.. Tapi rasanya tuh magis banget aja.

Aku senang udah bisa ngebantu Rian. Walau bawel dan resek tapi dia bukan orang jahat. Semoga dia tenang di sana dan semoga papanya juga baik-baik aja.

Pilar dan Intan terbiasa saling berbagi cerita tentang apa pun juga. Sulit sekali bagi Pilar untuk lepas dari kebiasaan itu. Tapi kadang dia bertanya-tanya, “Sulit jugakah bagi Intan?”

Tak bisa dimungkiri, pikiran untuk mengecek sosial media milik Intan sesekali memang menggoda. Itu sebabnya begitu putus, Pilar langsung meng-unfriend Intan dari Facebook. Tapi langkah itu dia ambil bukan atas dasar kemarahan apalagi kebencian. Bukan pula atas dasar keberanian untuk melanjutkan hidup. Itu dia lakukan justru karena dia pengecut. Terlalu takut suatu saat mendapati status Intan berganti menjadi ‘is married to’. Bahkan Pilar sempat mempertimbangkan untuk menghapus nomor telepon Intan dari ponselnya, karena mungkin suatu saat nanti foto profilnya menampilkan wajah Intan berbahagia dalam pelukan orang lain.

Jika itu terjadi, Pilar tidak akan bisa mengatakan “I’m happy for you.”  

Pilar kembali kepada rutinitas akhir pekannya; merindukan Intan. Padahal, saat mereka masih bersama, akhir pekan selalu menyenangkan.

Malam minggu pertama yang mereka habiskan bersama terjadi lebih dari empat tahun lalu. Itu bukan kencan. Meski saling tertarik, tapi mereka belum berpacaran. Pilar tidak ingin terburu-buru. Dia tidak mau sekadar menjadi yang terpilih di antara sekian peminat. Dia ingin menjadi yang dipercaya dan diyakini oleh Intan kalau mereka memang serasi.

Malam itu mereka lalui dengan menonton Ted. Film tentang boneka beruang yang bertingkah seperti pria dewasa itu sangat lucu dan menghibur. Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Pilar sangat suka menonton film dan senang rasanya mengetahui selera Intan soal film tidak berbeda dengan dirinya.

Selesai menonton, Intan pergi ke toilet. Pilar menunggu tak berapa jauh dari situ. Pilar mulai resah memperhatikan arlojinya karena Intan tak juga keluar dari toilet. “Kenapa sih cewek kalau ke toilet nggak pernah bisa cepat?” gerutu Pilar dalam hati.

Lima belas menit kemudian Intan keluar dari toilet. Pilar langsung mengajaknya pulang dan Intan merasa Pilar berjalan terburu-buru. Wajah Pilar pun terlihat sedikit cemas.

Pikiran Intan menjadi kacau. Dia curiga Pilar buru-buru mengajaknya pulang agar bisa pergi bertemu wanita lain. Pengalaman pahit Intan dengan pria sebelumnya membuat Intan mudah cemburu. Intan berdebat dengan pikirannya sendiri tentang apakah sebaiknya dia menanyakan hal itu langsung pada Pilar atau berpura-pura tidak menyadarinya tapi segera menjauh dari Pilar di keesokan hari. Cari aman sebelum benar-benar mencintai.

Motor melaju agak cepat. Setibanya di rumah Intan, hal pertama yang Pilar lakukan adalah mengecek arlojinya. “Yes, belum setengah sebelas,” seru Pilar. “Maaf ya aku buru-buru. Tadi sebelum berangkat, sambil nunggu kamu turun, aku janji ke papamu buat antar kamu pulang maksimal jam setengah sebelas.”

Hati Intan meleleh mendengarnya. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya tanpa permisi. Membuatnya merona. Dia tidak hanya menjadi lega karena kecurigaannya terbantahkan, tapi juga merasa sangat terkesan. Baru kali ini ada orang yang memberanikan diri meminta izin langsung kepada papanya. Intan sadar papanya bukan orang yang mudah diajak mengobrol. Bukan karena papanya galak tapi karena papanya cenderung diam dan asyik sendiri dengan perkutut peliharaannya dan tanaman-tanaman kesayangannya.

Sejak malam itu, Pilar dan Intan makin tak terpisahkan. Tak pernah ada tanggal pasti yang bisa diberi label sebagai tanggal jadian. Semuanya mengalir saja. Selama empat tahun, ratusan judul film mereka tonton bersama, beberapa konser mereka datangi, beragam tempat makan mereka cicipi.

Tapi kini..

Sabtu malam. Sendirian. Di kamar kosan.

Menyedihkan sekali si bodoh ini.

Pilar menggonta-ganti saluran TV tapi tak menemukan satu pun acara yang menarik yang bisa menghiburnya di malam minggu yang membosankan ini.

“Man.”

“Anjing!” Pilar refleks berteriak. Dia sangat kaget Rian muncul mendadak seperti itu. Bukankah dia sudah kembali ke alamnya? Jantung Pilar berdebar kencang, napasnya tak beraturan. “Udah gue bilang jangan suka nongol tiba-tiba!” Pilar menjadi kesal.

Rian hanya diam. Tidak sejahil dan sebawel biasanya. Malah Rian terlihat lebih pucat. Raut wajahnya sedih. “Gue masih di sini, Man.”

Pilar tidak bicara. Dia masih terheran-heran.

“Apanya yang salah ya, Man?” Rian melanjutkan.

Melihat Rian sangat sedih, Pilar melunak, “Ngerokok di teras samping aja yuk,” ajak Pilar.

***

“There was no cahaya putih, atau malaikat kematian atau.. apaan kek. Nggak ada. Gue nunggu, nunggu, nunggu. Nothing.” Rian terdengar frustasi.

Pilar tidak cepat merespon. Dia juga bingung di mana letak kesalahannya. Rokok diisap dalam dan asapnya diembuskan amat perlahan. “Gimana kalau ternyata yang bikin elu ketahan di dunia ini bukan bokap lu? Mungkin salah satu cewek yang pernah dekat sama lu, teman band lu? Atau… lu ada janji ke orang?

Rian tidak menjawab. Menoleh pun tidak. Pandangannya hanya lurus ke bawah.

“Gue nggak tau gimana caranya bantuin elu.” Pilar mengatakannya dengan penuh penyesalan.

“No, no.. don’t give up. Lu harus bantuin gue, Man. Waktu gue tinggal 22 hari lagi.” Rian makin mendesak.

“Gue bukannya nggak mau, gue nggak bisa. Gue nggak ngerti gimana caranya.” Pilar berbicara agak keras untuk menegaskan kepada Rian.

Suara Pilar terdengar ke dalam. Mbak Mar dan Nenek yang sedang menonton televisi saling menengok bingung.

“Mas Pilar kok sekarang suka ngomong sendiri ya, Nek? Jangan-jangan stres.”

Nenek menghela napas, “Intan gimana kabarnya ya, Mar? Dia pasti sedih kalau tau Pilar sekarang jadi kayak gitu?”

Mbak Mar langsung mengecek ponselnya. Layaknya asisten rumah tangga zaman sekarang, Mbak Mar juga up to date dengan sosial media. “Kalau saya lihat di sosmednya sih, Mbak Intan malah lagi asyik nonton di bioskop nih, Nek. Mbak Mar menyodorkan ponselnya agar Nenek bisa melihat sendiri sosmed Intan yang menampilkan tiket bioskop dan popcorn caramel kesukaannya.

“Mbak Intan udah punya pacar lain kali ya, Nek?” tanya Mbak Mar.

Nenek hanya memalingkan pandangannya ke arah teras. Iba.

...

Pilar membakar satu batang rokok lagi. Keningnya mengerut. Berpikir keras.

Rian tertunduk lesu. Dia tahu Pilar telah berusaha membantunya. Tapi dia tidak ingin Pilar menyerah karena dia tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa.

“Apa kita tanya ke Bang Markum aja ya?” Pilar tiba-tiba mencetuskan ide.

“Ah, jangan ah. Gue ngeri sama dia.” Rian menolak.

“Ya itu karena belum kenal aja kali. Gue pertama kali lihat elu juga takut. Lagi pula yang setan kan elu. Suka lupa jati diri deh lu.”

“Man, I dont think it’s a good idea.” Rian sangat enggan.

Pilar mengembuskan napas. Sedikit frustasi.

...

Menit demi menit berlalu tanpa ada yang bicara. Mereka sama-sama mencoba menemukan letak permasalahannya. Kalau Papa Rian sudah ikhlas, kenapa Rian masih belum juga diterima di akhirat? Apa yang luput?

Tak juga ditemukan jawabannya.

***

Selimut tersibak kencang. Pilar kesal karena belum juga bisa tidur. Padahal sebentar lagi matahari muncul.

AC dimatikan. Pilar bangun dari kasurnya, membuka lemari, memakai sweter bertudung, celana joging, dan mengikat tali sepatu.

Lari.

Entah cara apa lagi yang bisa membantunya mengurai semua kepenatan ini. Pilar tahu dia punya hak untuk tidak peduli pada masalah Rian. Toh dia sudah berusaha membantu. Bukan salah dia kalau ternyata tidak berhasil. Kenapa dia harus pusing-pusing memikirkan masalah orang lain sedangkan dia sendiri memiliki masalah yang membuat sakit di hatinya masih tak tertahankan?

Pilar terus berlari. Keringat membanjir. Paru-parunya terisi udara segar pagi hari.

Mbel, gimana caranya supaya aku bisa bantu Rian?

Dan itulah yang terlintas. Meski rindu setengah hidup kepada Intan, tapi sisi dirinya yang lain tidak bisa tidak acuh terhadap teman barunya. Rupanya bagi Pilar menjadi egois itu sulit.

Kamu tau, kan Mbel? Aku nggak pernah punya indra keenam. Ini pertama kalinya. Dan semoga ini terakhir kalinya. Keluargaku juga nggak ada yang punya indra keenam. Terus kenapa tiba-tiba aku bisa ngelihat Rian?

Dan cuma Rian. Aku nggak bisa lihat arwah lain.

Fakta itu terasa menyentak. Dia hanya bisa melihat dan mendengar Rian. Tidak yang lainnya. Dia memang harus membantu Rian.

Saat Pilar kembali ke rumah kos, matahari sudah bersinar terang. Nenek sedang belanja sayuran di depan rumah dan Mbak Mar sedang membereskan selang seusai menyiram tanaman. Melihat Pilar pulang dari lari pagi dengan air muka kemerahan dan sweter tudung abu-abunya menjadi seperti berwarna hitam karena basah keringat, Nenek dan Mbak Mar saling lirik keheranan, tapi tak ada yang berani berkomentar. Tidak biasanya Pilar lari pagi seperti itu.

Pilar tahu mereka memandanginya dan mencemaskannya. Hanya senyum kecil yang bisa Pilar tawarkan dan semoga senyum itu bisa mewakili rasa terima kasih Pilar atas kebaikan dan perhatian mereka.

***

Pilar terbangun karena ketukan pintu yang cukup keras. Sejak kembali dari lari pagi, Pilar sama sekali tidak keluar kamar. Tidak untuk makan, bahkan tidak untuk ke toilet. Nenek jadi cemas dan menyuruh Mbak Mar membangunkannya.

Sekujur badannya langsung terasa ngilu begitu dia bergerak. Kepalanya sedikit pusing. Pilar memaksakan diri berjalan membuka pintu agar Mbak Mar tahu dia sudah bangun dan baik-baik saja. Ya, setidaknya dia tidak mati karena minum obat nyamuk atau menggores nadinya jika itu yang Nenek cemaskan.

Sekarang sudah maghrib. Sweter bertudung dan celana joggingnya menggeletak di lantai. Dia baru ingat sekarang. Pulang dari lari pagi dia langsung masuk kamar, copot sepatu, buka sweter dan celana jogging, minum dari botol yang ada di meja, menyalakan musik, lalu… Lalu tahu-tahu Mbak Mar mengetuk pintu membangunkannya. Berarti dia tidak mandi, tidak makan. Pantas saja badannya seperti kehabisan tenaga.

*** 

Tekad Pilar sudah bulat. Dia harus berusaha lebih keras untuk membantu Rian.

Namun, sejak malam setelah mereka kembali dari makamnya, Rian tak lagi muncul di depan Pilar. Mungkin Rian sudah putus asa dan merasa Pilar tidak akan bisa membantunya. Jadi kini harus Pilar yang aktif berusaha mencarinya dan Pilar yakin Rian pasti berada di dekat papanya. Itu sebabnya, walau sedang tidak enak badan, Pilar tetap pergi ke Dusk9 untuk berusaha mencari Rian.

...

Malam ini lebih ramai dibandingkan beberapa hari lalu ketika Pilar pertama kali datang. Pilar berjalan mengelilingi kafe mencari Papa Rian tapi tidak ditemukannya.

“Pilar?”

Pilar menengok saat mendengar suara seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang. Sama sekali tak terpikir olehnya di sana akan ada Kristal. Wanita cantik yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya itu terlupakan begitu saja.

“Hai.” Pilar berusaha terlihat wajar.

“Lu nggak pernah nelpon balik. Gue pikir gue nggak akan pernah ngelihat lu lagi. But here you are.”

Pilar mencoba mengingat obrolan mereka via telepon waktu itu dan Pilar sangat yakin dia tidak pernah berjanji akan menelepon balik. Tapi dari gelagatnya sepertinya Kristal mengira Pilar khusus datang ke Dusk9 untuk bertemu dengannya. Pilar tidak sampai hati untuk jujur. Jadi yang Pilar katakan adalah, “Iya, sori nggak ngabarin.”

        ...

      Kristal mengajaknya mengobrol di sebuah meja. “Lemon tea 2, ya” kata Kristal kepada pelayan sambil sedikit tersenyum meledek Pilar.

“Ngeledek?” tanya Pilar sambil tersenyum.

“Nggak. Lagi pengen aja,” sanggah Kristal.

Selama mereka mengobrol di meja tersebut, Kristal berinisiatif untuk menceritakan tentang dirinya. Ternyata dia bukan bartender. Justru dia adalah anak pemilik Dusk9. Usianya baru 28 tahun. Setahun lebih muda daripada Intan. Setelah dia menyelesaikan kuliahnya di jurusan bisnis di Amerika, Papinya yang bule itu menyuruh Kristal mengurus Dusk9 sebagai langkah awal sebelum nantinya dipercaya memegang bisnis lainnya.

“Pantes aja gayanya bule banget. Cewek Indonesia mana berani ngajak kenalan duluan dan agresif begini,” pikir Pilar dalam hati.

“Enough about me, lu cerita dong soal elu,” pinta Kristal.

“Gue kagum lho. Meskipun elu anaknya owner tapi lu benar-benar kerja dan turun tangan. Terus, ini kan hari minggu tapi lu di sini. Bisa aja kan lu pergi ke mana kek sama teman-teman lu.” Pilar tidak suka mem-bicarakan dirinya. Dia sengaja mengarahkan obrolan kembali tentang Kristal.

“Heii.., gue bukan daddy’s little girl yang bisanya minta uang doang.”

“Hahaha.. oke, gue percaya.”

“Jangan sengaja ngalihin obrolan deh. Kan gue minta lu cerita soal diri lu.” Kristal kembali mengarahkan obrolan.

“Hmm.. Gue di sini ngekos. Keluarga gue di Jogja.

“Terus?” desak Kristal.

 “Terus… gue punya satu adik. Cowok juga. Bokap udah wafat tujuh tahun lalu. Jadi, nyokap berduaan aja sama adik gue.”

“Sorry to hear that.”

Pilar hanya tersenyum dan tidak berniat men-ceritakan apa pun lagi. Tapi Kristal rupanya memang ingin mengenalnya lebih dekat. “Tell me about her,” lanjut Kristal.

“Ceritain apa lagi ya? Nyokap ya.., ibu rumah tangga.”

“No. Bukan nyokap. Her. Yang bikin elu janji gak akan minum alkohol lagi.”

Wajah Pilar langsung berubah. Kapan pun memikirkan atau membicarakan tentang Intan matanya menyala, senyumnya hadir di sudut bibir, tapi sedih itu juga hadir di raut wajahnya dan sesak di dadanya selalu membuatnya harus menarik napas dalam. Pilar hanya mengetuk-ngetuk jarinya ke gelas ice lemon tea.

“Nggak usah dijawab, deh. I can see how much you love her.”

Pilar tersenyum dan dari senyum itu Kristal tahu jawabannya, “Ya”.

“Tapi kasih tahu dong satu hal ini.” Kristal belum menyerah.

“Apa?”

Lu putusnya kapan?”

Pilar tidak langsung menjawab. Bukan karena malu atau khawatir dianggap lemah, tapi karena luka itu menganga setiap kali teringat pagi buta saat Intan memutuskan hubungan mereka.

Pilar mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya, menyalakan sebatang, mengisap racun-racunnya, “Bulan depan setahun,” jawab Pilar.

“Wow!” Kristal benar-benar terkejut. “You cheat on her did you?”

“Hah? Kenapa lu mikir kayak gitu?” Pilar kesal dengan pertanyaan yang asal dilontarkan seperti itu.

“Sorry, sorry.. Gue nggak bermaksud nuduh. But I have to say.. Hampir setahun? Itu lama banget lho. Berarti.. lebih dari 330 hari.”

Pilar mengangguk dan berbicara pelan, “Ya, lumayan lama.”

“Jadi, bukan karena elu selingkuh?” Kristal masih ragu.

Bukan. Gue serius sama dia.” Pilar menjawab apa adanya dan itu membuat Kristal terdiam beberapa saat. Kristal kaget mendapati rasa cemburu yang tiba-tiba muncul di hatinya.

“Sekali lagi sori ya gue nanya sembarangan kayak tadi. Gue cuma.., kaget banget aja. Gue pikir lu belum bisa move on karena lu dulu selingkuh dan akhirnya diputusin dan itu bikin lu nyesal. I must have sound so sceptical to you. Kristal merasa bodoh.

Emosi Pilar mereda. Dia paham cinta seperti cintanya untuk Intan memang barang langka. Itu yang membuat Kristal berprasangka.

“So.., sejak putus lu belum punya pacar lagi?”

Pilar mengangguk.

“Sekadar Rebound Girl?”

Pilar tersenyum sinis, “Nggak adil buat siapa pun kalau dijadiin pelarian doang.”

“Jutaan cowok lain pasti langsung cari Rebound Girl. Another object to love or merely to… fuck. Pardon my language. But you..” Kristal tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia tidak menemukan kata-kata. Hanya diam memandangi Pilar. Kagum. Iri. Mendamba.

Pilar mengenali tatapan mata yang seperti itu dan dia merasa tidak nyaman mendapatkannya dari selain Intan.

“Give me a chance,” pinta Kristal tiba-tiba.

Pilar benar-benar heran. “Lu tau gue cinta sama dia. Jadi, sebenarnya kesempatan apa yang lu minta?”

“Apa kurang jelas sinyal-sinyalnya kalau dari awal gue tertarik sama elu? Come on, take advantage. Siapa tahu kita cocok. Kalau nggak cocok, ya.. I’ll just be your Rebound Girl and I’m not gonna hate you for that.”

Pilar menggeleng, “Jangan bodoh, itu nggak adil buat elu.”

“Bodoh itu kalau aku nyerah tanpa usaha.” Mendadak Kristal memutuskan untuk mengubah kata ganti dirinya menjadi ‘Aku’.

Pilar tidak merespon. Hanya melanjutkan merokok.

“I know what I’m getting myself into, okay. Aku paham kok kamu nggak ngejanjiin apa-apa. Tapi aku pasti bisa menangin kamu,” Mata Kristal menyala penuh semangat dan keyakinan.

...

Aku-kamu.. terdengar salah jika bukan dalam percakapan dengan Intan.

***

Pagi ini di kantor, teman-teman Pilar terlihat kasak-kusuk di sekitar meja Pilar. Tapi mereka langsung bubar dan kembali ke meja masing-masing ketika salah satu dari mereka berdeham memberi sinyal bahwa Pilar sudah datang.  

Sebuah paket menyerupai kotak makan tergeletak di meja Pilar. Tapi yang membuat paket itu menarik perhatian adalah karena di atasnya dihiasi setangkai mawar biru segar dan disertai kartu.

“Ini gue lagi dikerjain sama anak-anak, ya?” tanya Pilar pada Fina.

“Bukan anak-anak kok. Tadi ada kurir yang nganter ke sini.” Fina berusaha tidak terdengar cemburu walau ekspresi wajahnya cukup kentara.

Pilar langsung tahu paket ini dari Kristal. Tapi teman-temannya pasti mengira ini dari Intan. Dulu Intan memang selalu menyediakan sarapan atau buah untuk Pilar. Paket itu dibuka. Isinya nasi goreng dengan lauk ayam goreng, kornet, sosis, telur dadar, telur ceplok.

Pilar menunduk membaca pesan yang tertulis di kartu, “Aku belum tau apa yang kamu suka dan apa yang kamu nggak suka. Jadi aku kasih aja semuanya. Yang dimakan yang kamu suka aja. Tapi makan ya. Semalam kamu pucat.”

Pilar tersenyum melihat usaha Kristal dan perhatiannya. Lalu, dia kembali mendongak. Teman-temannya yang sedari tadi diam-diam melongok dari meja masing-masing karena penasaran pun langsung berpura-pura kerja.

Pilar mengambil ponsel dari kantong celananya untuk mengirim pesan teks ke Kristal untuk berterima kasih, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia tidak mau membuat Kristal salah sangka dan merasa punya kesempatan.

“Makan yuk, Fin.”

“Thanks, gue udah sarapan. Lu kok pucat sih?”

“Iya nih, masuk angin berat gue.”

“Oo...” Fina berusaha fokus bekerja, tapi dia tidak bisa menahan dirinya dan pertanyaan ini langsung meluncur dari mulutnya, “Itu dari Intan?”

Pilar terlihat kaget mendengar pertanyaan itu dan Fina langsung menyesali kelancangannya. “Eh sori ya, kok gue jadi kepo,wajah Fina memerah.

“Bukan,” jawab Pilar sambil mengeluarkan senyum yang dipaksakan. “Intan gak mungkin kasih telor ceplok dan telor dadar, Intan paham banget apa yang gue suka dan nggak,” Pilar melanjutkan dalam hati.

Fina terhibur mengetahui paket itu bukan dari Intan. Tapi.., berarti ada wanita lain yang sedang dekat dengan Pilar, dan wanita itu tak pernah dirinya. Padahal Fina selalu ada di sebelahnya. Benar-benar di sebelahnya.

...

Pilar sedang makan sambil mulai bekerja saat Indri lewat. Melihat Indri, Pilar jadi teringat soal Rian karena beberapa hari lalu Rian pernah melotot memandangi belahan dada Indri.

Akhirnya, demi Rian, Pilar menjeda sarapannya, mengambil ponselnya, lalu meninggalkan meja menuju balkon untuk menelepon Kristal.

“Hei.”

Hi there!” Kristal sangat gembira menerima telepon dari Pilar.

“Thanks ya sarapannya.”

“Suka nggak?”

“Suka. Makasih ya,” jawab Pilar singkat. Dia enggan tebuka. Lagi pula sebenarnya dia menelepon hanya untuk mencari informasi tentang Papa Rian. Tapi, sebelum Pilar sempat bertanya, Kristal kembali melancarkan jurus pendekatannya.

“Kalau mawar birunya suka nggak?”

“Baru kali ini sih gue ngelihat ada mawar warna biru.”

“Iya, emang langka. Susah banget lho itu carinya.” Kristal malah membanggakan dirinya. “Kamu tahu nggak mawar biru artinya apa?”

“Nggak tau.”

“Mawar biru itu unik dan langka. Kayak kamu. Unik dan langka. It also means, nothing is impossible. Jadi, walaupun sekarang kayaknya masih imposible for you to forget about her, but there’s always hope.”

“Hehe…” Pilar tertawa kikuk. Bingung mau merespon seperti apa. Jadi, dia memutuskan untuk langsung ke pokok permasalahan saja, “Eh, lu kenal Om Bram nggak sih? Dia sering banget kok ke Dusk9.”

“I know my loyal customers. Especially Om Bram. Bram Winanta. Tapi aku manggilnya Om Win. Dia rekan bisnis Papiku. Udah sekitar enam tahun inilah mereka kerja sama. Kadang mereka golf bareng juga. Aku lihat kamu ngobrol sama dia waktu pertama kamu datang ke Dusk9. Baru deh aku sadar yang kamu maksud Om Bram itu Om Win. Emangnya kenapa sih kok nyariin dia terus?”

“Gue mau nyampein pesan aja dari anaknya.”

“Rian? Bukannya dia udah meninggal?” Kristal terdengar kaget.

Pilar senang mendengar reaksi itu karena itu tandanya Kristal mengenal Papa Rian dengan baik dan dia orang yang tepat untuk dimintai info.

“Iya, ada hal yang dia ceritain ke gue sebelum meninggal.” Pilar langsung membelokkan fakta. “Tapi gue nggak mungkin langsung ngomong begitu aja. Lu pasti taulah hal kayak gini sensitif banget. Jadi gue butuh.. mm.. apa ya.. gue butuh info dulu soal Om Bram, soal hubungan dia sama almarhum Rian, dan… ya, soal macam-macamlah, supaya gue bisa pelan-pelan dapatin kepercayaan dia dan bisa jelasin semuanya ke dia.”

“How can I help?” tanya Kristal.

Dan Pilar membenci dirinya sendiri karena memanfaatkan Kristal.

***

Kini justru Pilar yang tidak sabar ingin bertemu Rian untuk memberi tahu kabar gembira soal informan mereka. Andai setan bisa punya ponsel, pasti komunikasi mereka bisa lebih mudah.

Setelah merapikan materi syuting untuk besok, Pilar langsung bergegas pulang. Tapi di perjalanan, langit makin mendung, kilat mulai menyambar, dan tak lama kemudian hujan deras turun. Pilar menepi, lalu turun dari motornya untuk memakai jas hujan dan memasukkan tas selempangnya yang hanya berisi dompet, ponsel, charger, dan flashdisk ke bagasi motor. Ketika bagasi motor dibuka dan Pilar mengeluarkan jas hujannya, dia melihat sarung tangan berwarna magenta yang biasa dipakai Intan.

“Kamu di mana, Mbel? Hujan. Jangan malas pakai jas hujannya ya, nanti kamu sakit.”

Pilar malah mencemaskan kesehatan Intan padahal justru dia sendiri yang sedang tidak enak badan.

Hujan turun tanpa ampun. Gigi Pilar gemeretak kedinginan, dia mulai batuk-batuk dan kepalanya terasa berat. Tapi dia tidak langsung pulang.

Laju motor perlahan melambat dan akhirnya berhenti di depan rumah Intan. Pilar mendongakkan kepalanya dan melihat lampu di kamar Intan di lantai atas sudah menyala. Artinya Intan sudah pulang. Pilar merasa lebih tenang.

Saat pandangan matanya kembali merunduk, dia melihat dirinya datang naik motor dari arah berlawanan.

...

Waktu itu hujan juga turun sama derasnya dengan malam ini. Tapi dengan senang hati Pilar menembusnya untuk membelikan Hoka-Hoka Bento dan susu Bear Brand kesukaan Ibu Intan. Dulu, Intan menunggu di teras dan begitu melihat motor Pilar mendekat, Intan berlari membukakan pagar, tidak peduli ikut menjadi basah kehujanan.

Setelah motor masuk di bagian dalam pagar, Pilar menyerahkan makanan itu kepada Intan, tapi Intan tidak langsung menerimanya. Dia malah membantu Pilar membuka helmnya dan mencium lembut bibir Pilar di bawah hujan.

Itu dulu.

***

Sesampainya di rumah kos, Pilar benar-benar lemas. Batuknya makin sering dan pusingnya makin menjadi-jadi. Dia lekas ganti baju, mengeringkan tubuhnya, lalu membuat teh hangat.

Malam ini dia tidak menyalakan AC, tapi tubuhnya menggigil kedinginan. Dia bersembunyi di balik selimut tebalnya. Inginnya segera terlelap, tapi tidur bukan hal mudah sejak tak lagi mendapat ucapan selamat tidur dari Intan.

Suatu hari beberapa tahun lalu, Pilar dan Intan sama-sama kehujanan dalam perjalanan menuju bioskop. Meski Pilar sudah berhasil membujuk Intan untuk memakai jas hujan, tetap saja mereka sedikit basah. Suhu bioskop membuat mereka makin kedinginan. Walau mereka bukan tipe pasangan yang memanfaatkan suasana gelap dalam bioskop untuk bermesraan, tapi hari itu di sepanjang film mereka berdua berpelukan, saling menghangatkan.

“Nabung! Nggak usah beli yang bukan kebutuhan. Simpan uangnya biar bisa beli mobil. Supaya Mbel nggak kehujanan dan supaya rambut kecenya nggak langsung berantakan lagi gara-gara pakai helm tiap kali dia abis dari salon.”

Itulah tekad yang diam-diam Pilar buat hari itu.

“Tapi sampai hari ini, aku masih aja pakai motor bututku. Ya.. mungkin nggak salah kalau kamu pergi. Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik.”

***

Mbak Mar baru saja selesai mengepel rumah saat disadarinya motor Pilar masih bertengger di garasi dan ditutupi jas hujan. Mbak Mar mengecek jam di dinding dapur. Sudah pukul 9:30. Biasanya Pilar sudah berangkat.

Mbak Mar mengetuk pintu kamar Pilar, “Mas Pilar, nggak ngantor? Udah setengah sepuluh lho ini.” Mbak Mar mencoba hingga beberapa kali, tapi belum juga ada jawaban.

Malah Nenek yang keluar dari kamarnya karena mendengar suara Mbak Mar makin lama makin kencang. “Kenapa, Mar?” tanya Nenek.

“Mas Pilar kayaknya kesiangan, Nek. Motornya masih ada di garasi. Terus kayaknya semalam Mas Pilar kehujanan. Jas hujannya masih agak basah itu di motor.”

Nenek mendekat, “Pilar,” panggil Nenek sambil mengetuk pintu. Nenek memiliki firasat kurang baik jadi Nenek memutuskan untuk membuka saja pintu itu dan ternyata tidak dikunci. Nenek dan Mbak Mar masuk untuk memeriksa keadaan Pilar. Mereka mendapatinya masih tidur berselimut. Tapi wajahnya pucat dan berkeringat.

“Bikin teh manis panas, Mbak. Sama ambil kain untuk kompres,” suruh Nenek pada Mbak Mar.

...

Pilar terbangun saat Nenek mengganti kompresan di keningnya. Entah sudah berapa lama Nenek berada di kamarnya dan merawatnya. Tirai kamar sudah disibak, jendela juga dibuka sehingga ada angin segar.

“Minum dulu.” Pilar menurut saja waktu Nenek menyorongkan segelas teh manis hangat.

“Nenek panggilin dokter ya.”

“Nggak usah, Nek. Aku cuma perlu istirahat aja, kok.”

“Ya udah, dimakan dulu itu buburnya.”

Pilar menengok ke arah yang ditunjuk Nenek. Tak jauh dari kasurnya, Nenek sudah menyediakan meja kecil yang diatasnya tersedia bubur ayam, air putih, dan baskom untuk kompres. Pilar merasa sangat tidak enak hati. Sudah enam tahun dia tinggal di rumah kos ini tapi baru kali ini dia sampai merepotkan.

“Pintu kamarmu nggak usah ditutup biar gampang panggil Nenek atau Mbak Mar kalau butuh apa-apa. Ya?”

Pilar mengangguk, “Makasih, Nek.”

Beberapa langkah sebelum mendekati pintu, Nenek berbalik dan bertanya, “Intan tahu kamu sakit?”

Pilar kaget ditanya seperti itu. Tapi wajah kagetnya tak lama berubah menjadi raut sedih dan Nenek bisa menduga jawabannya.

“Waktu Intan sakit, kamu sampai cuti kerja,” kata Nenek sambil membalik badan dan berjalan keluar kamar.

...

Tahun lalu Intan terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit selama enam hari.

Tanpa perlu berpikir panjang, Pilar mengajukan cuti agar bisa menginap di rumah sakit untuk menemani Intan. Pilar terus mendampinginya, bahkan sampai tertidur dalam posisi duduk di samping ranjang sambil terus mengusap Intan agar dia bisa tidur nyenyak.

Tiap pagi, Ibu Intan datang untuk bergantian menjaga, dan Pilar akan pamit pulang, beristirahat sebentar, lalu mengerjakan pekerjaan sambilan untuk mencari uang tambahan agar bisa membantu biaya rumah sakit Intan. Semua dengan senang hati dilakukannya.

Tapi, setelah Intan sembuh dan sudah bisa kembali beraktivitas, segalanya mulai berubah. Perlahan sikap Intan menjadi dingin. Tidak lagi memeluk dari belakang kalau sedang dibonceng di motor, tidak lagi bercanda dan bermanja lewat pesan teks, dan menghindari kontak mata dengan Pilar. Semua perubahan itu dengan cepat disadari oleh Pilar. Tapi dia tidak mau berpikir buruk. Dia tetap bersabar dan menganggap Intan hanya perlu memulihkan semangatnya yang merosot gara-gara sakit kemarin.

Suatu malam sepulang kantor, mereka membeli lauk untuk dimakan bersama di rumah Intan. Tidak ada yang istimewa. Mereka memang hampir setiap hari melakukannya. Tapi malam itu akhirnya Intan kembali memeluk Pilar. Erat sekali. Intan benar-benar membenamkan kepalanya di bahu Pilar. Rasa lelah yang Pilar rasakan sejak pontang-panting menjaga Intan di rumah sakit dan mengerjakan pekerjaan sambilan, lenyap saat itu juga. Lalu Pilar mencium kening Intan, “I love you.”

“I love you too,” jawab Intan.

Dan malam itu sebelum tidur, Intan melengkapinya dengan mengirim pesan teks dan stiker Lois Lane mencium Superman. Hidup terasa ringan. Lengkap.

Tapi… Pukul 04:12 pagi harinya, Pilar terbangun karena notifikasi pesan teks yang bertubi-tubi. Walau tidak biasanya Intan mengirim pesan teks sepagi itu, tapi insting Pilar mengatakan itu pasti Intan. Rasa cemas langsung menyergap. Pilar mengusir kantuknya dan langsung menyabet ponselnya. Semoga bukan karena Intan sakit lagi, semoga dia baik-baik saja, semoga bukan berita buruk.

DELAPAN BELAS PESAN TEKS. Semuanya dalam kalimat pendek yang intinya menjelaskan keinginan Intan untuk mengakhiri hubungan mereka. Singkat, padat, jelas.

Cara yang luar biasa untuk cepat terjaga.

Pilar membacanya lagi. Kalimat per kalimat. Satu demi satu. Faktanya, sejak awal dia tidak salah baca. Intan minta putus. Dalam 18 pesan singkat itu, Intan menjelaskan alasan yang membuatnya tiba pada keputusannya. Dan Pilar hanya diam. Tidak bergerak. Tidak berkedip. Benar-benar diam.

Kenapa, Mbel? Baru juga semalam akhirnya kamu bilang “I love you” lagi ke aku. Baru juga semalam sikapmu normal lagi ke aku. Tapi pagi ini tiba-tiba…

Pilar berusaha mengenyahkan kenangan buruk itu. Dia menguatkan dirinya untuk duduk agar bisa makan. Kepalanya berputar hebat dan tenggorokannya sangat kering. Perlahan bubur itu dilahapnya. Dia harus makan. Tak mau jadi lebih merepotkan.

Jam dinding di ruang tengah terdengar berbunyi 11 kali. Pilar baru ingat dia harus mengabarkan ke kantor bahwa dia tidak bisa masuk kerja hari ini. Dia mencari-cari ponselnya, tapi tidak ketemu.

“Mas Pilar, HP-nya ketinggalan di motor, ya? Kayak ada suara telpon,” kata Mbak Mar dari depan pintu.

“Oiya, Mbak. Lupa saya.”

Pilar bergerak pelan berusaha turun dari kasur untuk mengambil ponselnya, tapi segera dicegah Mbak Mar yang tidak tega melihatnya, “Saya ambilin aja, Mas. Kunci motornya di mana?”

Pilar tidak berusaha menolak bantuan itu karena badannya memang terasa sangat lemas.

Lima menit kemudian Mbak Mar datang mem-bawakan tas dan juga sarung tangan magenta yang biasa dipakai Intan. Semua yang ada di bagasi dibawa tanpa kecuali. Pilar pasrah saja menerima benda-benda itu, “Makasih ya Mbak. Maaf ngerepotin banget.”

“Cepat sembuh, ya Mas. Jangan banyak pikiran.”

Pilar tersenyum. Kebaikan Nenek dan Mbak Mar membuat Pilar tidak merasa jauh dari rumah.

Ponsel Pilar sudah hampir kehabisan baterai. Dayanya tinggal 8%. Mau tidak mau, Pilar benar-benar turun dari kasurnya untuk mengisi daya ponselnya. Dia duduk di kursi kamarnya sambil membaca semua pesan WhatsApp yang masuk. Atasannya menanyakan kenapa dirinya tak ada kabar. Rekan-rekannya juga menanyakan materi syuting hari ini. Salah satu yang menanyakan kabarnya adalah Fina, “Lu nggak masuk? Sakit, ya? Lagian makannya nggak teratur sih. Getwelsun, ya.”

Pilar menjawab semua pesan teks itu satu per satu.

Selain soal pekerjaan, ada tujuh panggilan tak terjawab dari Kristal dan beberapa pesan WhatsApp juga darinya; “Tadi aku kirim brunch. Tapi kurirnya laporan ke aku, katanya kamu nggak masuk. Si kurir juga laporan, kata temanmu kayaknya kamu sakit. Kamu di mana? Please answer my call. I’m worried.”

Pilar ragu untuk menjawab atau menelepon balik. Dinilai dari karakternya, Kristal pasti memaksa untuk datang. Pilar enggan basa-basi. Tidak ada tenaga untuk itu. Tapi… dia memang butuh bantuan dan rasanya sangat sungkan merepotkan Nenek dan Mbak Mar lagi. Baru saja Pilar mau membalas, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Kristal. Mungkin dia melihat pesan WhatsApp yang tadi dikirimnya sudah centang biru, jadi dia lekas menelepon.

“Hey, are you okay?”

“Nggak apa-apa kok. Cuma flu aja. Sori ya, HP kelupaan ditaruh di bagasi motor.”

“Kosan kamu di mana? Aku ke sana. Mau dibawain apa?”

...

Satu setengah jam kemudian Kristal sampai. Pilar menjemputnya di teras, lalu mengajaknya masuk untuk bertemu Nenek dan meminta izin agar Kristal dibolehkan masuk ke kamarnya, “Nek, kenalin, ini Kristal.”

Senyum cerah hadir di wajah Nenek saat menjabat uluran tangan Kristal. “Akhirnya Pilar memperkenalkan gadis lain,” mungkin itu yang ada di pikiran Nenek.

“Boleh nggak Nek, kalau Kristal ngobrol sebentar di kamarku?”  

“Boleh. Biar cepat sembuh kalau ada yang nengokin.” Nenek masih tersenyum cerah. Tapi senyum itu segera sirna dari wajah Nenek ketika melihat Pilar tidak nyaman saat Kristal menggandeng lengannya.

Setelah Pilar dan Kristal masuk ke kamar, Mbak Mar mendekati Nenek dan bertanya dengan semangat, “Itu pacar baru Mas Pilar, Nek?”

“Bukan,” jawab Nenek dengan yakin.

***

Kristal membawakan banyak sekali makanan dan buah. Dia meletakkannya di meja dan dia langsung menyadari ada foto Intan di sana. Tanpa permisi, Kristal mengambil foto itu dan memandanginya.

Pilar hanya diam sambil duduk di pinggir kasurnya. Dia tahu mungkin menyakitkan bagi Kristal untuk melihat foto Intan berada di sana.

Kristal lekas mencoba menghalau rasa cemburu yang menusuk di dadanya. Dia meletakkan kembali foto itu dan menarik kursi untuk duduk di samping kasur Pilar dan mengalihkan topik, “Nenek kos kamu baik banget, ya. Kayaknya dia peduli banget sama kamu.”

Pilar tersenyum, “Iya, bubur itu juga Nenek yang beliin.”

“Kok nggak dihabisin? Aku suapin ya,” kata Kristal sambil mengambil mangkok dari meja kecil.

Tapi Pilar langsung menolak, “Gue makan sendiri aja,” katanya sambil meminta mangkok bubur itu dari tangan Kristal.

Pilar tidak mau ada tangan selain tangan ibunya dan Intan yang menyuapinya. Ya, dulu Intan memang sering menyuapi Pilar kalau dia sedang sibuk bekerja sampai lupa makan atau saat dia sekadar sedang manja.

Mata Kristal tertuju pada sesuatu. Pilar melihat ke arah yang dilihat oleh Kristal; sarung tangan motor berwarna magenta milik Intan.

“Aku antar ke rumah sakit yuk. Kamu dirawat di sana aja biar lebih cepat sembuhnya.” Walau Kristal berusaha terdengar meyakinkan, tapi Pilar tahu Kristal hanya ingin dirinya keluar dari kamar yang berisi benda-benda yang mengingatkannya pada mantan kekasihnya.

“Gak usah. Gue cuma perlu istirahat aja kok.”

***

Jakarta sedang macet. Itu bukan hal baru. Tapi Kristal menginjak gas mobilnya hingga menderu seperti ingin balapan. Padahal setiap kali bergerak, paling dia hanya bisa maju beberapa meter saja dan sebenarnya dia tidak sedang terburu-buru untuk tiba di suatu tempat. Emosinya sedang tidak stabil.

“Warnanya magenta. Itu nggak mungkin punya kamu. It’s hers isn’t it?” Kristal berbicara sendiri di mobil dan dia marah pada dirinya sendiri karena dia tahu dia tidak punya hak untuk cemburu apalagi untuk marah.

***

Keesokannya Pilar sudah cukup kuat untuk bekerja. Sebelum ke kantor, dia berniat untuk mampir ke rumah Papa Rian. Tapi dari luar pagar dia bisa melihat mobil Papa Rian sudah tidak ada di garasi, berarti dia sudah berangkat dan kemungkinan Rian juga tidak ada di situ.

Ntar malam gue coba ke Dusk9 lagi aja deh,” pikir Pilar dalam hati.

***

Fina adalah orang pertama yang menyadari kedatangan Pilar saat dia memasuki ruang kerja mereka. Senyum itu menyambutnya.

“Udah sehat?” tanya Fina.

Pilar mengepal tangan kanannya dan meng-angkatnya setinggi bahu untuk memamerkan ototnya.

“Syukur deh, gue senang lu masuk. Eh, maksudnya jadi gue gak sendirian buat meeting nanti siang.” Fina segera mengoreksi maksudnya.

“Meeting apa?”

“Buat produk alat-alat olahraga gitu deh. Dapat klien baru. Anak merchandising ke sana duluan. Kita disuruh nyusul jam 1-an. Gue udah dikasih alamatnya.”

“Oke. By the way, thanks ya Fin udah ngeback-up materi yang kemarin.”

Fina membalasnya dengan senyuman, “Jangan sakit lagi, ya.”

“Janji. Gue udah cukup ngerepotin banyak orang kemarin. Elu, orang-orang di kosan, sama..”

Kalimat Pilar tidak selesai karena ponselnya berdering. Fina sedikit melirik berusaha melihat nama penelepon di layar ponsel Pilar, tapi tulisannya terlalu kecil. Jadi, diam-diam, sambil pura-pura fokus kerja, Fina menguping. Dia ingin tahu apakah si penelepon itu Intan.

“Hi Noah Calhoun,sapa Kristal di ujung telepon.

“Hah?” Pilar tidak mengerti kenapa Kristal me-manggilnya Noah Calhoun.

“Kamu itu Noah Calhoun, Ryan Gosling di film Notebook. A true lover.”

“Hehe.. aneh-aneh aja lu.”

Mendengar Pilar menggunakan kata sapaan “Elu”, Fina menahan senyumnya. Itu artinya si penelepon bukan Intan, karena dengan Intan, Pilar pasti menggunakan Aku-Kamu. Tapi Fina belum sepenuhnya senang karena entah kenapa dia yakin penelepon itu seorang perempuan. Mungkinkah itu perempuan yang kemarin mengirimkan sarapan untuk Pilar?

“Udah lebih enak badannya?” tanya Kristal.

“Udah. Ini malah lagi mau siap-siap meeting.” “Loh, kamu kerja?”

“Iya.”

“Kenapa nggak istirahat dulu sih? Kemarin kamu demam banget gitu.”

“Ya itu kan kemarin. Sekarang udah nggak apa-apa kok.”

“Terus kamu ke kantornya naik motor?”

“Iya, kalau naik bis malah tambah capek. Macet.” jawab Pilar santai.

“Kamu kan baru sembuh, kalau naik motor nanti masuk angin lagi lho. Apalagi musim hujan gini. Aku kan bisa jemput and antar kamu.”

“Ah, gak perlu lah. Udah cukup ngerepotin elu seharian kemarin.”

Raut wajah Fina berubah masam. Ada rasa cemburu mengetahui kemarin ada seseorang yang beruntung yang bisa berada di samping Pilar saat dia sakit.

“Kristal, sori ya, gue harus siap-siap meeting nih. Kerjaan juga lumayan numpuk karena kemarin gue nggak masuk.”

“Ya udah, makannya jangan telat ya. Take care.”

“Oke.” Pilar menjawab singkat, malas bermanis-manis.

Fina jadi tahu nama wanita itu. Kristal. Ironis sekali. Habis Intan, kemudian datang Kristal.

***

Pilar dan Fina berangkat untuk meeting di kantor klien baru mereka. Seperti biasa, Pilar yang mengemudikan mobil Fina. Pilar menyalakan musik berirama cepat untuk mencairkan suasana tanpa perlu banyak mengobrol. Sejak Pilar tahu Intan sedikit cemburu pada Fina, Pilar selalu seperti itu setiap kali berduaan dengan Fina di mobil; membatasi keperluan mengobrol.

...

Siang itu sama dengan hari ini, Pilar dan Fina sedang menuju lokasi meeting. Tiba-tiba notifikasi pesan teks di ponsel Pilar berbunyi.

Yang lain nggak ikut?” tanya Intan.

“Maksudnya?”

“Ya kamu kan timnya berlima. Kok perginya sama Fina doang?

Ya nggaklah, mosok lima-limanya pergi. Siapa dong yang jaga kandang? Jadi aku sama Fina doang. Kamu udah mam?”

Lalu Intan membalas dengan emoticon yang meng-gambarkan bad mood.

“Kok BT?” tanya Pilar bingung.

“Kamu mah, ah.”

“Loh? Apa sih, Mbel?”

“Gapapa. Sebel aja ngebayangin dia girang pergi berduaan sama kamu.”

Pilar langsung tertawa membaca pesan teks itu dan membuat Fina yang duduk di sebelahnya keheranan. Tapi Fina tidak berkomentar. Dia tahu itu pasti Intan, karena hanya Intan yang membuat mata Pilar menyala seperti itu.

...

Fina memang menarik. Parasnya manis dan tubuhnya mungil. Selain itu, dia juga cerdas dan sangat mudah diajak bicara tentang apa pun. Tapi sesungguhnya Intan sama sekali tidak perlu cemburu pada Fina atau pada siapa pun juga. Karena bagi Pilar hanya ada Intan. Dan hanya Intan. Meski begitu, senang rasanya mengetahui orang yang kita cintai takut kehilangan cinta kita.

Pilar benar-benar berusaha menjaga kepercayaan Intan. Setiap kali sedang tidak bersama kekasihnya itu, Pilar selalu memilih untuk mengobrol bersama teman-temannya yang lain. Siapa pun selain Fina.

Namun, sebagai rekan satu tim, obrolan berdua dengan Fina memang tidak bisa dihindari. Bahkan, dua tahun lalu Pilar harus dinas tiga hari dengan Fina ke Singapur. Walau Pilar tahu Intan tidak akan marah dan pasti mengerti, tapi Pilar tetap memilih untuk mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Intan.

“Aku sedih kamu tinggal dinas,” begitu kata Intan kala itu.

Karena itu sesibuk apa pun, Pilar pasti mengirim kabar dan tiap malam sebelum tidur, Pilar pasti menelepon Intan. Pilar benar-benar tidak mau membuat Intan cemas dan berpikir yang bukan-bukan. Bahkan, begitu selesai dinas pun, walau badan sangat lelah karena meeting tak berkesudahan selama di Singapur, dari bandara Pilar langsung ke rumah Intan.

...

Seperti kata Kristal beberapa waktu lalu, 330 hari memang waktu yang lama. Tapi Pilar tetap ingat semua itu dan tetap menjaga sikap walau Intan sudah entah ke mana.

***

Pukul 21.30 Pilar tiba di Dusk9. Bartender menyikut lengan Kristal saat melihat Pilar berjalan mendekat.

“What are you doing here?”

“Ngidam lemon tea,” jawab Pilar sambil bercanda.

Kristal keluar dari belakang bar lalu duduk di bangku di samping Pilar. Lalu Kristal memegang dahi Pilar untuk mengecek suhu tubuhnya, tapi Pilar sedikit mundur karena merasa tidak nyaman. Kristal tidak mengira hal sepele itu akan dianggap lancang sampai Pilar harus menghindar seperti itu. Kristal menarik kembali tangannya.

“Gue udah sehat kok.”

Kristal tersenyum kecil mencoba menjinakkan rasa kecewanya atas sikap Pilar tadi. “Kamu udah makan?”

“Udah, tadi di kantor. Sambil lembur bareng teman-teman.”

Bartender menyajikan lemon tea di depan Pilar. Dia meminumnya sambil matanya memindai seisi ruangan mencari Rian dan Papanya. Kristal jadi sadar tujuan Pilar datang ke Dusk9 bukanlah untuk menemui dirinya, tapi untuk mencari Papa Rian.

“Di sana,” kata Kristal sambil menunjuk satu meja.

Pilar menengok ke arah yang ditunjuk oleh Kristal dan di sanalah dia melihat Rian berada. Duduk berseberangan dengan Papanya yang sedang ditemani wanita seksi. Rian terlihat begitu lesu, kusut, dan kian pucat. Kepalanya terus menunduk seperti anak penurut yang sedang dimarahi orang tuanya.

“Malam Om.” Pilar menyapa Papa Rian. Om Bram dan Rian terkejut melihatnya.

“Malam,” jawab Papa Rian.

Tanpa dipersilakan, Pilar langsung ikut duduk di sebelah Rian. “Saya lagi ketemuan sama teman saya, kebetulan banget ngelihat Om di sini, jadi saya samperin aja. Nggak apa-apa kan, Om?” Pilar mencari-cari alasan.

“Hm”.

“Sebentar ya Om, ada telepon.” Pilar langsung mengeluarkan ponsel dari kantong celananya dan berpura-pura menerima telepon walau sebenarnya ponselnya tidak berdering maupun bergetar. “Eh Setan, kok lu udah lama nggak muncul?”

Rian menengok ke Pilar dan berusaha mencerna maksud Pilar.

“Gue ada informasi penting nih. Ntar datang ya.”

Rian berusaha memahami, Man, maksud lu gue?”

“Ya iyalah, teman gue yang setan kan elu doang. Hahaha.” Pilar berusaha senatural mungkin agar Om Bram tidak merasa ada yang aneh. “Pokoknya ntar datang ya.” Pilar pura-pura memberi jeda sebelum menutup percakapan telepon. “Sip. Bye.”

Lalu Pilar berlagak mematikan telepon dan memasukkannya kembali ke kantong celananya. “Om, maaf ya saya nggak bisa lama-lama. Saya ada janji sama teman saya.”

Om Bram terlihat bingung dengan sikap Pilar, tapi dia mempersilakan, “Ya.”

Pilar langsung pergi sebelum sikapnya makin terlihat aneh di depan Om Bram. Rian pun langsung mengekor di belakangnya.

“Kok cuma sebentar ngobrolnya?” tanya Kristal saat Pilar berjalan kembali ke arahnya.

Pilar berusaha mencari-cari alasan “Emm.. kan lu bilang harusnya gue istirahat dulu. Jadi, ya udah sebentar aja.”

Senyum langsung hadir di wajah Kristal karena merasa Pilar mau menuruti perkataannya dan Pilar langsung mengutuk dirinya karena tidak pandai mencari alasan yang lebih baik.

“Aku antar ya.”

“Nggak usah. Lu kan masih harus kerja.”

“Santai, I own this place, remember?”

“Katanya bukan Daddy’s little girl?”

Dan Kristal makin tersipu karena ternyata Pilar menyimak dan ingat apa yang pernah Kristal katakan.

“Gue pulang ya.” Pilar berjalan pergi meninggalkan Kristal yang masih tersipu.

Akhirnya jadian lu, Man, sama dia?” Rian langsung menyerbu dengan pertanyaannya.

Pilar tidak menjawab dan terus berjalan pergi. Tapi Rian tetap bertanya.

Lambat amat sih lu geraknya. Udah, jadiin aja. Eh, apa jangan-jangan lu udah ML ya sama dia? Gimana, Man? Mantep ya?” Rian terus mengoceh dan Pilar mulai jengah. Dia berjalan makin cepat tapi Rian terus mengimbangi langkahnya.

Saat mereka sampai di parkiran motor, situasi sedang sepi, Pilar langsung protes, “Kok jadi bawel lagi sih lu? Perasaan tadi lu kusut amat.”

“Ya kan gue ikut senang klo lu udah jadian sama tuh cewek. Seksi, Man. Terus, katanya lu ada info penting. Jadi, gue semangat lagi. Apaan infonya? Ha? Ha? Apaan?”

Berisik lu! Gua nggak jadi cerita nih?” Detik itu juga Rian langsung mengunci mulutnya dan langsung duduk manis di jok belakang motor Pilar.

***

Keheningan tidak berlangsung lama. Baru beberapa meter dari Dusk9, saat membonceng di motor, Rian menepuk pundak Pilar, “Man, kapan lu mau cerita?”

Pilar memutar kedua bola matanya. Memang sulit dipercaya ada setan sebawel ini.

“Kok diem aja sih lu? Masih belum boleh ngomong nih gue?”

Pilar langsung menghentikan motornya di sebuah taman sepi dan Rian langsung turun dari motor. Wajahnya berseri tak sabar mendengar informasi dari Pilar.

“Si Kristal cerita. Dia bilang, sebelum elu kecelakaan...” Pilar sengaja memberi jeda karena tahu Rian tidak akan suka mendengar kalimat-kalimat berikutnya. “…sorenya nyokap lu datang nyamperin bokap lu pas dia lagi main golf bareng bokapnya Kristal.”

Rian sangat terkejut.

“Katanya sih mereka debat lumayan lama, terus bokapnya Kristal sempat dengar nyokap lu bilang, kalau dia berhak ketemu elu karena elu anaknya.”

Rian gusar dan berkata kasar, “Ngapain tuh perempuan ganggu bokap gue lagi?”

“Lu tenang dulu. Siapa tau urusan lu sebenarnya sama nyokap lu bukan sama bokap lu.”

“Halah, gua nggak ada urusan sama dia! Nggak sudi gua!” Rian makin gusar. Dia berjalan mondar-mandir dengan cepat.

“Rian, menurut gue udah cukup jelas kalau bokap lu udah ikhlasin elu, tapi sampai sekarang lu masih nyangkut di sini. Jadi mungkin aja…”

“Diam lu, bangsat! Lu nggak tahu apa-apa soal perempuan itu!”

Pilar tersenyum sinis. “Emang taik lu ya. Elu yang maksa gue buat bantuin elu. Tapi sekalinya gue dapet petunjuk, lu nggak mau dengarin gue. Terserah elu lah.” Pilar memasang helmnya dan melaju dengan motornya.

***

Pilar membuka pintu kamar kosnya. Dia menduga Rian sudah ada di sana, melakukan kebiasannya, yaitu meminta Pilar memaafkannya karena telah berkata seenaknya dan kembali meminta Pilar membantunya. Tapi rupanya Pilar salah. Rian tidak ada di sana. Tampaknya memang sebesar itu kebencian Rian pada mamanya. Mungkin seharusnya Pilar tidak bersikap sekeras itu pada temannya. Mungkin luka hati Rian karena ditinggal pergi mamanya saat dia masih SD tetap menganga layaknya luka hati Pilar saat Intan memutuskan untuk pergi.

Intan, lagi-lagi Intan. Semuanya kembali pada Intan. Topik apa pun, berujung pada Intan.

Biasanya tiap kali Pilar kelelahan atau sedang memikirkan sesuatu, Intan akan memijit punggung Pilar atau mengusap bagian dada di atas jantung Pilar untuk menenangkannya. Namun, kini Pilar sering mendapati dirinya meletakkan tangannya sendiri di atas jantungnya dan membayangkan tangan Intan pun ada di situ.

HP Pilar berbunyi. Tapi Pilar tetap cuek berbaring di kasurnya. Dia malas mengangkatnya. Bahkan sekadar mengecek siapa peneleponnya pun dia enggan. Sudah pasti itu bukan Intan. Sudah sebelas bulan dering itu tak pernah dari Intan.

Paling yang nelpon teman-teman, atau soal kerjaan, atau mungkin Kristal. Kalau penting, nanti juga tuh orang bakal nelpon lagi.

***

Rian masih duduk seorang diri di tempat tadi Pilar meninggalkannya. Raut wajahnya dipenuhi kebencian, kedua matanya memandang tajam pada kejauhan, dahinya berkerut menahan amarah, rahangnya dikatupkan dengan kencang, kedua tangannya men-cengkeram erat di kursi taman.

Kenangan pahit itu hadir. Rian, yang kala itu masih kelas lima SD, baru saja pulang dari sekolah saat mendapati mamanya di pekarangan rumah sudah siap pergi sambil membawa koper dan beberapa tas. Rian benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi melihat air mata yang membanjir di wajah mamanya, Rian tahu ada yang tidak beres. “Mama mau ke mana? Mama kenapa, Ma?”

Mamanya tidak sanggup menjawab. Hanya pelukan erat yang Rian dapatkan. Dan tiba-tiba tangan kokoh Papa Rian mencengkeram lengannya dan melepaskan Rian dari pelukan mamanya. Rian berusaha memberontak, tapi papanya terlalu kuat dan Papa terus menariknya untuk segera masuk ke rumah.

“Rian, Mama sayang kamu, Nak. Mama sayang kamu.” Mama Rian terus meneriakkan kata-kata itu.

Rian pun tidak henti-hentinya mencoba mem-berontak ingin kembali mendekati mamanya. Tapi papanya benar-benar tidak kenal ampun. Rian terus ditarik hingga masuk ke dalam rumah dan pintu dibanting lalu dikunci oleh papanya. Rian hanya bisa menangis dan memandangi kepergian mamanya dari balik kaca.

***

Hari ini Pilar kurang bisa fokus bekerja. Beberapa kali dia celingukan sambil berharap Rian datang menemuinya. Kegelisahan Pilar sangat disadari oleh Fina. Bahkan saat ponsel Pilar berdering di meja, Fina yang lebih dulu menyadarinya.

“Ada telepon tuh,” Fina memberi tahu.

“Oh.” Pilar memajukan kepalanya dan melihat nama Kristal tertera di layar ponselnya. Namun, ponsel itu dibiarkan terus berdering.

“Pasukan Asam Lambung, udah jam 12 nih. Turun yuk, keburu penuh warungnya, ntar susah dapat kursi.” Edo sudah tidak sabar.

“Ayo, yuk, yuk.” Satu per satu teman-teman yang lain menyahut dan berdiri dari kursi kerja mereka masing-masing. Pilar dan Fina pun ikut berdiri.

Mereka berlima keluar dari pintu utama gedung kantor untuk menuju warung makan. Fina berjalan di samping Pilar sambil membahas email dari klien. Kulit Fina yang putih membuat rona di wajahnya tampak jelas tiap kali dia senang karena bisa mengobrol berdua Pilar. Namun, rona gembira itu perlahan pudar ketika suara seorang perempuan tiba-tiba memanggil Pilar.

“Pilar!”

Pilar, Fina, dan ketiga teman mereka menoleh ke arah suara.

“Lho, Kristal.” Pilar sangat terkejut melihat Kristal ada di situ.

Sembari berjalan cepat menghampiri Pilar, Kristal bertanya, “Kok dari tadi aku telepon nggak diangkat sih?”

“Emm.. handphone gue silent. Sori.” Pilar berbohong dan itu membuat Fina tersenyum menyadari bahwa yang tadi menelepon dan sengaja tidak diangkat oleh Pilar adalah perempuan bernama Kristal ini; perempuan yang ternyata tidak penting bagi Pilar.

Senyum kecil sinis di sudut bibir Fina tertangkap di mata Kristal yang cermat mengawasi keberadaan perempuan lain di samping Pilar.

“Emm.. Ada apa? Kenapa ke sini?”

“Ini.” Kristal menyorongkan kotak makan siang. “Bawain makan siang buat kamu.”

Pilar makin kikuk. “Tapi... gue udah janji mau makan bareng teman-teman. Ini kita lagi jalan mau ke warung.”

“Oh gitu? Ya udah nggak apa-apa. Ini bisa buat makan malam kamu kok. Sekarang makan bareng teman-temanmu aja. Yuk. Aku ikut, ya?” Kristal berkata tanpa malu.

“Hah? Emm.. Ee..”

“Iya Mbak, nggak apa-apa, ayo ikut aja.” Edo, yang berdiri beberapa langkah di depan Pilar dan Kristal, menyambar dan mempersilakan Kristal ikut.

Mereka berenam duduk mengelilingi meja warung makan. Kristal sangat ingin tahu nama perempuan yang tadi pipinya merona saat berjalan di samping Pilar. Karena itu, Kristal sengaja mengajak semua teman Pilar berkenalan hingga akhirnya dia pun berhasil tahu bahwa perempuan itu bernama Fina.

Padahal selain Fina, Uta juga ada di situ. Tapi Kristal bisa dengan peka membaca perempuan yang mana yang berpotensi menjegal langkahnya.

Walau ini pertama kalinya Kristal makan di sebuah warung makan yang sangat sederhana, dia melawan rasa tidak nyamannya demi memamerkan kedekatannya dengan Pilar. Tanpa diminta, dia membersihkan sendok-garpu dengan tisu lalu memberikannya kepada Pilar. Dia juga menuangkan sambal ke piring Pilar saat Pilar meminta tolong diambilkan mangkok sambal yang letaknya agak jauh darinya. “Segini aja ya sambalnya, kamu kan kemarin habis sakit.”

Pilar hanya diam. Dia tahu teman-temannya pasti mengira Kristal adalah pacar barunya dan dia tidak nyaman dengan dugaan itu. Namun, di saat yang sama, Pilar tidak bisa memungkiri bahwa dia butuh Kristal agar bisa membantu Rian. Mau tidak mau, Pilar bersabar menghadapi keagresifan Kristal.

...

Setelah selesai makan, Pilar mengantar Kristal kembali ke mobilnya, sedangkan teman-teman yang lain langsung kembali ke ruangan. Tangan kiri Pilar menenteng kantong plastik berisi kotak makan siang dari Kristal dan tangan kanannya sengaja dimasukkan ke kantong celana karena tidak ingin secara tidak sengaja bersenggolan dengan tangan Kristal. Tapi, Kristal tetap cuek menggandeng lengan Pilar. Walau jengah, lagi-lagi Pilar hanya diam. 

Kristal merasa peluangnya kian terbuka karena sejak tadi Pilar tidak menghindar ataupun mengelak. Itu sangat berbeda dengan sikap Pilar kepadanya beberapa hari lalu. Kristal tidak tahan untuk tidak tersenyum lebar dan menikmati momen ini.

“Malam ini kerja?” tanya Pilar kepada Kristal setelah Kristal duduk di belakang kemudi mobilnya dan membuka lebar kaca jendelanya.

“Mm.. bisa ya, bisa nggak sih. It depends. Kamu mau ngajak aku kencan?”

Pilar tertawa kecil, tapi langsung mengklarifikasi dengan memberi tahu tujuannya sebenarnya, “Gue butuh bantuan lu.”

“Soal Om Win lagi?

Bukan. Kali ini soal mantan istrinya,” jawab Pilar.

“What? Why?”

Emm... Pokoknya gue perlu tahu nama lengkap mantan istrinya Om Bram atau Om Win itulah. ”

Hm.. Papi tahu nggak, ya? Gimana ya?” Kristal berpikir sebentar lalu melanjutkan dengan bertanya, “Kalau aku gak bisa dapetin namanya, kita nggak jadi ketemuan nanti malam?” Kristal memastikan.

Pilar diam dan untungnya tanpa Pilar menjawab pun Kristal sudah bisa menduga jawabannya.

Tapi Kristal tidak gentar. “It’s okay, aku suka tantangan. I’ll find out,” ujar Kristal sambil menyalakan mesin mobilnya.

Pilar tersenyum dan dadah melambaikan tangan.

Walau sering dirasa mengganggu, tapi Pilar kagum pada rasa percaya diri Kristal yang sangat tinggi.

***

Pilar berjalan memasuki ruang kerjanya. Edo langsung menggoda, “Ini dia nih Don Juan kita. Gila. Cakep mulu pacarnya.”

Zidan juga langsung menimpali, “Iya, bisa aja nih Pilar. Akhirnya move on juga lu dari Intan.”

Begitu nama itu disebut, tanpa dikomando, seketika ruangan hening. Langkah Pilar pun sempat terhenti sebelum dia berlagak baik-baik saja dan melanjutkan jalan, lalu duduk di kursi kerjanya.

Edo menyikut Zidan. Mimik wajah Edo menunjukkan teguran keras kepadanya. Zidan juga langsung mengangguk-angguk meminta maaf karena menyadari seharusnya dia tidak perlu berbicara begitu.

Setidaknya teman-teman Pilar di satu ruangan itu paham, nama Intan sebaiknya tidak disebut-sebut di depan Pilar. Bukan karena Pilar benci, tapi karena muram selalu hadir saat nama itu disebut.

Fina memberanikan diri untuk benar-benar menoleh dan memperhatikan reaksi Pilar. Rasa sakitnya tidak berkurang walau kita sudah seringkali melihat orang yang kita idamkan merasa sedih karena merindukan orang selain kita. Tapi, apa daya kita kalau hati belum bisa diajak mencintai yang selain dia?

***

Kristal duduk di sebuah meja di dekat bar. Dia sedang mengerjakan materi presentasi pengembangan bisnis untuk diajukan ke papinya. Namun, sore ini dia tampak berbeda. Wajahnya terus dihiasi senyuman. Dia tidak bisa melawannya. Hatinya berbunga-bunga. Para stafnya pun menyadari hal itu dan diam-diam menertawakan atasan mereka yang sedang kasmaran.

Begitu ponselnya berbunyi, Kristal langsung mengeceknya. Sebuah pesan teks masuk, memberikan informasi tentang nama lengkap mantan istri Om Win.

“Yes!” Kristal sangat senang dan langsung menelepon Pilar.

“I got it,” kata Kristal tanpa basa-basi.

“Oh ya?” Pilar memastikan.

“Iya dong. Aku.” Kristal membanggakan dirinya sendiri.

“Siapa nama lengkapnya?”

“If I tell you now, nanti kamu cari-cari alasan buat batalin ketemuan.”

“Hehe, ya nggak gitu jugalah.”

“So? Nanti malam kamu ke sini atau aku ke kosanmu?” Kristal sangat antusias.

***

Pilar tidak ingin menemui Kristal di Dusk9 karena tidak ingin berpapasan atau terlihat oleh Rian yang kemungkinan besar mengekor Papanya di sana. Pilar ingin menggali informasi sebanyak-banyaknya dulu sebelum menemui Rian. Namun, Pilar juga tidak ingin meminta Kristal datang ke kosan karena tidak ingin membiasakan Nenek, Mbak Mar, dan Lela akan kehadiran Kristal.

Jadi, malam ini mereka bertemu di taman kota yang sejuk dan tidak terlalu ramai.

“You are such a romantic,” kata Kristal.

“Maksudnya?”

“Aku baru kali ini lho diajak ketemuan di taman begini. Biasanya orang tuh ngajak ketemuan di kafe, coffee shop, restoran…”

Pilar hanya tertawa. Sebenarnya Pilar hanya tidak ingin pertemuan ini terasa seperti kencan. Lagi pula sesak di hati dan kepala Pilar membuatnya butuh untuk sering berada di ruangan terbuka.

“Kamu udah makan?” tanya Kristal.

“Udah.”

“Oh iya, makan menu yang tadi siang aku bawain ya?”

“Iya.” Pilar berusaha tidak kikuk.

“Suka salmon mentainya?”

“Suka,” jawab Pilar singkat. Namun, dia langsung menyesali kebohongannya. Makanan itu Pilar berikan kepada office boy-nya tanpa tahu apa isi makanannya sebenarnya.

Tampak Kristal memaksakan sebuah senyuman sambil menundukkan pandangannya dan untuk sejenak Kristal tidak berbicara.

Pilar tahu dia sudah terjebak. Pasti makanan yang tadi Kristal bawakan bukan salmon mentai. Pilar tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu dia telah menyakiti perasaan Kristal. Untungnya Kristal tidak membiarkan kekecewaannya mengendalikan emosinya.

“Aku udah tahu nama lengkap mantan istrinya Om Win. Tapi, sebelum aku kasih tahu ke kamu, I want you to be honest. Ada apa sih sebenarnya?”

“Aduh, kasih syarat lain aja deh supaya lu mau ngasih tau namanya,” pinta Pilar.

“Okay… Kalau gitu… kiss me,” jawab Kristal tanpa malu dan sambil memajukan kepalanya mendekati kepala Pilar. Menanti.

Pilar kikuk. Dia menggeser duduknya sedikit menjauh, lalu berdeham.

Kristal sadar itu penolakan halus. Dia kembali memundurkan kepalanya dan menunduk untuk menutupi kekecewaannya. Pilar tidak tega melihatnya.

“Kristal, maaf, gue benar-benar nggak bisa cerita. Tapi sumpah gue sama sekali nggak ada niat jahat ke Om Bram dan gue nggak akan nyalah gunain info dari lu.”

Walau sangat kecewa dan menyadari dirinya benar-benar dimanfaatkan, Kristal tidak berani menghadapi kemungkinan dirinya akan benar-benar dijauhi oleh Pilar jika dia tidak memberitahukan nama mantan istri Om Win. Dia pun mengalah. “Oke. Namanya Lana Zetira,” jawab Kristal.

“Nah, gitu dong,” ujar Pilar. “Makasih, ya.”

“Enak aja makasih doang. Nothing is free, you know.”

“Hahaha… oke, Gue traktir yuk. Lu mau makan apa, di mana?” tanya Pilar.

***

Saat semalam Pilar mengatakan dia akan mentraktir Kristal dan mempersilakannya memilih menu dan tempat, Pilar sama sekali tidak menyangka Kristal akan memilih ditraktir makan siang di warung makan dekat kantor Pilar bersama teman-teman Pilar. Tekad Kristal untuk mendekatkan diri dengan teman-teman Pilar memang juara.

“Aduh,” begitu kata Pilar dalam hati sewaktu mendengar jawaban Kristal atas pertanyaannya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah terjebak dalam penawarannya sendiri.

...

Kristal datang 20 menit lebih cepat dari waktu istirahat makan siang, jadi Pilar memintanya menunggu di lobi gedung. Saat sedang duduk menunggu, Kristal melihat Edo lewat dan tanpa ragu dia langsung menyapanya, “Edo!”

“Eh, Kristal.”

“Baru datang?”

“Iya, gue tadi syuting di studio yang di Antasari dulu, terus baru ke sini deh.”

“Oh.”

 “Lu mau ketemu Pilar?” tanya Edo.

“Iya, mau makan siang bareng lagi rame-rame kayak kemarin. Boleh, kan?” Kristal sama sekali tidak canggung.

“Boleh, dong. Ikut ke atas aja yuk. Daripada nunggu di sini. Lumayan masih 15 menitan lagi.”

Kristal langsung tersenyum lebar.

...

Pilar sedang membahas sebuah konsep bersama Fina. Mereka tidak menyadari Kristal sudah berada di ruangan itu. Lagi-lagi Kristal bisa menangkap ada yang tidak biasa dari cara Fina menatap Pilar. Kecemburuan makin tersulut, tapi Kristal tetap diam.

“Oi, Pilar, ada Kristal nih,” kata Edo.

Pilar langsung menengok dan dia sangat kaget melihat Kristal sudah berdiri di situ. Begitu pula Fina. Tidak hanya kaget, rona di pipinya juga langsung gaib.

“Hei,” Pilar menyapa dengan sangat kikuk.

“Edo ngajak aku naik.” Kristal menjelaskan.

“Iya, daripada bengong di lobi.” Edo menyela.

“Oo...” Pilar masih kikuk.

Melihat Pilar kikuk, Edo langsung berinisiatif mengambilkan kursi untuk Kristal agar bisa duduk di dekat Pilar dan Fina. “Duduk dulu, Kristal,” kata Edo.

“Thanks, Do.”

“Wan, tolong ambilin minum buat Mbak Kristal, ya,” Edo pula yang berinisiatif meminta office boy untuk menyuguhkan minum bagi Kristal.

Pilar hanya diam. Tetap kikuk. “Mm…” Pilar benar-benar tidak tahu mau berkata apa. Dia menyadari beberapa teman sekantornya sesekali melirik ke arah Kristal dan berkasak-kusuk.

“Gue ke toilet dulu ya,” Fina memecah keheningan.

Namun, tanpa disangka-sangka Kristal malah minta ikut, “Ikut dong. Gue juga pengen ke toilet.”

Fina tidak bisa menyembunyikan rasa enggannya. Dia hanya memberi anggukan kecil tanpa mengeluarkan suara. Bahkan dia langsung membalik badan dan jalan lebih dulu.

Pilar menyadari itu, begitu pula Kristal. Tapi Kristal tidak ciut. Dia tetap senyum, bangkit dari kursinya, dan berjalan menyeimbangi Fina.

         ...

Fina keluar dari bilik toilet dan berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Kristal sudah lebih dulu berdiri di sana, sambil berkaca dan merapikan rambutnya. Dia tidak berkemih. Makin jelas bahwa dia hanya mencari-cari kesempatan untuk bisa berbicara dengan Fina.

“Fin, lu nggak apa-apa kan kalau gue ikut makan siang bareng lu dan teman-teman lu?” Kristal berterus terang.

“Maksudnya?”

“Sori ya, Fin, gue bukan orang yang pintar basa-basi, gue tahu lu suka sama Pilar, jadi kalau…”

“Kata siapa?” Fina langsung menyela tanpa mem-biarkan Kristal menyelesaikan kalimatnya. “Kata Pilar?”

“Nggak. Bahkan gue rasa Pilar nggak nyadar kalau lu suka sama dia. Tapi gue bisa tahu. Kelihatan.” Kristal menjelaskan.

Fina merasa terusik. Dia menyudahi cuci tangannya, lalu menghadapkan badannya ke Kristal. “Gue nggak ngerti nih maksud lu sebenarnya apa?”

“Ya, kita kan sama-sama suka nih sama Pilar, so, yeah… I hope we can have a fair game.” Kristal sama sekali tidak basa-basi dan membuat Fina makin kesal.

“Gue nggak pernah sedetik pun berusaha ngebentengin Pilar dari elu. Lagi pula, kalau emang gue mau dapetin Pilar, saingan gue bukan elu. Saingan gue tetap Intan. Asal lu tahu, ya, sampai sekarang pun gue masih sering ngelihat Pilar tiba-tiba diam, narik napas dalam-dalam, dan tanpa dia sadar dia bilang ke dirinya sendiri, ‘Nggak apa-apa.’ Kalau lu ngerasa Pilar baik sama elu, ya itu emang karena dia baik. Nggak lebih. Kita berdua ini nggak ada artinya buat Pilar. Jadi, gue saranin lu nggak usah GR dan nggak usah ganggu gue.”

Fina menuntaskan kalimat demi kalimat dengan lugas lalu pergi meninggalkan Kristal yang mendadak terdiam mendengar semua kata-kata menyakitkan itu.

“So, her name is Intan,” pikir Kristal dalam hati. “Is that really how much he still loves her?”

***

Malam ini Pilar kembali datang ke Dusk9. Dia sudah membekali dirinya dengan data-data yang cukup kuat untuk dijadikan bukti bahwa kemungkinan besar memang Mama Rianlah yang menjadi kunci agar Rian bisa berpulang dengan damai.

Pilar duduk di bar, tapi dia tidak melihat Kristal. Lantas dia mengedarkan pandangannya ke berbagai sudut. Kristal tetap tidak kelihatan. Saat pandangannya kembali ke arah bar, segelas ice lemon tea disajikan untuknya oleh seorang bartender pria. “Mbak Kristal nggak kerja malam ini. Dia lagi nggak enak badan. Tapi kita di sini semua udah dikasih tahu, kalau lu datang, kita disuruh langsung ngebuatin ice lemon tea,” si bartender itu menjelaskan.

“Oh… Oke, makasih, ya.”

Bartender itu hanya menggangguk santun dan hendak berjalan melayani tamu lain saat Pilar kembali memanggilnya, “Bro, Kristal sakit apa?” tanya Pilar.

“Gue nggak tahu. Dia cuma bilang nggak enak badan.”

“Oke. Thanks.”

Pilar bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Tadi siang sejak kembali dari toilet bersama Fina, sikap keduanya berubah; menjadi diam dan cemberut.

Pilar mengeluarkan ponsel dari kantong celananya dan hendak menelepon Kristal. Tapi dia ragu, takut disalahartikan, takut dikira mulai perhatian.

Saat masih menimbang-nimbang, Pilar melihat Rian dan Papanya memasuki Dusk9. Seketika perhatian Pilar teralihkan dari perkara menelepon Kristal. Pilar pun langsung bersiasat agar bisa mendapatkan perhatian Rian.

Pilar segera berdiri dan menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Papa Rian, “Malam, Om, apa kabar?”

Dahi Papa Rian berkerut melihat Pilar. Sepertinya dia mulai kurang suka karena Pilar sering tiba-tiba muncul di hadapannya. Bahkan uluran tangan Pilar tidak dipedulikan. Papa Rian hanya mengangguk dingin dan berjalan melewati Pilar. Tapi tidak apa, setidaknya Pilar jadi berhasil menarik perhatian Rian.

“Apaan lagi sih, Man? Kan gue udah bilang, kalau lu keseringan muncul depan bokap, dia bakal ngerasa aneh dan BT.”

Pilar segera menggunakan jurus ampuhnya untuk berkomunikasi dengan Rian tanpa membuat orang lain curiga, yaitu dengan pura-pura menelepon, “Halo. Ya, oke. Sip-sip. Kita ketemu di tempat gue sejam lagi ya.”

Pilar tidak menunggu respon Rian. Dia minum ice lemon tea yang sudah disajikan untuknya, mengucap terima kasih kepada bartender, dan langsung pergi dari sana.

***

Pilar dan Rian sudah duduk bersama di teras samping kosan Pilar. Tanpa basa-basi, Pilar langsung membuka laman Facebook Mama Rian dan memberikan ponselnya kepada Rian, “Lihat nih. Lu scroll terus aja sampai ke atas.”

Rian mengambil ponsel itu. Namun, baru melihat nama akunnya saja sudah membuat Rian kesal dan mau mengembalikan ponsel itu ke Pilar, “Apa-apaan sih lu, Man? Gue udah bilang, gue nggak mau ada urusan sama perempuan ini!”

Pilar kesal tapi tidak ingin terpancing marah. Dia mengembuskan napas perlahan untuk mengontrol emosinya, “Lu lihat dulu. Lihat baik-baik.”

Rian mengalah. Dia pun jadi penasaran sebenarnya apa isi Facebook mamanya sehingga Pilar bersikeras agar dia melihatnya.

Satu per satu unggahan di Facebook itu Rian baca. Raut wajahnya yang tadinya penuh kerutan dan tampak garang karena marah, perlahan melunak. Di dalam media sosial itu dia melihat sangat banyak foto dirinya waktu kecil. Foto-foto dari hasil kamera analog itu difoto ulang menggunakan kamera digital dan diunggah ke Facebook disertai ungkapan kerinduan seorang ibu kepada anaknya. Bahkan di tiap tanggal ulang tahun Rian, mamanya selalu membuat sketsa perkiraan wajah Rian sesuai dengan pertambahan usianya.

Rian terdiam. Sebenarnya hatinya tersentuh, tapi egonya masih terlalu tinggi untuk mengakuinya, “Lu pikir kalau gue lihat postingan-postingan ini gue bakal berubah pikiran? Percuma, Man. This doesn’t change the fact that she left me and my dad.”

“Mungkin dia punya alasan yang tepat. Mungkin seharusnya lu gak sebenci itu sama nyokaplu. Lagi pula, lu kan tau, surga di bawah telapak kaki ibu.” Pilar mengingatkan dengan baik, tapi Rian justru makin marah.

Rian langsung meletakkan ponsel Pilar dengan kasar ke meja, lalu berdiri dan berbicara dengan nada tinggi, “Dengar, ya! Ibu kayak dia nggak ada surga di telapak kakinya karena kakinya itu udah dipake buat nginjak-nginjak harga diri bokap gue pas dia mutusin untuk pergi!”

Pilar terpancing emosi. Dia juga sudah akan berbicara lantang, tapi dia teringat bahwa ada Nenek, dan orang-orang lain di dalam rumah. Oleh karena itu Pilar memilih diam sesaat hingga emosinya mereda dan bisa berbicara tanpa harus menyerang. “Rian, gue nggak akan maksa. Terserah lu aja. Tapi, kalau lu berubah pikiran, Sabtu besok gue bisa nemanin lu ke Panti Rahmah di Jalan Mustika.”

“Maksudlu?” tanya Rian.

“Tiap Sabtu postingan nyokap lu pasti tentang kegiatan-kegiatan dia di panti asuhan itu. Kita bisa nemuin dia di sana.”

“Ck!” Rian berdecak kesal.

“Rian, lu makin pucat. Suara lu juga agak serak sekarang. Kalau gue hitung-hitung, waktu lu tinggal 12 hari lagi kan? Pikirin baik-baik.” Pilar menasihati.

Rian yang sejak tadi berdiri berkacak pinggang, membalik badan dan membelakangi Pilar. Tak lama kemudian Rian menghilang.

Aku salah nggak sih, Mbel?

Aku jadi terlalu ikut campur, ya?

Kepada siapa lagi Pilar akan berbagi cerita kecuali kepada Intan?

Walau hanya sepihak dan tak pernah ada respon.

#KerabatRinduSepihak

***

Sabtu telah datang, tapi tetap tak ada kabar dari Rian.

“Ya udahlah. Yang penting gue udah usaha,” pikir Pilar dalam hati.

Namun, tanpa sepengetahuan Pilar, ternyata Rian mendatangi mamanya di panti asuhan yang kemarin disebut Pilar.

Rian melihat mamanya menyayangi puluhan anak panti, mengajarkan mereka menggambar, mengajak mereka bermain. Ada rasa iri dan kerinduan di hati Rian.

Kemudian Rian melihat mamanya solat dan berdoa menyebut namanya, "Ya Allah, aku rindu anakku. Di manakah dia? Tolong jaga dia. Aku tidak akan berhenti memohon kepadaMu Ya Allah, tolong pertemukan kami. Tolong izinkan aku memeluknya, mencintainya, merawatnya seperti dulu. Ya Allah, tolong beri aku umur, jangan wafatkan aku sebelum aku bisa bertemu dengan putraku, Ya Allah.”

Amarah yang selama ini Rian pelihara, seketika cair. Dia menyesali jutaan detik yang telah dia lalui dengan membenci mamanya. Dia sungguh tidak menyangka. Di satu sisi, mamanya selalu memohon diberi umur agar bisa bertemu dengannya, di sisi lain Rian justru wafat dalam keadaan masih membenci mamanya.

Rian menangis sejadi-jadinya. Dia berlari memeluk mamanya. Namun, tak disangka-sangka, pelukannya menembus bagaikan udara. Rian mengulanginya lagi, tapi tetap tidak bisa. Rian pun mencoba menggerakkan dan mengangkat benda-benda yang ada di ruangan itu, tapi hasilnya tetap sama; tidak bisa.

Ini terasa bagai hukuman telak. Rian jadi menyadari bahwa selama ini dia menyia-nyiakan kemampuannya menyentuh dan menggenggam dengan hanya menggunakannya untuk menjahili Pilar. Dan kini, saat dia sangat ingin memeluk mamanya, kemam-puannya itu telah direnggut darinya.

Rupanya Pilar benar. Sudah sedemikian peliklah kondisi Rian, sudah kian dekat batas waktunya dan kian menipis kesempatan yang dimilikinya.

***

Sejak saat itu, Rian mengikuti ke mana pun mamanya pergi. Rian jadi tahu di mana mamanya tinggal, dan dia melihat sendiri setiap sudut rumah itu dipenuhi dengan foto-foto masa kecilnya, dan bahwa mamanya selalu dengan sengaja mendekap dan menghirup aroma kaos Rian waktu kecil sebagai pengantar tidurnya.

Rian juga jadi tahu bahwa sejak pisah dari papanya, mamanya tidak pernah menikah lagi. Fakta itu bertolak belakang dari tuduhan papanya saat Rian kecil dulu, “Mamamu pasti punya laki-laki lain! Kalau enggak, mana mungkin dia jadi berani ngelawan papa? Dari dulu juga biasanya diam!” Begitulah kata papanya dulu.

“Udah, jangan nangis. Laki-laki nggak boleh cengeng. Kita bisa cari mama baru. Kamu mau yang seperti apa? Semua bisa dibeli!” Tragedi siang hari puluhan tahun lalu itu kembali hidup di kepala Rian. Tapi kini Rian menyaksikan sendiri bahwa papanya salah.

Mama bertahan seorang diri, mencari nafkah sebagai ilustrator buku cerita anak, dan mengisi akhir pekannya menjadi sukarelawan di panti asuhan. Bahkan sesekali mamanya juga mengajak anak-anak panti itu makan di restoran atau menonton film bersama di bioskop.

Makin hari Rian makin pucat dan lemah. Sangat berbeda dari sosok Rian yang biasanya energik. Dia tahu waktunya semakin dekat. Dia juga tahu bahwa agar rohnya bisa diterima di akhirat, dia harus meminta ampunan dan berpamitan kepada mamanya. Tapi Rian masih rindu dan masih ingin bersama mamanya. Dia terus menunda.

...

Suatu hari saat sedang mengikuti mamanya ke bioskop bersama anak-anak panti, Rian berpapasan dengan perempuan cantik. Dia mencoba mengingat-ngingat di mana dia pernah melihat perempuan itu.

“Oh iya, itu Intan. Mantannya Pilar.”

Rian sempat ragu apakah terus mengikuti mamanya atau mengikuti Intan. Tapi Rian tahu Pilar pasti senang kalau dia bisa memberinya informasi soal Intan. Jadi, untuk membalas kebaikan Pilar, Rian memutuskan untuk tidak mengikuti mamanya pulang dan malah balik lagi ke dalam bioskop untuk mengekor Intan.

Rian mengamati Intan dari dekat. Ternyata Intan tidak sendiri. Dia datang ke bioskop itu bersama seorang laki-laki.  Sambil menunggu jam pemutaran film, mereka duduk berhadapan di sebuah meja dan menikmati minuman mereka masing-masing.

Mereka terlihat masih agak canggung terhadap satu sama lain. Tapi kemudian laki-laki itu mem-beranikan diri bertanya, “Jadi, kamu udah siap kasih jawaban ke aku?”

Intan mengangguk malu.

“Apa jawabannya?”

“He-em.”

“He-em? Maksudnya, kamu mau?” Lelaki itu memastikan.

“Iya.” Intan menjawab lembut dan membuat lelaki itu tersenyum lebar lalu menggenggam tangan Intan.

Rian tertegun. Perempuan ini bukan siapa-siapa baginya, tapi perempuan ini segalanya bagi sahabatnya, dan kini dia menyaksikan perempuan ini menyerahkan hatinya untuk orang lain.

***

Karena lama tidak mendapat kabar dari Rian, Pilar mencoba mengalihkan perhatiannya dari segala kepenatan dengan cara lama, yaitu bekerja. Dia mengambil berbagai pekerjaan tambahan di luar jam kantor agar lelah dan lebih mudah tidur.

Pilar begitu sibuk bekerja sampai-sampai dia tidak sadar kalau Rian sudah ada di kamarnya dan berdiri di belakangnya. Karena itu Rian berdeham pelan, berusaha tidak mengagetkan Pilar.

Pilar langsung mengalihkan pandangannya dari laptop dan membalik badan ke arah suara. Dia sangat senang melihat Rian, “Ke mana aja, lu?”

Rian tersenyum kecil.

“Rian, lu makin pucat. Apa yang bisa gue bantu?” Pilar sangat prihatin.

“You’ve done so much more than you know, Man.”

“Ha?” Pilar tidak mengerti apa maksud Rian karena dia tidak merasa telah berhasil membantu.

“Gue udah nemuin nyokap.” Rian menjelaskan.

“Oh ya?”

“Belakangan ini gue ngikutin dia terus. Lu benar, Man. Nyokap gue nggak salah. Gila. Gue durhaka banget selama ini ngebenci dia, padahal dia selalu ngedoain gue. Sebelum tidur dia juga selalu nyium kaos power rangers hitam gue yang dia simpan dari waktu gue masih kecil, dan di kamar nyokap ada sketsa gue lagi main sama Bobo, anjing gue.”

Pilar tersenyum lega, “Gue ikut senang dengarnya.”

“Thanks, Man. I owe you a lot.”

“Tapi kenapa lu masih di sini?”

Rian tidak menjawab. Dia hanya diam dan memandang ke luar jendela kamar. Sikap Rian benar-benar berbeda dari biasanya. Kini dia jauh lebih tenang.

“Ayo kita temuin nyokaplu. Gue rasa, sekedar menyadari kalau nyokap lu nggak salah itu nggak cukup. Lu harus minta maaf ke dia, pamit ke dia, omongin semua yang perlu lu omongin. Ayo, gue bakal bantuin elu.”

Rian menggeleng.

“Kenapa enggak? Lu nunggu apa lagi? Lu udah benar-benar pucat dan suara lu juga udah serak banget gini.”

Rian tersenyum. Dia heran menyadari bahwa Pilar, orang yang selama ini dia ganggu, orang yang kehidupan pribadinya sebenarnya juga sedang runyam, malah sangat peduli kepadanya.

“Nggak usah pusing sama urusan gue, Man. Badan lu sendiri juga perlu diperhatiin. Kantong mata lu sampai hitam banget gitu. Kerja melulu lu ya? Ngalah-ngalahin presiden aja.” Rian mengalihkan topik.

Pilar mengembuskan napas perlahan dan memijat tengkuk lehernya, “Ya, daripada bengong.”

Rian maju selangkah mendekati Pilar yang sedari tadi duduk di depan mejanya, “Stop this, Man. Lu nggak bisa terus-terusan lari ke kerjaan buat ngalihin pikiran lu dari dia.”

Kali ini Pilar yang diam.

“Udah, lu pindah kerja aja. Kalau lu terus-terusan di situ, gimana lu bisa lupa?

Pilar tetap diam.

Lu emang sengaja ya biar nggak lupa?

“Gue maunya tanpa lupa pun gue baik-baik aja.” Pilar akhirnya bersuara.

“Come on, Man. Move on. Dia udah…” Rian tidak tega memberitahukan apa yang tadi dilihatnya. Jadi, dia lebih memilih untuk mencoba membuat Pilar membenci Intan. “Lu sendiri yang bilang, dia mutusin elu dan cabut dari hidup lu. Mosok lu terima digituin? Dia ngebuang elu!”

Pilar tidak suka kata-kata itu. Dia langsung berdiri berhadapan dengan Rian, “Gue tahu dia nggak jahat. Gue tau dia nggak bermaksud nyakitin gue. Itu satu-satunya pilihan yang dia punya.”

Rian tidak ingin Pilar makin marah. Rian pun mengubah nada bicaranya menjadi lebih bersahabat. “Man, mau sampai kapan lu kesepian begini?”

Amarah Pilar ikut mereda. Dia kembali duduk di kursinya dan malah memandangi foto dirinya dan Intan yang ada di meja.

Rian tak lagi bicara. Tak lagi mendebat. Tak lagi berusaha menyuntikkan logika. Rupanya cinta yang begitu besar memang bisa membuat seseorang sanggup kesepian.

*** 

Pilar berjalan ke kubikelnya di saat teman-temannya sedang asyik berdiskusi tentang sesuatu.

“Nah, ini dia nih orangnya,” kata Zidan, dan mendadak semua mata tertuju kepadanya. “Pilar, weekend ini lu ikut kan?”

“Ke mana?” tanya Pilar bingung.

“Astaga! Kan dari bulan lalu HRD udah ngumumin kalau bakal ada gathering ke Anyer.”  Uta gemas.

“Oh, gitu ya? Sebentar, gue cek jadwal dulu.”

“Buset dah, Pilar. Side job-an mulu lu. Ayolah liburan dulu.” Edo membujuk.

Pilar hanya tertawa kecil sambil membuka kalender di ponselnya untuk mengecek jadwal deadline berbagai projectnya, tapi dia malah terpaku saat membaca catatan bahwa batas waktu bagi Rian untuk menyelesaikan urusan duniawinya tinggal empat hari lagi.

“Oi, gimana?” tanya Edo.

Sambil berdiri dari kursinya, Pilar menjawab, “Sori, gue nggak bisa ikut. Sori ya guys.” Lalu Pilar cepat-cepat berjalan ke balkon.

Fina tampak kecewa. Sudah lama sekali kantor mereka tidak mengadakan acara jalan-jalan bersama. Dulu selalu ada Intan di dekat Pilar, kini setelah tidak ada Intan, Pilar justru tidak ikut.

...

Ternyata Pilar buru-buru ke balkon untuk menelepon panti asuhan yang sering ada di postingan Facebook Mama Rian. Kepada pengurus panti, Pilar mengaku sebagai penulis yang sangat tertarik dengan sketsa-sketsa yang sering Mama Rian posting di Facebook-nya dan membutuhkan bantuan beliau untuk membuatkan ilustrasi bagi novelnya. Untungnya pengurus panti percaya dan mau memberikan nomor telepon serta alamat rumah Mama Rian.

***

Malam itu juga Pilar memutuskan untuk langsung saja mendatangi tempat tinggal Mama Rian. Dia tidak mempersiapkan apa pun selain tekad untuk membantu Rian menyelesaikan masalah duniawinya.

“Ya, sebentar.” Terdengar suara Mama Rian dari dalam rumah setelah Pilar mengetuk pintu. Pintu dibuka hanya sedikit karena Mama Rian tidak mengenali tamu yang datang. “Cari siapa?”

“Selamat malam, Tante Lana. Saya Pilar, kawannya Rian Winanta.”

Mama Rian sangat terkejut hingga napasnya tercekat. Rian muncul dibalik pintu. Ikut mengintip. Dia ingin tahu siapa tamu yang membuat mamanya tercekat.

Begitu Rian melihat Pilar, dia menjadi panik. “What the hell are you doing here? Mau ngapain lu ke sini? Ma, jangan bukain pintu, Ma! Jangan biarin dia masuk, Ma!” Tentunya Mamanya tidak acuh karena hanya Pilar yang bisa mendengar suaranya. Rian pun tahu itu, tapi karena kalut, dia berusaha berkomunikasi dengan mamanya dan melarang mamanya membiarkan Pilar masuk.

Pilar bingung mendapati Rian marah dan seolah ketakutan melihatnya datang. Dia memandangi Rian, mencoba memahami makna dibalik reaksi temannya itu.

“Kok bengong?” Pertanyaan Mama Rian menya-darkan Pilar.

“Oh, nggak Tante. Rumahnya nyaman. Saya suka.” Pilar beralasan.

“Mari masuk.”

Saat Pilar masuk, walau Rian sudah tahu bahwa dirinya telah kehilangan kemampuan untuk menyentuh, tapi dia tetap mencoba mendorong Pilar keluar. Dan Pilar sangat kaget saat Rian menembus badannya. Itulah pertama kalinya Pilar menyadari bahwa Rian sudah tidak bisa lagi menyentuh.

Rian terus mencoba mendorong Pilar, dan semakin dicoba, dia justru semakin frustasi. “Pergi lu, Anjing! Pergi!” Rian memaki dan berusaha menjatuhkan berbagai barang tapi tetap tak ada hasil.

“Silakan duduk,” ucap Mama Rian.

“Makasih, Tante.”

“Saya ambilin minum dulu, ya.”

 Pilar mengangguk santun.

 Saat Mama Rian berjalan ke dapur, Rian berhenti mengamuk. Dia kelelahan dan terduduk di lantai, bersandar ke sebuah lemari dengan kedua kakinya ditekuk ke dadanya, “Please, Man. Leave. Kalau lu ceritain semuanya, nyokap pasti maafin gue, ikhlasin gue, dan gue bakal harus pergi. Gue nggak mau ninggalin dia, Man. Gue nggak mau pergi.”

Pilar termangu. Dia tidak menyangka inilah alasan sebenarnya Rian tidak ingin dirinya datang menemui mamanya. Ditambah lagi, tidak hanya kulit Rian makin pucat, tapi luka di keningnya juga makin memerah seperti darah segar. Rian makin terlihat menakutkan.

Pilar ingin menasihati Rian untuk jujur saja kepada mamanya karena Pilar yakin, bagaimanapun juga, itulah hal terbaik. Tapi sebelum Pilar sempat berbicara, Mama Rian sudah kembali membawakan segelas teh dan menyuguhkannya untuk Pilar.  

“Silakan diminum.”

“Makasih, Tante.” Pilar meneguk teh hangat itu, bukan hanya untuk sopan santun, tapi juga untuk menenangkan dirinya setelah melihat reaksi Rian tadi.

Raut cemas tidak hanya terlukis di wajah Pilar, tapi juga di wajah Mama Rian. Kedua tangannya saling meremas. Napasnya sedikit tersengal-sengal penuh antisipasi. “Benarkah pemuda ini teman Rian, dari mana dia tahu alamat rumahku, kenapa dia tiba-tiba datang, di mana Rian?” Banyak sekali pertanyaan melintas di benaknya.

Setelah Pilar selesai minum dan meletakkan cangkir teh itu di meja, Mama Rian memberanikan diri bertanya, “Dari mana kamu kenal Rian?”

“Tempat kos saya sama rumah Rian nggak terlalu jauh, Tante. Kita kenalnya sih belum lama, tapi Rian banyak cerita tentang…” Pilar menjadi ragu harus bagaimana karena dia tidak ingin melangkahi Rian. Dia melirik ke Rian yang masih tetap terduduk di lantai. Rian hanya menatapnya tanpa berkata apa pun. Seolah-olah pasrah karena dia sadar sudah tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk mencegah Pilar membuka mulut.

“Dia cerita tentang saya?” tanya Mama Rian.

“Iya, Tante.”

Mata Mama Rian berkaca-kaca. Baru sekadar mendengar bahwa putranya membicarakannya saja sudah membuat hatinya senang bukan kepalang. Dia merasa diingat. “Ceritakan soal Rian? Apa kabar dia? Kerja di mana? Dia udah nikah? Apa… Apa dia udah punya anak? Saya udah punya cucu?”

Rian menangis. Dia sadar pertanyaan-pertanyaan itu adalah cerminan dari harapan-harapan mamanya, tapi tak satu pun yang terwujud.

“Belum, Tante. Rian belum nikah.”

 “Kamu punya fotonya? Saya kangeeeenn banget sama Rian.”

“Maaf, Tante, saya nggak punya.”

Mama Rian terlihat sedikit kecewa. Tapi dia tidak mau membiarkan kekecewaan kecil merusak malam tak terduga ini. Dia kembali antusias bertanya, “Kenapa Rian nggak ke sini?”

“Emm…” Pilar berpikir sejenak mencari jawaban yang cukup bijak. “Dia butuh waktu, Tante. Ini nggak mudah buat dia. Makanya saya mewakili dia dulu.”

Mama Rian mengangguk pelan, “Iya, pasti nggak mudah buat dia.”

 “Tante, maaf kalau saya lancang, tapi sebenarnya Rian bertanya-tanya, kenapa dulu Tante memilih untuk pergi?”

Mama Rian tidak langsung menjawab.

“Saya tahu pasti berat buat ngebicarain hal personal ke orang yang baru dikenal, tapi Rian perlu tahu yang sebenar-benarnya, Tante.”

Mama Rian menghela napas sebelum mulai bercerita, “Saya pergi karena ketika usaha papanya Rian mulai sukses, dia justru lupa daratan. Saya sudah berusaha sabar tapi… Tapi makin lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir. Saat itu saya cuma ibu rumah tangga yang nggak punya penghasilan sendiri. Jadi, demi kebaikan Rian, saya biarkan dulu Rian bersama papanya. Dua bulan kemudian, setelah saya cukup mapan, saya kembali ke sana untuk jemput Rian.” Mama Rian menjeda sejenak. Mengatur napasnya yang sesak oleh kepedihan. “Ternyata mereka udah nggak tinggal di sana. Papanya langsung ajak Rian pindah rumah dan pindah sekolah. Saya cari info ke sana kemari, tapi pihak sekolah lama dan tetangga-tetangga juga nggak ada yang mau terus terang ke saya. Saya rindu sekali sama anak saya.”

Mama Rian mulai menangis, membuat Pilar makin tidak tega. Pilar membiarkan Mama Rian terus ber-bicara, menumpahkan segala kerinduan yang selama ini dia rasakan.

“Terakhir kali saya melihat Rian itu waktu dia kelas 5 SD. Waktu itu umur dia baru 11 tahun. Itu 23 tahun lalu. Kamu bisa bayangkan?”

Pilar menggangguk. 

“Waktu saya tahu ada media sosial seperti Twitter, Facebook, saya langsung minta diajarin cara pakainya. Saya pikir, anak muda seperti Rian pasti punya akun. Saya coba cari nama Rian di semua media sosial, tapi nggak ketemu. Dia pakai nama apa? Akunnya apa?

Pilar menggeleng dengan senyuman kecil, “Dia nggak punya sosmed, Tante.”

“Oh…” Mama Rian tertunduk sebentar lalu dia melanjutkan penjelasannya, “Nak, saya benar-benar udah nyoba banyak cara buat nemuin Rian. Saya rindu sekali sama anak saya. Waktu saya dapat alamat baru perusahaan papanya, saya langsung datang menemui papanya untuk minta diketemukan dengan Rian. Saya juga pernah menemui papanya di lapangan golf tempat dia biasa olahraga. Berulang kali saya coba. Berulang kali saya mohon, tapi dia nggak kasih. Pengadilan juga nggak pernah memihak saya, Papanya Rian terlalu kuat. Tolong, Nak. Tolong kamu ceritakan semua itu ke Rian, ya.”

Pilar mengangguk, “Iya, Tante.”

...

Saat berpamitan, sebelum pintu ditutup oleh Mama Rian, Pilar sengaja mengatakan hal-hal yang sebenarnya dia tujukan kepada Rian. “Tante, saya nggak berani janji apa-apa, tapi jujur, saya sendiri juga berharap Rian nggak akan ngebiarin Tante terus-terusan seperti ini.”

Rian hanya menunduk diam dan tidak berani menoleh ke Pilar.

***

Pilar bekerja di kantornya tapi pikirannya masih sering teralihkan ke Mama Rian. Sebagai orang yang juga merindukan orang terkasih, Pilar paham dalamnya siksaan batin itu. Rindu kepada Intan sudah ditahannya selama setahun. Tapi setidaknya Intan sehat-sehat saja.

Semoga sehat. Begitu lebih tepatnya. Karena Pilar juga tidak tahu kabar Intan.

Jangan sakit lagi, ya Mbel. Jangan telat makan.

Dan dia malah mencemaskan kesehatan Intan. Padahal dia sendiri sering telat makan dan kelelahan karena terlalu banyak bekerja dan mengoleksi banyak beban pikiran.

...

“Pilar, ini pizanya keburu abis sama anak-anak nih,” kata Uta.

Pilar menengok ke arah suara. Ternyata teman-temannya sedang asyik berkerubung dan menyantap piza. Pilar pun menggeser kursi berodanya untuk mendekat ke mereka. “Wih, piza dari mana nih?”

“Yeee…” spontan mereka semua kesal.

“Ha? Apaan sih?” Pilar bingung.

“Kebanyakan bengong lu,” kata Zidan, “Kan tadi gue udah bilang, ini piza dari manajer marketing soalnya hari ini dia ulang tahun.”

“Oh,” jawab Pilar singkat.

“Nih.” Fina menyodorkan sepotong besar piza dilapisi tisu. “Lu lebih suka yang tuna kan daripada yang daging.”

“Hehe, tau aja lu. Thanks.” Pilar menerima dan menyantapnya.

Ternyata Fina memang benar-benar perhatian kepadanya dan itu justru membuat Pilar tidak tega.

***

Sepulang kerja, Pilar langsung kembali ke kosan karena ada satu pekerjaan sampingan terakhir yang harus diselesaikannya. Tapi begitu dia memarkir motornya di garasi, betapa terkejutnya dia melihat Kristal menyambutnya.

“Surprise!”

“Loh?” Pilar benar-benar kaget. Sudah beberapa hari Kristal tidak ada kabar. Pilar pikir dia sudah menyerah dan menjauh. Ternyata tidak.

“Hehe, kaget, ya?” tanya Kristal. “Aku udah nungguin kamu dari tadi.

“Oh.” Pilar tidak antusias.

“Iya. Sambil nunggu kamu, aku ngobrol aja sama Nenek. Kata Nenek belakangan ini kamu kerja terus ya?”

Pilar mencopot helm dan menggantungkannya di spion motor.

“My Goodnes!” seru Kristal sambil menangkup wajah Pilar dengan kedua tangannya, “Kantong mata kamu sampai hitam gini.”

Pilar diam tidak bereaksi.

“Ayo masuk. Kamu harus makan yang banyak.” Kristal menarik tangan Pilar dan mengajaknya masuk seolah-olah itu rumah dia.

Rupanya Kristal membawakan banyak sekali makanan. Semua sudah tersaji di meja makan. Mereka berdua pun makan bersama di sana. Nenek, Mbak Mar, dan Lela tidak ikut makan bersama dan lebih memilih makan di ruang TV sambil menonton sinetron. Berbeda sekali dengan ketika Intan yang datang dan memasak. Mereka berlima, bahkan kadang kedua teman kos yang lain, pasti ikut makan dan mengobrol bersama.

“Kamu kelihatan kecapekan banget deh. Aku takut kamu sakit lagi.”

Pilar tersenyum kecil, “Lagi banyak kerjaan aja. Malam ini juga ada yang harus gue kelarin. Deadline-nya besok pagi soalnya.” Pilar sengaja menjelaskan jadwal deadline-nya agar Kristal tidak berlama-lama di kosan.

“Kalau gitu besok aku kirim jus deh ke kantormu. Sekalian buat teman-temanmu juga. Pada suka jus apa?”

“Nggak usahlah. Nggak usah repot-repot.”

“Nggak repot kok. Biar daya tahan tubuh kamu kejaga. Apalagi lagi banyak kerjaan.”

“Oke.” Pilar malas berdebat. “Eh, perasaan tadi gue nggak lihat mobil lu. Parkir di mana emangnya?” tanya Pilar.

“Aku nggak bawa mobil,” jawab Kristal.

“Aduh, berarti gue harus nganterin dia pulang dong,” pikir Pilar dalam hati.

...

Untuk pertama kalinya Kristal dibonceng oleh Pilar dan diantar pulang hingga ke rumahnya. Dia sengaja duduk begitu dekat dan merangkulkan tangannya ke pinggang Pilar serta menyandarkan kepalanya ke pundak Pilar. Kristal menikmati tiap detiknya, sedangkan Pilar benar-benar risi.

Demi Tuhan ini cuma teman, Mbel. Aku nggak nakal.

Pilar tetap teguh dengan harapannya, padahal Intan sudah lupa kepadanya.

Andai Pilar tahu.

***

Hari telah berganti. Suasana hati belum berganti.

Siang ini Pilar sedang rapat bersama timnya saat tiba-tiba Rian muncul. Pilar mengangguk kepadanya sebagai tanda kalau dia menyadari kehadirannya dan Rian menunggu dengan sabar.

Selesai rapat, Pilar mengajak Rian mengobrol di balkon. Dia membakar sebatang rokok dan tidak lupa memasang earphone agar dikira sedang bertelepon.

Rian diam memandangi hiruk pikuk jalan raya dari ketinggian gedung.

“Kasihan nyokap lu, Rian. Dia perlu tahu.” Pilar kembali menasihati.

Rian mengepal keras kedua tangannya. Air matanya kembali turun deras. Pilar sangat tidak tega melihatnya. Dia ingin sekali menepuk pundak temannya itu dan berusaha menenangkannya, tapi tidak bisa.

Perlahan, sambil terus mengepal keras kedua tangannya dan memandang jauh ke bawah, Rian mengangguk setuju.

***

Karena telah mengantongi izin dari Rian, Pilar tidak menunda lagi. Kini dia sudah berada di ruang tamu rumah Mama Rian, sedang menunggu diambilkan minum. Jantung Pilar berdebar cepat. Tugas ini dirasa sangat berat. Rian juga berada di ruangan itu. Dia berdiri di seberang Pilar. 

Mama Rian muncul dari arah dapur. Dia menyajikan secangkir teh dan mempersilakan Pilar meminumnya.

“Makasih, Tante.”

“Rian belum mau ketemu saya, ya?” tanya Mama Rian lirih.

Pilar berdeham, berusaha menetralkan rasa gugupnya. “Tante, sebenarnya saya ke sini malam ini karena saya mau nyampein pesan dari Rian.”

“Pesan apa?” Mama Rian antusias.

Pilar menengok sebentar ke Rian dan Rian menggangguk pelan seolah-olah memantapkan per-setujuannya. Pilar pun makin yakin untuk berterus terang, “Sebenarnya Rian mau minta maaf ke Tante. Selama ini dia udah salah menilai Tante. Dia benar-benar nyesel Tante. Sekarang dia udah sadar kalau Tante sayang banget sama dia.”

“Kenapa dia nggak nyampein semua itu sendiri? Saya pasti maafin dia, saya kangen sekali sama dia.”

Pilar menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, “Rian udah nggak ada, Tante.”

“Maksud kamu?” Mama Rian tidak mengerti.

“Rian… udah wafat,” ucap Pilar perlahan.

Mama Rian langsung berdiri dari kursinya dan menjauh beberapa langkah. Tangan kirinya menutup mulutnya yang menganga lebar karena tidak percaya dan tangan kanannya diletakkan di atas dadanya.

Rian mendekati mamanya.

“Saya…” Pilar tidak tahu lagi harus berkata apa.

“Kamu bohong.

“Saya bicara apa adanya, Tante. Saya benar-benar cuma bantu nyampein apa yang pengen Rian sampein ke Tante. Dia harus minta maaf dan pamit ke Tante supaya dia bisa kembali ke alamnya dengan tenang. Supaya dia dapat tempat di surga.”

Mama Rian menutup kedua telinganya. Dia tidak mau mendengar fakta yang terlalu mengejutkan dan menyakitkan ini.

Pilar bangkit dari kursinya dan ingin mendekat, tapi Mama Rian langsung menyorongkan tangannya sebagai tanda dia tidak ingin Pilar mendekatinya. Pilar tidak jadi melangkah. Dia tetap berdiri di tempatnya. “Tante, sebenarnya seminggu belakangan ini Rian selalu ada sama Tante. Dia ngikutin Tante ke mana pun Tante pergi. Dia juga kangen banget dan sayang banget sama Tante.” Pilar menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan, “Saat ini pun dia ada di sini, Tante.”

Mama Rian menengok ke kanan dan kiri, mencari-cari Rian. Tapi putranya tidak kasatmata baginya. “Cukup! Apa mau kamu sebenarnya?” Mama Rian marah.

“Demi Tuhan, saya nggak ada niat jahat.”

“Terus apa buktinya kalau kamu nggak bohong? Mana Rian?”

“Cuma saya yang bisa ngelihat dia. Dan dari dia, saya tahu kalau sebelum tidur Tante selalu nyium kaos power rangers hitam yang Tante simpan dari waktu Rian masih kecil. Iya, kan? Rian juga ngasih tahu saya kalau di kamar Tante ada sketsa Rian lagi main sama Bobo, anjingnya dia.”

Mama Rian semakin lemas. Dengkulnya tak lagi bisa menopang berat tubuhnya. Dia merasa limbung dan lekas bersandar ke tembok.

Pilar merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar catatan, dan meletakkannya di meja. “Di kertas ini saya udah tulis alamat makam Rian. Tante bisa buktiin sendiri kalau saya nggak mengada-ada.”

Mama Rian hanya menoleh sedikit pada kertas itu. Pilar pun menggesernya agar lebih dekat ke Mama Rian.

“Saya ngerti Tante pasti butuh waktu untuk mencerna semua ini. Tapi waktu Rian tinggal sedikit, Tante. Demi Rian, saya mohon, tolong datang ke makam besok. Saya permisi.”

...

Sepanjang malam Mama Rian menangis. Rian terus di sampingnya, menemaninya.

***

Sejak pagi Pilar duduk menunggu di bawah rindangnya pohon, Mama Rian masih juga belum datang. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Sudah sekian batang rokok Pilar isap. Kedua kakinya terus digerak-gerakan. Pilar begitu resah. Ponsel sudah dia genggam di tangannya dan sudah membuka laman nomor telepon Mama Rian. Tapi Pilar ragu. Menurutnya, Mama Rian harus datang atas kesiapan hatinya sendiri, bukan atas desakan. Jadi, Pilar mengurungkan niatnya untuk menelepon Mama Rian. Ponsel kembali dimasukkan ke kantong celananya dan rokok kembali diisap.

Sore sebentar lagi tenggelam. Waktu Rian makin menipis. Pilar makin gelisah. Tidak ada pilihan lain. Pilar harus meneleponnya. Dia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya dan sudah akan menekan nomor telepon Mama Rian saat tiba-tiba Rian menegurnya, “Man.”

Pilar mendongak, mengalihkan pandangannya dari ponsel kepada Rian yang sudah berdiri di dekatnya.

“Itu,” kata Rian sambil menengok ke arah pintu gerbang pemakaman umum.

Pilar melihat sebuah taksi memasuki gerbang dan perlahan mendekat. Lalu Mama Rian turun dari taksi itu.

“Akhirnya,” ucap Pilar. Pilar langsung mendekati Mama Rian dan membantunya berjalan. Dia tampak begitu lemah, matanya sembab karena menangis semalaman, bajunya pun masih sama persis dengan yang dia kenakan semalam. Mereka berdua sama-sama tidak bicara, hanya berjalan pelan mendekati makam Rian.

Tibalah mereka persis di depan makam Rian. Mama Rian memperhatikan nama yang tertulis di nisan; Rian Abraham Winanta. Lahir 12 Juni 1986. Wafat 9 Oktober 2020.

Perlahan Mama Rian berjongkok dan memeluk nisan Rian. “Mama kangen, Nak. Mama sayang Rian. Mama mau peluk Rian.”

Mama Rian menangis tersedu-sedan. Pilar terus berada di sampingnya, merangkulnya, sedangkan Rian berdiri di belakang nisannya. Rian sudah tidak lagi menangis. Air matanya sudah habis tak bersisa. Dia hanya memandangi dengan tatapan pilu.

“Maafin Rian, Tante,” pinta Pilar.

“Ya, Tuhan…” hanya kata-kata itu yang terlontar dari mulut Mama Rian.

“Tolong ikhlasin Rian.”

Dengan terbata-bata dan dengan napas yang makin tersengal-sengal karena terimpit nestapa, Mama Rian pun mengikhlaskannya. “Kita saling memaafkan, Nak… Kita saling… merelakan.”

Rian tersenyum dan setetes air matanya jatuh ke pipinya.

Seketika angin semilir berembus menyejukkan. Pilar dan Mama Rian pun ikut merasakan kesejukannya. Rian menoleh ke suatu arah. Waktunya telah tiba baginya untuk pergi.

“Gue cabut, Man.”

Pilar mengajak Mama Rian berdiri. “Tante, Rian mau pamit.”

Setelah mamanya berdiri, Rian berjalan mendekatinya. Pilar tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia bergeser satu langkah ke samping untuk memberi ruang bagi ibu dan putranya ini untuk saling melepaskan.

Rian mencium tangan mamanya dengan takzim. Bagai keajaiban, Mama Rian pun bisa merasakannya. Secara refleks dia melihat ke punggung tangannya yang sedang dicium oleh putranya. Mama Rian menangis kian deras.

Lalu Rian menoleh ke Pilar. “Thank you so much, Man.”

Pilar tertawa kecil, “Udah nggak ada lagi deh yang ngeresehin gue.”

Rian ikut tertawa.

Angin semilir kembali berembus. Rian berjalan ke arah datangnya angin sejuk itu. Pandangannya tidak lepas dari mamanya yang kembali berjongkok memeluk nisannya.

“Titip nyokap, Man!” teriak Rian dari kejauhan.

Pilar mengangguk.

“You’re a kind person, Pilar. You deserve to be happy. Let go… Let go and be happy, Man!” Itu kalimat terakhir dari Rian. Setelah itu dia menghilang dan angin sejuk berembus panjang sekali membawa kedamaian bagi Pilar dan Mama Rian.

***

Urusan Rian sudah benar-benar selesai, semua pekerjaan sampingan juga sudah beres, setelah makan dan mandi, Pilar memutar musik dan merebahkan tubuhnya yang super lelah itu di kasur.

15 menit, 30 menit, 45 menit, satu jam. Walau sudah berusaha memejamkan mata dan badannya sudah sangat menuntut istirahat, Pilar tetap tidak bisa tidur.

Lagi, malam minggu yang resah.

Dia kembali duduk dan mengambil ponselnya dari meja. Membuka media sosial yang sudah lama tidak disentuh. Scrolling, scrolling, scrolling. Media sosial teman-temannya dipenuhi unggahan keseruan mereka selama di Anyer. Beberapa foto Pilar beri Like, tapi tak sedikit pun terbersit rasa iri atau penyesalan karena tidak ikut. Bagi Pilar, gathering kantor pasti tidak menyenangkan tanpa Intan.

Lalu Pilar membuka WhatsApp status. Scrolling, scrolling, scrolling. Tap! Scroll dihentikan saat Pilar melihat satu nama; Mbel.

Pilar mengucek matanya. Dia pikir dia salah lihat karena dia lelah dan ini tengah malam. Tapi dia tidak salah lihat. Intan memang memasang WhatsApp status. Padahal sejak mereka putus, Intan tidak pernah melakukan itu.

Pilar berusaha melihat foto apa yang Intan unggah tanpa harus mengkliknya, tapi foto itu terlalu kecil. Selain itu, dari fitur strip hijau melingkar, Pilar bisa mengetahui bahwa Intan mengunggah dua WhatsApp status sekaligus.

Pilar langsung bangun dari kasurnya. Dia berjalan mondar-mandir di kamar. Disiksa rasa penasaran. Bukan gengsi yang membuatnya super ragu untuk mengklik unggahan itu agar bisa melihatnya dengan jelas, tapi rasa takut. Takut kalau Intan malah jijik padanya karena bersikap seperti penguntit. Tapi…

“Aaah!”

Pilar mengambil rokok dan koreknya lalu menuju teras samping.

...

Dua batang rokok sudah habis diisap dan tinggal tersisa puntungnya mengotori asbak. Rasa penasaran malah makin menjadi. Tak ada pilihan lain. Pilar menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan cepat. Memberi semangat kepada dirinya sendiri.

Klik. WhatsApp status Intan akhirnya Pilar buka dan kini tampak jelaslah foto itu; foto tangan Intan di atas meja bersanding dengan tangan seorang pria.

Unggahan pertama itu membuat Pilar tercekat, tapi unggahan kedua membawa dampak yang lebih gila. Di unggahan kedua itu tampak sketsa wajah Papa Intan diedit dan diletakkan bersebelahan dengan sketsa wajah seorang pria. Sedangkan di bagian bawah menampilkan foto Ibu Intan dengan Intan.

Berpasang-pasangan. 

Dan dilengkapi caption “All time favorite people.”

Ya Tuhan…

Seketika dada Pilar sakit. Jantungnya berdebar kencang. Walau dalam posisi duduk tapi dia merasa limbung. Berjuang untuk bernapas.

***

Walau jam menunjukkan pukul 02.00 pagi, Pilar tidak peduli. Dia mengeluarkan motornya dan pergi.

Ke mana?

Entah.

...

Sepanjang jalan semua memori itu memenuhi kepalanya.

Pernah suatu hari di akhir pekan Pilar membantu temannya membuat video prewedding, dan karena itu, dia dan Intan tidak bisa menghabiskan akhir pekan bersama. Tapi Pilar janji, paling telat jam 5 dia sudah akan sampai di rumah Intan agar setidaknya mereka bisa menikmati minggu sore dan makan malam bersama. Namun, karena banyak kendala, syuting justru baru selesai jam 5.30. Pilar langsung tancap gas untuk menuju rumah Intan. Tapi kemacetan serta jarak yang jauh membuatnya baru tiba pukul 7. Terlambat dua jam.

Intan membukakan pintu. Walau kesal, tapi Intan tetap berusaha tersenyum.

“Maaf ya, Mbel.”

“Nggak apa-apa. Namanya juga syuting.”

Pilar tersenyum, bersyukur dimengerti. Lalu Pilar duduk di sofa dan baru akan membungkuk untuk mencopot sepatu. Tapi, tanpa diduga, Intan bergerak lebih cepat. Dia berlutut dan membukakan sepatu Pilar lalu memijat kakinya.

Pilar terpana.

 

Kamu dan hal-hal kecil yang kamu lakukan.

Pengertian dan perhatian semacam itulah yang membuat Pilar makin cinta. Makin ingin menikahi.

“Aaahh!” Pilar berteriak kencang.

Mbel, gimana aku bisa ngelupain kamu? Tiap kali kita pelukan, jari-jari kamu selalu bergerak seperti membuat tanda tangan namamu di badanku, di dadaku, di punggungku, di leherku.

Dulu, waktu kamu masih sibuk bolak-balik antara kantor dan kampus karena kamu kerja sambil skripsi, tiap kali aku antar kamu ke stasiun untuk urus keperluan kuliah, begitu turun dari motor kamu nggak ragu untuk cium bibirku. Kamu nggak peduli orang-orang ngelihat.


        “Tuhan…” panggil Pilar dalam hati. 

Andai malam itu Tuhan cabut nyawaku, aku nggak akan pernah ngalamin sakitnya bangun tidur dan membaca semua pesan teks dari kamu pagi itu.

 

***

 

Malam tersusul pagi. Waktu terus bergulir hingga gelap kembali merayap dan menang.

Pilar terus saja bepergian dengan motornya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena tak ada tempat yang membuatnya nyaman. Karena hatinya tak nyaman. Hatinya runyam.

... 

Pilar baru pulang larut malam keesokan harinya. Dia masuk melewati pintu samping dan hendak menuju kamarnya saat Nenek bertanya dari ruang TV, “Kamu dari kemarin ke mana aja?”

“Eh Nenek, kaget aku. Aku nggak lihat ada Nenek di situ. Nenek kok belum tidur?” Pilar berjalan mendekati Nenek yang sedang duduk dalam keremangan dan hanya ditemani cahaya lampu meja sambil membaca Yasin.

Nenek meletakkan buku Yasin-nya di meja kecil di sampingnya, lalu mengamati Pilar. Raut wajah Pilar sangat muram, rambutnya terlihat lengket, bau asap rokok sangat menyengat menempel di baju dan rambutnya.

“Duduk sini,” pinta Nenek.

Pilar menurut dan duduk di kursi di sebelah nenek.

“Kamu kenapa sekarang jadi sering pergi nggak jelas dan pulang malam terus?”

“Kan waktu itu sempat nggak masuk, Nek, jadi belakangan ini kerjaannya numpuk.” Pilar beralasan.

Nenek mengambil jeda sebelum mengutarakan kalimat berikutnya, berusaha memilih kata-kata dengan baik, dan mengatur nada bicaranya. “Nenek bukannya mau usil, tapi..”

Pilar langsung menundukkan kepalanya, berusaha keras untuk tetap tegar. Tapi air matanya menetes ketika tangan Nenek mengusap lembut kepalanya.

“Kamu itu anak baik, orang baik. Tapi kenapa kamu kok jahat sama dirimu sendiri?

Pilar langsung turun dari kursinya dan membenamkan kepalanya di lutut nenek. Tak lagi sanggup membendung air matanya. Dia meluapkan semua sesak di dadanya.

Pilar benar-benar hancur. 

***

Senin. Walau berat, mau tidak mau Pilar harus bersikap dewasa dan tetap bekerja. Tapi suasana kantor hari ini terasa berbeda. Teman-temannya cenderung diam. Padahal biasanya kalau baru kembali dari liburan, mereka pasti membahas keseruan liburan itu.

Pilar juga ikut diam. Dia enggan menyelidik. Kepalanya sudah cukup penat dan hanya tersisa tenaga untuk bekerja tanpa bisa dibebani pikiran lain.

Saat ingin membuat kopi di pantri, Pilar tidak sengaja mendengar beberapa orang sedang kasak-kusuk. “Pilar tahu nggak, ya, Intan bikin WhatsApp status kayak gitu?” kata salah satu dari mereka.

Pilar menghentikan langkahnya dan membatalkan niatnya untuk masuk pantri. Dia lekas pergi ke toilet sebelum kepergok berdiri di sana dan mendengar omongan tadi.

Kini dia paham kenapa hari ini sikap teman-teman satu timnya aneh. Pasti karena mereka juga sudah melihat WhatsApp status Intan itu dan mereka semua jadi iba kepadanya.

Pilar benci dikasihani, tapi dia sadar bahwa dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-temannya. Memang sikapnyalah yang membuatnya pantas dikasihani.

“Dar!” Pilar memukul meja wastafel. Entah kepada siapa sebenarnya dia marah.

... 

Beberapa saat kemudian, setelah emosinya mereda, Pilar teringat omongan Rian malam itu, “Come on, Man. Move on. Dia udah…” Sekarang Pilar sadar bahwa Rian tidak menyelesaikan kalimatnya. Pasti saat itu Rian sudah tahu.

“Tapi dia tahu dari mana?” tanya Pilar dalam hati.

“Udah, lu pindah kerja aja. Kalau lu terus-terusan di situ, gimana lu bisa lupa? Man, mau sampai kapan lu kesepian begini?”

Kalimat demi kalimat yang Rian ucapkan kembali ke memorinya.

“Let go… Let go and be happy, Man!”

‘Let go’. Kata-kata itu diucapkan hingga dua kali. Ya, pasti Rian memang sudah tahu dan dia berusaha menasihatinya.

Pilar memijat-mijat lehernya, mengembuskan napas perlahan. Lalu dia juga teringat pesan nenek semalam. “Ibumu, adikmu, butuh kamu. Kamu bisa kuat. Kamu bisa bangkit, Pilar.”

Air matanya kembali menetes tapi Pilar lekas-lekas membasuh wajahnya. Kali ini dia membasuhnya dengan begitu keras seolah ingin membuang segala yang buruk dari masa lalunya.

“Harus bisa. Nggak tau gimana caranya, tapi harus bisa!” tekad itu Pilar tancapkan di hatinya. 

***

Seminggu telah berlalu. Walau sakit di hatinya tetap terasa, tapi Pilar terus memelihara tekadnya untuk bangkit.

Yang pertama dia lakukan adalah resign dari kantornya. Rian benar, dia harus pergi dari situ. Tapi bukan untuk menyerah dan melupakan Intan, melainkan untuk fokus mengejar apa yang sejak dulu dia cita-citakan; menjadi penulis dan sutradara.

  Setelah menyerahkan surat resign kepada atasan dan HRD kantornya, Pilar juga memutuskan untuk menjernihkan masalah terkait Kristal dan Fina. Kedua wanita itu sangat baik, Pilar tidak ingin secara tidak langsung menyakiti mereka lebih lanjut lagi.

Pilar memilih untuk berbicara dengan Fina terlebih dahulu. Mendekati jam pulang kantor, Pilar mengajak Fina ke kedai kopi di gedung kantor mereka. Tentunya Fina mengiyakan.

...

Duduklah mereka di dalam kedai kopi itu. Kedua minuman sudah tersaji di meja.

“Fin.”

“Ya?”

Pilar diam dan Fina tidak mendesak. Dia sabar menunggu hingga Pilar siap bicara.

“Gue resign.”

Fina menundukkan pandangannya. Meskipun dia cukup tahu diri untuk menyadari bahwa ajakan pergi ke kedai kopi berdua ini pasti bukan untuk urusan-urusan romantis, tapi dia tidak menyangka tujuan Pilar mengajaknya ke sini adalah untuk memberitahukan pengunduran dirinya.

“Gue udah kasih surat resign ke Bang Nanda sama ke HRD.”

Fina tidak mengatakan apa pun. Dia hanya meng-ambil gelas dan perlahan menyeruput minumannya.

“Gue pengen lu jadi teman pertama yang tahu karena kerjaan gue paling banyak hubungannya sama elu dan karena... karena lu selalu baik sama gue. Makasih banyak, Fin.”

Fina menggigit bibir bawahnya sambil menahan agar air matanya tidak jatuh membasahi pipinya.

***

Ruang kerja Pilar sudah sepi. Semua temannya sudah pulang sejak tadi. Tinggal Pilar duduk sendiri di kubikelnya, merapikan semua pekerjaan agar tak ada tugas yang menggantung saat resign nanti.

Klik! Lampu ruangan dimatikan oleh security.

“Lah, kok dimatiin, Pak?”

“Astagfirullahaladzim! Siapa tuh?” Teriak sekuriti sambil menyorotkan senter ke seisi ruangan.

“Ini saya, Pak! Pilar.”

“Aduh, Mas Pilar bikin kaget aja. Oke, Mas, saya nyalain lagi lampunya.”

“Thanks, Pak.

Sekuriti itu berjalan mendekati Pilar. “Maaf ya, Mas. Saya kira udah pada pulang. Soalnya udah jam 10.”

“Hah? Jam 10?” Pilar mengecek arlojinya.

“Ya ampun, Mas Pilar, sampai nggak sadar sama waktu.”

“Hehe, saya kira masih jam 8-an.” Pilar terkekeh sambil memijat-mijat lehernya.

“Jangan diforsir, Mas. Pulang aja dulu.”

“Iya, Pak. Saya save kerjaan dulu habis itu pulang deh,” kata Pilar sambil merapikan pekerjaannya.

...

Sambil berjalan ke parkiran motor, Pilar menelepon Kristal. Walau sudah malam, dia tidak mau menunda lagi untuk berbicara dan menyelesaikan urusan dengannya. Selain itu Pilar juga ingin berterima kasih kepada Kristal atas bantuannya mencarikan info soal Mama Rian.

“Hai!” suara Kristal terdengar begitu ceria.

“Hai, lagi di mana?”

“Biasa, di Dusk9, tapi udah mau pulang sih.”

“Bawa mobil?”

“Bawa. Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Tadinya kalau nggak bawa, mau gue jemput.”

“Wait, what?”

“Iya, tadinya kalau lu nggak bawa mobil, mau gue jemput.” Pilar mengulangi perkataannya.

“Mobil bisa aku tinggal kok. Aku bisa minta salah satu petugas vallet or anyone di sini buat nganter mobilku ke rumah.” Kristal langsung bersiasat.

“Dasar anak bos,” ejek Pilar.

“Biarin.” Dan kini Kristal mengubah nada bicaranya menjadi manja, “Jemput ya.”

“Oke, gue otw dari kantor, ya.”

“Yes!” Kegembiraan Kristal begitu kentara.

 ...

Saat Pilar tiba di Dusk9, ternyata Kristal sudah menunggu di luar. Wajahnya begitu ceria, tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum. Pilar menyerahkan helm dan Kristal langsung memakainya.

“Ini gimana sih cara nge-lock talinya?”

“Bukannya beberapa hari lalu pas gue antar pulang lu udah bisa pasang dan buka kaitannya sendiri?” tanya Pilar sambil membantu Kristal mengaitkan tali helm.

“Pura-pura nggak bisa, biar kamu pasangin. Wek!” ejek Kristal sambil menjulurkan lidahnya, lalu dia membonceng dan memeluk Pilar dengan erat.

“Belum jalan udah pegangan aja.”

“Takut kamu hilang,” jawab Kristal.

Dan, ya, begitulah. Kristal terus memeluk dan Pilar terus merasa risi. Pilar pun mengebut agar cepat sampai dan adegan peluk ini cepat selesai.

“Udah sampai.” Pilar memberi tahu.

“Lagi.”

“Hah?”

“Ke mana dulu kek. Keliling Jakarta, keliling Jawa, apa sekalian keliling Indonesia gitu. Yuk.”

Pilar hanya terkekeh. “Udah malam.”

Kristal turun dengan malas. “Copotin helmnya,” pintanya manja sambil memajukan kepalanya.

Pilar mengembuskan napas untuk menyabarkan dirinya, lalu membukakan helm Kristal dan meng-gantungkannya di spion.

“Masuk dulu yuk. Di rumahku juga ada ice lemon tea kok.”

Pilar tersenyum kecil dan mengangguk setuju, membuat Kristal makin gembira.

...

Pilar berdiri di pinggir kolam renang. Dia tidak bisa menunggu sambil duduk. Tidak tenang. Makin merasa bersalah karena telah menjemput Kristal dan mem-buatnya menyalahartikan niat sebenarnya.

“Here you go.” Kristal menyodorkan sebotol kecil air mineral Equil.

“Thanks.”

“Yakin nggak mau ice lemon tea atau kopi?”

“Nggak usah, ini aja,” jawab Pilar sambil membuka botol itu lalu meminumnya.

“What a rare sight,” ujar Kristal penuh kekaguman. “Ini kayak too good to be true gitu ngelihat kamu spend time di rumahku.”

Pilar berdeham, seolah itu manjur untuk mengusir rasa bersalahnya dan bisa memperlancar penjelasannya. “Kristal… makasih ya udah banyak ngebantu urusan gue sama Om Bram. Sekarang semuanya udah beres.”

Binar di mata Kristal seketika lenyap. “Dan itu artinya?” tanya Kristal dengan suara bergetar karena cemas.

“Ya… Nggak ada arti apa-apa. Gue cuma mau bilang makasih aja.” Pilar menjawab tanpa berani menatap Kristal.

“Selain itu?” Kristal mendesak.

Pilar diam.

“Say it,” Kristal makin menuntut penjelasan. “Kamu mau ngejauh dari aku kan? Kamu mau aku berhenti hubungin kamu, berhenti gangguin kamu karena kamu udah nggak ada keperluan lagi sama aku. Gitu, kan?”

“Nggak gitu, Kristal, kita tetap bisa berteman.”

“Berteman. Right. Itu dia. You want to make it clear that we’re just friends.”

Pilar tidak berusaha menyangkal.

“You know, sebenarnya aku udah bisa nebak kalau urusan kamu sama Om Win udah selesai, kamu pasti akan pergi ngejauh dari aku. I can read the signs. Kamu nggak pernah nelpon duluan kecuali untuk nanya soal Om Win. Aku GR banget waktu itu mikir kamu datang ke Dusk9 untuk ketemu aku. Pantas aja muka kamu kayak orang kepergok pas aku bilang ‘Here you are’. Kamu orang baik. Kamu nggak bisa bohong. Mimik kamu jujur banget.”

“Gue minta maaf kalau gue udah bikin lu ngerasa dimanfaatin.”

“No, Pilar! Justru itu. Justru karena kamu nggak salah apa-apa makanya ini terasa sakit banget. Aku segitu takutnya kamu ninggalin aku sampai-sampai aku terus-terusan ngebiarin kamu manfaatin aku.” Kristal mulai menangis. “This is crazy. Aku ngerasa kayak orang diputusin padahal kita nggak pernah pacaran, padahal aku sadar kamu nggak pernah ngejanjiin apa-apa. This hurts so much, Pilar.”

“Gue nggak pernah bermaksud nyakitin lu, Kristal.” Pilar mengucapkannya dengan penuh penyesalan. Berat baginya melihat Kristal menangis tapi benar-benar tidak ada yang bisa dilakukannya.

“I thought I could be strong. Tapi ternyata sakit banget ngelihat foto dia masih kamu pajang di meja di kamarmu. Bahkan sarung tangan dia pun kamu taruh di kasur kamu. Iya, kan? Sarung tangan warna magenta itu pasti punya dia, kan?”

Pilar mengangguk.

“Bodohnya lagi, di hari itu, walau aku cemburu banget tapi aku malah mikir, ‘Wow, this guy is a great lover. Aku makin tertantang untuk milikin kamu. Ada rasa kagum yang makin dalam tapi juga sakit. Aku ada buat kamu tapi kamu nggak pernah ngebiarin aku ada di hati kamu. Pilar, I’m not a quitter but I have to quit expecting you’d be mine. I’ve never given up on anything but I have to give up on you. Aku nggak biasa gagal, Pilar. But you’re like a test I failed poorly. Not because I dont want to study but because you dont want to be understood. Kamu nggak mau membuka diri. Sampai sekarang pun aku bahkan nggak tahu makanan apa yang kamu beneran suka. Kamu benar-benar menutup diri sampai-sampai sekadar ngasih tau makanan kesukaan kamu aja kamu nggak mau!”

Kristal mengutarakan semua hal yang selama ini dia pendam tapi Pilar sudah kehabisan kata-kata.

“Say something! Kenapa kamu diam aja?”

“Gue nggak tahu gue harus ngomong apa, Kristal. Gue sadar gue salah,” jawab Pilar.

Kamu pengecut. Kamu takut untuk jatuh cinta sama aku. Im not gonna leave you like she did! Can’t you see that?”

Pilar tetap diam.

Atau kamu pikir aku nggak pantes ngedapetin cinta kayak yang kamu kasih ke mantanmu si Intan itu?

“Bukan gitu, Kristal. Justru karena gue tahu lu pantas dapet yang lebih baik.

“Huh.” Kristal mendengus sinis mendengar kalimat itu. “Find a better excuse, Pilar. Alasan kamu klise banget.”

Tapi Pilar tidak menemukan alasan lain, karena itulah dia kembali diam dan menunduk.

        ...

Kristal menangis seorang diri di kamarnya sambil meminum wine walau dia tahu minuman itu pun tidak bisa membuat sakit di hatinya reda.

Apa solusi untuk masalah hati seperti ini?

Apa obat mujarab untuk luka semacam ini? 

***

 

Tiga hari lagi tepat satu bulan sejak Pilar menyerahkan surat resign. Berarti syarat one-month notice sudah terpenuhi dan Pilar bebas pergi. Dia sudah berencana untuk kembali ke Jogja agar bisa lebih sering bersama ibu dan adiknya, dan kembali bergabung dengan komunitas film di sana untuk mengejar impiannya menjadi penulis dan sutradara.

Pilar ingin memberikan kenang-kenangan untuk Nenek, Mbak Mar, dan Lela, karena itu dia pergi ke departemen store dan membelikan barang-barang yang sekiranya mereka sukai. Kemudian Pilar juga pergi ke supermarket untuk membelikan cokelat Chacha minis kesukaan Lela. Dia berjalan ke lorong bagian cokelat dan permen. Dan siapa sangka, di sanalah Intan berada, juga sedang membeli Chacha minis.

Mata mereka saling menatap. Pilar diam sejenak. Memandangi Intan yang sangat cantik. Selalu cantik.  

Dulu setiap bulan mereka selalu belanja kebutuhan pokok bersama dan juga selalu membelikan Chacha minis untuk Lela.

Kini? Belanja sendiri-sendiri. Hmpff…

...

Pilar berjalan mendekati Intan.

“Hai,” Intan lebih dulu menyapa.

“Hai.”

“Mau beliin buat Lela, ya?” tanya Intan.

“He-em. Kamu? Beli untuk…?

“Untuk… Lagi pengen aja,” jawab Intan.

Pilar hanya tersenyum dan melihat ke keranjang belanjaan Intan. “Kok nggak beli kembang kol?” tanya Pilar.

Intan langsung tertawa lepas. Rupanya dia pun masih ingat. Dulu, tiap kali melewati lorong sayur-mayur, Pilar selalu menyorongkan kembang kol kepada Intan sambil melontarkan kata-kata romantis seolah-olah kembang kol itu adalah sebuket bunga.

Dulu, dulu, dulu. Sudahlah.

... 

Pilar menyadari bahwa sejak tadi tidak ada siapa-siapa di dekat Intan, jadi mungkin itu artinya Intan berbelanja sendirian. Pilar pun memberanikan diri menawarkan untuk mengantarkan Intan pulang dan Intan setuju.

... 

Motor berjalan dengan kecepatan standar. Intan menjaga jarak agar tidak duduk terlalu dekat dengan Pilar dan dia memilih untuk berpegangan pada besi di sisi jok motor daripada harus berpegangan pada Pilar seperti dulu.

Sakit. Tapi Pilar harus terima.

Dalam perjalanan menuju rumah Intan, Pilar mengingat kembali pesan teks yang Intan kirim di pagi yang laknat itu; 18 pesan teks yang bisa dirangkum menjadi dua kalimat mematikan; “Aku mau putus. Aku pilih keyakinanku.”

... 

Sekarang kalian mengerti kenapa sangat sulit bagi Pilar untuk melupakan Intan walau sejujurnya Pilar merasa dia dibuang begitu saja? Ya, sebab faktanya Intan memutuskan hubungan mereka karena terpaksa. Dia tidak salah apa-apa.

Tatkala takdir jemawa, manusia bisa apa?

 


Sampailah mereka di rumah Intan. Intan turun dan membuka pagar agak lebar agar motor Pilar bisa masuk ke garasi. Setelah motor terparkir, Pilar mencopot helm, mencantolkannya di spion, dan membantu membawa-kan belanjaan Intan yang sejak tadi dikaitkan di bodi motor di antara kaki Pilar.

Dua kantong plastik besar itu Pilar letakkan di kursi teras, tak lagi dibawakan masuk ke dalam dan dirapikan bersama. Tampaknya kini Intan enggan membiarkan Pilar masuk.

“Nggak apa-apa,” ucap Pilar dalam hati.

Intan merapikan poni dan mengembalikan helm kepada Pilar, “Makasih, ya.”

“He-em.”

Mereka sama-sama diam sejenak. Lalu Intan ingin mengatakan sesuatu, “Aku…”

Tapi kalimat yang masih menggantung itu segera dipotong oleh Pilar, “Aku pamit.” Pilar menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan, lalu mengulangi perkataannya. “Aku pamit, Mbel.”

Intan hanya diam, tapi dia menatap Pilar dengan mata berkaca-kaca.

Pilar tersenyum, menganggukkan kepala kepada Intan, lalu berjalan kembali ke motornya, dan melaju menjauh dari rumah Intan.

 

Tuhan, aku yakin tanpa kukatakan pun Engkau sudah bisa mengetahui apa yang kurasakan. Aku tidak menyesali pertemuan kami. Aku tidak menyesali apa yang pernah kami jalani. Aku mensyukuri empat tahun itu. Aku hadapi rasa sakitnya, seperti aku telah menikmati masa-masa indahnya. Aku belajar banyak dari semua itu.

Ampuni dosaku, Tuhan. Ampuni dosa kami.

Dan jika dia sudah bahagia, tolong izinkan aku juga bahagia, Tuhan.


***

 

Pilar ingin mengambil jam penerbangan pagi agar bisa segera melepas rindu kepada ibu dan adiknya. Namun, karena kehabisan tiket, dia terpaksa mengambil penerbangan sore.

Sebelum ke bandara, Pilar mampir ke makam Rian untuk berpamitan. Dia duduk di sisi makam sambil mengisap sebatang rokok. “Lu udah tau ya kalau Intan punya pacar baru? Tau dari mana lu? Kenapa lu nggak cerita? Nggak tega lu ya sama gue?” Pilar terkekeh sendiri.

Setelah habis satu batang rokok, Pilar berdiri dan benar-benar pamit, “Thanks, Rian. Sekarang gue juga cabut.”


***

 

Di ruang tunggu bandara, Pilar menunggu boarding sambil mulai menulis naskah. Tapi dia terganggu karena dua pria yang duduk di sebelahnya berisik sekali membicarakan seorang wanita cantik yang juga sedang berada di ruang tunggu itu.

“Anjay, cakep banget tuh cewek.”

“Mana?”

“Itu yang lagi minum boba. Aduuhh, imut amat pas nyeruput sedotan. Jadi pengen diseruput.”

“Artis itu, ya pantes aja cakep banget.”

“Artis?”

“Iya, dia yang main… Duh, apa ya judul filmnya?”

Pilar menoleh ke arah yang mereka perhatikan. Ternyata artis yang mereka maksud adalah Pevita. Sekian tahun lalu sebelum Pilar menjadi pegawai kantoran, dia bekerja sebagai kru film, dan kala itu Pevita adalah pemeran utamanya. 

Selama 18 hari masa syuting, mereka cukup sering mengobrol dan bercanda. Tapi setelah produksi selesai, mereka tidak saling berkirim kabar.

“Dia masih ingat gue nggak, ya?” tanya Pilar dalam hati.

Tiba-tiba seorang wanita tak dikenal menghampiri Pilar. “Mas, namanya Pilar, bukan?”

“Iya.”

Lalu wanita itu berbicara di ponselnya. “Benar, Mak. Dia namanya Pilar.” Ada jeda sebentar sebelum wanita itu melanjutkan, “Oke, oke.” Dan tahu-tahu ponsel itu disodorkan kepada Pilar. “Mas, ada yang mau bicara nih sama mas.”

“Hah?” Walau bingung, Pilar menerima saja telepon itu. “Halo?”

“Hai, Pilar. Ini Pevita.”

Pilar otomatis menengok ke arah Pevita. Wanita cantik itu tersenyum ramah dan melambaikan tangan kepadanya.

 

Pilar dan Pevita asyik mengobrol berdua. Walau lama tidak bertemu, ternyata mereka masih se-klik dulu dan saling nyaman dengan satu sama lain. Bahkan Pevita tidak ragu memberikan minumannya dan membiarkan Pilar minum dari sedotan yang sama dengannya. Segalanya natural saja. Seolah tak pernah ada jarak di antara mereka.

“Minta nomor WhatsApp lu dong,” ujar Pilar.

“Mmh, silakan hubungi manajer saya aja, ya, Mas.” Pevita pura-pura sombong.

“Hahahaha! Pilar tertawa lepas, lalu gantian Pilar yang usil. “Oke. Lu pikir gue takut minta ke manajer lu?” ucap Pilar sambil berdiri untuk mendekati manajer Pevita.

Tapi Pevita langsung menarik tangan Pilar. “Eh, eh! Apaan sih? Jangan.”

Pilar kembali tertawa. “Habisnya lu nantangin.”

“Soalnya gue kesal,” kata Pevita sambil cemberut manja.

“Kesal? Kesal kenapa?”

“Kesal soalnya lu buat minta nomor telepon gue aja pakai nunggu 6 tahun dulu.”

Pilar terpana mendengar kalimat Pevita itu. Dan sebaliknya Pevita benar-benar tersipu karena ditatap oleh Pilar seperti itu.

Benarkah artis cantik ini juga tertarik kepadanya? Pilar tidak mau lagi bergerak lambat. Saat itu juga, di tengah padatnya tempat tunggu bandara, dengan banyaknya mata yang memperhatikan gerak-gerik artis papan atas negeri ini, Pilar memberanikan diri untuk menggenggam tangan Pevita walau dia tahu ada risiko untuk ditampik dan ditampar.

Pevita terhenyak sesaat, tapi untungnya kemudian dia tersenyum dan balas menggenggam tangan Pilar.

“Fiuh…” Pilar mengembuskan napas lega dan membuat Pevita tertawa kecil. “Aku takut kamu tampar, tau nggak?”

“Ya nggaklah,” ucap Pevita sambil mengusap-usap dada Pilar untuk menenangkannya.

Kini menunggu jadi tak lagi membosankan.

Pasangan baru yang lagi mesra-mesranya ini asyik mengobrol, tertawa kecil, dan saling membisikkan kata-kata tanpa peduli apa-apa lagi.

Genggaman tangan mereka tidak pernah lepas sampai akhirnya mereka harus duduk berjauhan di dalam pesawat.

Kini Pilar sudah menempati kursi yang sesuai dengan nomor tiketnya. Tapi duduknya sangat tegak dan kepalanya mendongak agar bisa melihat Pevita yang duduk beberapa baris di depannya.

Rupanya Pevita pun demikian, dia duduk tegak dan menengok ke belakang agar bisa melihat Pilar. Lalu mereka saling melempar senyum.

“Gila, gue kayak anak SMP,” pikir Pilar dalam hati. Dia tidak menyangka dirinya bisa merasakan sensasi seperti ini lagi. Suatu perasaan yang asing karena sudah begitu lama dia tidak merasa seperti ini. Muram yang selama ini membayang kini hilang, berganti dengan riang yang menyenangkan.

“Kenapa mesem-mesem, Mas?” tanya penumpang yang duduk di sebelahnya.

“Nggak apa-apa, Pak,” jawab Pilar.

“Lagi kasmaran, ya?” si bapak kembali bertanya.

Pilar hanya tersenyum. Hatinya begitu tenteram. Dia merasa kali ini takdir memihaknya. Kalau saja dia tidak kehabisan tiket, dia pasti sudah mengambil penerbangan pagi dan itu artinya dia tidak akan bertemu dengan Pevita.

Namun, yang membuat hatinya lebih tenteram adalah karena dia tahu Pevita seiman dengannya.

Tuhan memang selalu baik.

 

Pesawat telah tinggal landas dan perlahan terbang kian tinggi. Pilar menatap ke bawah pada Jakarta yang kini terlihat kecil dan membuat masa kelamnya jadi terasa kerdil. Lalu Pilar membuka folder galeri di ponselnya yang penuh dengan foto-foto Intan. Niatnya untuk mengucap selamat tinggal, tapi dia malah teringat bahwa malam itu, ketika dia pamit, sebenarnya Intan ingin mengatakan sesuatu kepadanya.

“Aku…”

Pilar jadi penasaran, “Sebenarnya Intan mau ngomong apa, ya?”


 

BELUM TAMAT


Kamu dan konser... kayak aku sama sneakers.

Sepanjang jalan menuju tempat konser kamu ceria banget.

Aku cuma diam.

Berusaha nggak menampakkan rasa sakit itu.

Berusaha tetap menikmati lagu demi lagu,

dan menikmati waktu yang entah tersisa berapa lama lagi sama kamu.

 

*** 

 

"Mbel mana?” tanya mereka.

Aku menelan ludah, berharap sakitnya tertelan juga dan bisa dicerna.

Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku sendiri nggak tahu kamu di mana, apa kabar.

Kadang, aku menghibur diriku sendiri dengan meyakini bahwa kita sedang roleplay. Ceritanya kita hidup di awal tahun 40-an, belum ada Line, WhatsApp, sosial media, dll. Akses telepon dan telegram juga masih sangat terbatas. Jadi, kita cuma bisa saling kirim kabar lewat surat. Tapi karena belum ada google maps dan lagi banyak perang di mana-mana, mungkin tukang posnya juga jadi bingung, makanya suratnya nggak sampai-sampai.

Meski begitu kita sama-sama tau kok kalau kita saling merindukan. Ya, kan? Begitu, kan?

 

*** 

 

I won't forget the way we hugged that day..

how we were so afraid to let go of each other..

how you kissed my back before I went out the door.

You kept kissing me.., but your decision didn’t change..

You wanted me to go.

 

TAMAT NGGAK YAAA?

#KerabatRinduSepihak #GerakanPelukGuling #EvolusiRasa #TamanImajiKingdom


No comments:

Post a Comment

TATKALA

  Life After Those 18 Text Messages Kangen kamu, M bel. Aku bingung harus ngapain biar sakitnya pergi...             Si bodoh ini berna...