Saturday, September 29, 2018

Aku Dikalahkan Nasib

written in 2011 @taman_imaji

Illustration by the talented @rizkyandinas

Sesudah tangis perpisahan dengan keluargaku, kaki ini kulangkahkan dengan penuh keraguan. Khawatir. Istilah yang sering digunakan oleh orang-orang di desaku adalah ketar-ketir. Ketidakpastian tentang apa yang menungguku di sana. Jakarta. Ibu kota Indonesia.

Indonesia.., negaraku yang kata buku-buku SD, SMP pinjamanku sangat indah dan permai. Negara.. ku??? Kedengarannya sangat lucu. Aku, satu dari jutaan anak bangsa yang belum pernah membuka mataku di tempat lain selain desa tempatku dilahirkan. Bali yang menawan hanya bisa kunikmati lewat TV kecil di rumahku. Bule-bule, yang mungkin karena makanannya yang bergizi menjadi tinggi besar, berambut pirang dan berkulit pucat itu lebih leluasa menjejakkan kaki mereka di berbagai tempat di tanah airku ini. Dibandingkan aku... si gadis desa yang lugu, dungu.

Statusku WNI; Warga Negara Ini. Tapi sepertinya lebih tepat kalau statusku diganti jadi WNS; Warga Negara Sumpiuh. Habis, dari lahir hanya tempat ini yang kukenal. Hihi... ngelantur. Kalau ada orang yang bisa membaca pikiranku pasti aku sudah dimaki sok pintar. Anak desa lulusan SMP tok[1], ngerti opo?

Sudah empat jam aku duduk di dalam bis ini, pantatku sampai kebas. Badanku pegal semua. Belum pernah aku berkendara selama ini. Lha wong selama ini cuma muter-muter Sumpiuh tok. Melewati jalan-jalan berdebu dan berbatu. Tanpa aspal. Itu pun paling banter numpak[2] montor dan sesekali waktu numpak mobil-mobil angkutan umum yang reot, yang kalau ada orang gemuk naik, mobilnya langsung bunyi.. krekkrek.. krekkrek. Bukan bis besar seperti ini.

Aku berangkat bareng Pakdeku yang sekarang tidur pulas di sampingku. Dia kerja di bengkel di Jakarta. Dia ini yang kasih tau aku kalau ada orang di Jakarta yang lagi cari pembantu.

Aduh, pertanyaan itu lagi. Majikanku galak ndak ya? Kalau gajiku ditahan, kalau aku disiksa... Huh. “Tenang,” kataku pada diriku sendiri. “Toh aku pergi atas ijin bapak-ibuku.” Eh.. ijin atau dorongan kebutuhan ya?? Mbohlah[3], pasti semua akan baik-baik saja.” Mudah-mudahan.

Hampir semua gadis di desaku yang berusia di atas 14 tahun sepertiku berangkat kerja ke Jakarta. Mayoritas sebagai pembantu rumah tangga. Tiap lebaran, hampir bisa dipastikan mereka pulang kampung. Melepas kangen sama keluarga, bersilaturahmi dan memamerkan apa yang mereka beli di Jakarta. Meng-etalase-kan apa yang tak tersedia di Sumpiuh. Mereka ini, seperti halnya Pakdeku, juga semacam pengantar pesan bahwa orang-orang di Jakarta membutuhkan pembantu. Mereka gencar beriklan tentang Jakarta. Karena kalau mereka berhasil membawakan pembantu bagi orang di Jakarta maka mereka akan mendapatkan persenan.

Untungnya masih ada juga di antara mereka yang mau terus terang tentang keadaan sebenarnya. Aku mendengar banyak cerita. Beragam. Ada yang gajinya suka telat dibayar, ada yang khusus jadi bebi suster[4], bahkan ada yang kaya mendadak karena jadi simpanan bule. Tapi cerita yang paling menarik bagi telingaku adalah tentang para pembantu yang dianiaya. Digebuki, dipecut, disetrika... Ih... ngeri. Kok tega sih? Manusia kemasukan setan, apa setan kemasukan manusia?

Sebenarnya selama ini aku selalu berdoa supaya ndak perlu jadi pembantu seperti mereka. Tapi Gusti Allah berkehendak lain. Padahal guruku bilang aku cerdas. Sayangnya tidak ada yang menawarkan beasiswa padaku. Tidak juga pemerintah negeriku. Bapak-Ibuku, seperti halnya bapak-bapak dan ibu-ibu lainnya di Sumpiuh, cuma petani penggarap. Mereka ndak ada biaya untuk pendidikanku. Sepertinya, Gusti Allah maunya aku jadi pembantu.

Apa enaknya jadi pembantu? Kerja keras seharian penuh, gaji kecil, ndak ada kesempatan untuk naik pangkat lagi. Kata Mbak Wati, orang kampungku yang setelah bekerja di Singapura berganti nama jadi Tante Wanda, kerja di luar negeri enak. Tenaga kita ndak terlalu diperas, sabtu-minggu benar-benar libur, dan gajinya berkali-kali lipat lebih besar daripada kerja di Jakarta. Kedengarannya sih mengeni[5]. Tapi aku ndak bisa bahasa bule dan nanti kalau ada apa-apa aku repot sendiri, hiii...

Lagi pula, memangnya untuk urus surat-surat kerja ke luar negeri bisa dengan modal senyum tok? Ya ndak no[6]. Butuh uang. Uangnya siapa? Lha wong kerja maksudnya supaya punya uang, ini kok malah suruh keluar uang dulu. Lucu.

Ah, aku makin ngelantur. Kalau ada orang yang bisa mbaca pikiranku, pasti aku sudah dimaki sok pintar. Anak desa lulusan SMP tok, kok ngimpi pengen gaji besar dan naik pangkat.

Lima jam berikutnya aku dibangunkan oleh Pakdeku. Aku sudah sampai di terminal Kampung Rambutan. Jenenge[7] kampung, tapi jalanannya sudah aspal, ndak seperti kampungku. Rambutannya juga ndak keliatan. Mboh ah..

Ini Jakarta. Wah, terminalnya besar banget. Banyak bis, banyak tukang jajanan, banyak... uwek!! Banyak yang pipis sembarangan. Bau pesing!

“Sudah jalan terus saja, jangan terlalu banyak plirak-plirik. Jangan keliatan seperti orang baru pertama kali ke Jakarta. Bahaya.” Pakdeku tiba-tiba mengingatkan.

Sepanjang terminal dia terus menggandengku. Lalu kita berdiri di depan warung rokok, menunggu bis lain untuk ke rumah sang majikan. Di sini panas sekali. Ndak banyak pohon untuk berteduh. Dan semua kendaraan itu... Ah, semua kendaraan itu mengeluarkan asap hitam yang membuatku mual.

Aku ndredek[8] saat tiba-tiba ada seorang pria berperawakan sehat tapi bermuka nelongso menjulurkan tangannya padaku. Aku baru tenang saat Pakde memberinya uang receh karena baru pada saat itulah aku mengerti bahwa laki-laki tadi adalah seorang pengemis. Tapi tunggu.

“Juna?” Lelaki itu spontan menengok ke arahku dan sejenak memperhatikanku. “Kamu Juna, kan? Kakaknya Sri yang waktu itu sempat bersekolah di SMEA Sumpiuh 1?” Dia tidak menjawab.

“Juna! Juna kenapa pergi?” Aku berusaha menyusulnya tapi Pakde menahanku. “Sudah, pasti dia malu ketemu kamu.”

Bisku datang. Aku dan Pakde naik. Pikiranku masih ke Juna. Dia sehat, dia sempat bersekolah di SMEA. Kenapa dia mesti jadi tukang minta-minta? Bukannya kemarin dulu itu si Sri pernah bilang kalau Juna tidak bisa pulang karena lagi banyak obyekan? Kasihan Juna... atau, kasihan Sri karena sudah dibohongi? Ya sudahlah. Gusti Allah Maha Tahu.

Ternyata seperti ini rupa asli Jakarta. Bagus. Banyak gedung, banyak macam kendaraan. Macet. Piye toh? Kok ndak jalan-jalan? Banyak orang sudah tantan-tintin[9]. Banyak orang sudah marah-marah. Kok galak-galak banget toh? Ngeri. Untung aku sama Pakde. Kalau sendirian aku ndak bakal berani.

Aku sudah sampai di depan rumah orang yang akan menjadi majikanku. Orang yang akan membayarku sebagai pembantu rumah tangganya. Rumahnya lumayan. Ndak terlalu besar, jadi mungkin gajiku juga ndak besar. Yah, seendaknya aku ndak capek-capek banget ngepel. Pagar rumahnya ndak terlalu tinggi. Masih bisa aku panjat tanpa bantuan tangga. Jadi, kalau nanti ternyata majikanku sakit jiwa, aku bisa kabur lompat pagar ini.

“Sini nduk[10], saya nyonya besar. Panggil saja saya ibu. Bapak sedang di luar kota, jadi kamu kenalannya nanti saja. Ini Tesa anak pertama dan ini Radit anak kedua. Mereka berdua kuliah, saya dan bapak kerja, jadi kamu akan sering sendirian di rumah. Gak apa-apa kan? Tugas kamu adalah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mulai pagi masak, cuci baju, sapu dari halaman depan sampai belakang dan ngepel sambil beres-beres semua ruangan. Kalau baju sudah kering kamu setrika. Sisanya kamu tinggal cuci-cuci piring. Oh iya, kuras dan sikat semua kamar mandi minimal 2 kali seminggu. Gampang kan? Gaji kamu akan saya kasih setiap awal bulan. Untuk permulaan gaji kamu Rp. 600.000,- dulu ya nduk, kalau kerja kamu rapih dan kamu jujur, ibu pasti tambahin. Ya sudah, sana istirahat dulu di kamar kamu. Capek kan habis perjalanan jauh.”

Pakde pamit pulang. Itu artinya aku benar-benar sendirian. Aku takut. Bengkel tempat Pakde kerja dan tinggal jaraknya 2 kali naik bis dari sini. Aku sama sekali ndak ngerti Jakarta. Aku takut. Aku ndak mau Pakde pergi. Aku bahkan ndak mau jadi pembantu. Aku mau sekolah. Yaa Gusti, kenapa aku harus jadi pembantu?

...

Begitulah, ndak terasa sudah enam bulan aku menjalani hari demi hari sebagai pembantu. Rutinitas yang sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Padahal guruku bilang aku cerdas. Sayangnya ndak ada yang menawarkan beasiswa padaku. Ndak juga pemerintah negeriku. Ah, mungkin guruku hanya berusaha membesarkan hati murid-muridnya. Aku masih bersyukur karena ternyata majikanku orang baik-baik. Tiap ada waktu luang, aku diijinin main dengan sesama pembantu di lingkungan rumah. Tenagaku ndak diperas seperti budak, gajiku di bayar tepat waktu dan kenaikan gaji yang waktu itu dijanjikan ibu, benar-benar ditepati.

Tetap saja aku masih merindukan cita-citaku untuk menjadi guru. Mendidik anak desaku agar bisa lebih maju. Hmmhh.. Gusti Allah berkehendak aku jadi babu.

Kuli yang sedang bekerja membangun rumah sebelah naksir padaku. Namanya Leman. Badannya tegap kulitnya gelap. Ngganteng. Sikapnya sangat manis kepadaku. Kadang aku dibelikan es grim[11]. Hampir setiap ba’da Isya aku canda-canda sama dia di depan rumah ibu. Akhirnya dia bilang cinta sama aku. Istilahnya di Jakarta, nembak. Aku seweneng buanget[12]. Jadi lebih kerasan di Jakarta. Gusti Allah Maha Baik.

Baru sebulan aku pacaran dengan Mas Leman, dia sudah harus pergi. Rumah tetangga sebelah tempat Mas Leman kerja sudah rampung. Berarti Mas Leman sudah ndak nguli di situ lagi. Berarti ndak bisa ketemu setiap hari lagi. Aku sedih. Sekarang Mas Leman tinggal di rumah kakaknya, seorang supir angkot yang sudah berkeluarga dan beranak enam. Rumahnya jauh dari rumah ibu.

Sudah dua minggu ndak ketemu. Kangen.

Sore ini sambil nyapu halaman depan rumah, aku ngobrol-ngobrol sama supir tetangga. Tiba-tiba Mas Leman datang. Aku seweneng buanget. Tapi... Mas Leman kelihatannya ndak senang. Dia menarik aku kasar sekali. Dia marah-marah. Disangkanya aku suka-sukaan lagi sama supir itu. Aku menertawakan kecemburuannya. Dia tambah marah. Membentak dan bicara kasar. Aku ndak enak sama supir tadi dan aku takut kedengaran sama anak-anak majikanku yang hari ini kebetulan pulang sore dari kuliah, jadi aku diam. Ndak disangka-sangka aku ditampar keras. Aku nangis. Mas Leman ndak percaya sama aku. Mas Leman kasar.

Dia benar-benar berubah. Padahal aku sudah coba jelaskan. Aku sama sekali ndak berbuat salah. Tapi dia sama sekali ndak percaya sama aku. Dia curiga terus. Dia suka tiba-tiba datang. Pagi, siang, sore, malam. Kapan saja. Dan dia pasti marah dan main tangan kalau saat dia datang kebetulan aku sedang canda-canda dengan teman-teman. Aku ndak diijinkan keluar rumah kecuali sama dia dan majikanku. Dengan teman perempuan pun dia ndak ngijini. Aku capek. Aku mau udahan. Tapi dia maksa terus jalani. Tiap kali aku minta putus dia tambah kasar. Yaa Gusti...

Lebaran ini aku mudik. Mas Leman maksa ikut ke kampungku. Malah dia sudah beli dua tiket bis. Aku takut dimarahi bapak-ibu.

Benar saja, mereka kaget luar biasa melihat aku tiba-tiba datang bersama laki-laki yang mereka tidak kenal. Tapi aku lebih kaget lagi waktu mas Leman tanpa babibu[13] langsung bilang ke Bapak kalau dia mau nikahi aku. Mas Leman sangat pintar ambil hati bapak dan ibuku. Ia berubah rajin sholat. Ia jadi santun dan sangat sabar ke aku. Seperti dulu. Yaa Gusti...

Sewaktu Mas Leman sedang cari belut sama Kang masku, bapak dan ibu ajak aku bicara. Mereka marah karena aku datang dengan laki-laki yang mereka ndak kenal tanpa bilang mereka dulu. Tapi bapak-ibu bilang mereka suka sama Mas Leman. Makanya mereka setuju aku nikah sama Mas Leman. Secepatnya. Karena keluargaku sudah keburu jadi omongan satu kampung. Aku bingung. Aku nangis. Aku ndak mau nikah sama Mas Leman. Aku ceritakan semuanya sama bapak dan ibu. Mas Leman ndak punya pekerjaan tetap. Dia cuma kuli yang ndak selalu punya obyekan. Dia masih numpang sama kakaknya, bahkan sering kali minta uang sama kakaknya untuk pergi nemuin aku dan minta uangku untuk ongkosnya pulang. Mas Leman juga ndak bisa percaya sama aku. Mulutnya kasar sekali. Bahkan dia suka mukul.

Yaa Gusti... bapak dan ibu ndak percaya sama aku. Mereka bilang semua yang aku ceritakan itu ndak mungkin. “Leman itu rajin sholat, santun, penyabar.” Justru aku yang dikira gadis nakal. Mereka bilang aku harus nrimo. “Cah wedo[14] memang harus diam, ndak boleh ngelawan, harus tunduk sama lanange[15].”

Bapak, Ibu dan Mas Leman membicarakan pernikahanku. Aku hanya boleh mendengar. Nrimo. “Harus secepatnya. Paling lambat bulan depan. Bapak ndak mau jadi omongan orang sekampung. Besok kamu pulang ke Jakarta, ambil semua barang-barang kamu. Pamit sama nyonya besar. Habis itu langsung balik ke kampung. Nikah. Setelah itu kamu Leman, kerja garap sawah Den Sani. Nanti bapak yang ngomong sama Den Sani. Ngerti Le? Nduk?”

Lagi-lagi aku dikalahkan nasib. Aku ndak bisa berbuat apa-apa. Aku ndak mau dicap anak durhaka karena membiarkan orang tuaku menjadi omongan warga sekampung karena dianggap tidak becus membesarkan anak perempuannya sehingga anak perempuannya seenaknya mbawa laki-laki pulang ke rumah. Aku bingung. Aku sedih. Aku nelongso. Apa gunanya guru-guruku menyuruhku menggantungkan cita-cita setinggi langit, kalau pada akhirnya aku, sebagai perempuan terlahir hanya untuk nrimo..

Yaa Gusti....


[1] ‘tok = cuma
[2] numpak montor = naik motor
[3] mbohlah = ya sudahlah
[4] bebi suster = babysitter
[5] mengeni = menggiurkan
[6] ya ndak no = tentu tidak
[7] jenenge = namanya
[8] ndredek = sangat takut
[9] tantan-tintin = membunyikan klakson
[10] nduk = nak
[11] es grim = es krim
[12] seweneng buanget = senang sekali
[13] tanpa babibu = tanpa basa-basi, tanpa pembahasan sebelumnya
[14] cah wedo = anak perempuan
[15] lanange = (calon) suaminya

No comments:

Post a Comment

TATKALA

  Life After Those 18 Text Messages Kangen kamu, M bel. Aku bingung harus ngapain biar sakitnya pergi...             Si bodoh ini berna...